Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Sosiolog UNS Tanggapi Fanatisme Sepak Bola yang Telan Korban

Mediaindonesia.com
05/10/2022 15:52
Sosiolog UNS Tanggapi Fanatisme Sepak Bola yang Telan Korban
Warga meletakkan bunga saat doa bersama di Balai Kota Surabaya, Jawa Timur, Selasa (4/10/2022) malam.(Antara/Didik Suhartono.)


JAGAT sepak bola Indonesia kembali berduka. Pasalnya, pertandingan pekan ke-11 BRI Liga 1 yang mempertemukan Arema FC vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, pada Sabtu (1/10) menelan ratusan korban jiwa.

Banyaknya jiwa yang melayang dalam pertandingan Arema FC vs Persebaya tidak hanya menggemparkan publik Tanah Air, tetapi juga negara-negara lain. Bahkan, Presiden FIFA Gianni Infantino dan Paus Fransiskus ikut bersimpati dengan kejadian memilukan ini.

Perhatian yang sama turut diungkapkan oleh Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr. Drajat Tri Kartono. Menurut Drajat, tragedi Kanjuruhan dipicu oleh fanatisme suporter yang merusak kelompoknya sendiri.

Ia juga menambahkan, kericuhan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan ialah bentuk kekecewaan suporter atas kekalahan Arema FC atas Bajul Ijo. Sayangnya, kekecewaan mereka dilampiaskan kepada kelompoknya sendiri (manajemen klub).

"Jadi, kejadian yang di Malang itu memang ada beberapa dimensi. Kejadian itu menjadi kacau balau, 'kan ada orang banyak," kata Drajat saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (4/10).

Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa kericuhan di Stadion Kanjuruhan Malang semakin menjadi karena ada pihak yang menghalang-halangi ekspresi kekecewaan suporter. "Karena menghalangi ekspresi itu, kemudian jadilah kaya ngamuk ke semua arah. Bentrok dengan aparat juga. Ya, karena aparat harus berada di tengah-tengah juga. Karena tidak ada Bonek, jadi mereka menyerang ke dalam," ujar Drajat.

Drajat juga menilai bahwa peristiwa tersebut merupakan bukti ketidaksepahaman antara manajemen klub dan suporter. Hal ini, dikatakan Drajat, memicu konflik di dalam dan menyulut emosi. "Pengorganisasian identity dalam in group itu akan mudah menyerang ke dalam kalau ada perpecahan di dalam kelompok itu," kata Drajat.

Berkaitan dengan kericuhan suporter di Stadion Kanjuruhan yang dipicu kekecewaan suporter karena klub yang dijagokan dipecundangi Persebaya, Drajat memandang kejadian ini berkaitan dengan fanatisme. Ia menjelaskan fanatisme seperti pada suporter sepak bola ialah identifikasi diri yang memasukkan orang-orang ke dalam in group feeling. Hal ini ditandai dengan kesamaan perasaan, pandangan, dan simbol dalam kelompok yang sama.

"Nah, di in group feeling dibangunlah koneksi yang membangun mereka yakni in group identity. Identitas kelompok kemudian disebarkan ke seluruh anggota dengan harapan mereka punya komitmen penyamaan simbol, persepsi, dan gerak sehingga menjadi satu kesatuan," terangnya.

Dalam hal ini, Drajat menyampaikan bahwa fanatisme berpeluang semakin menjadi apabila dipengaruhi oleh kompetisi dengan kelompok lain. Jadi, muncul dorongan untuk melindungi dan memperjuangkan kelompoknya sendiri terhadap kelompok lain. "Di situ muncul komitmen penyatuan identitas yang kemudian harus dipertahankan. Ini diperkuat oleh keterkaitan antara kelompok itu dengan identitas-identitas lain, seperti identitas kedaerahan," jelas Drajat.

Ia mengatakan, fanatisme sering kali membawa kerugian karena memicu orang-orang untuk bersikap tidak toleran. Menurut Drajat, berkurangnya rasa toleransi karena fanatisme merupakan hal yang otomatis terjadi. "Karena perasaannya ke dalam, kalau ada yang dianggap menghalang-halangi kelompoknya atau merusak kelompoknya ya tindakan agresi. Kalau tidak terorganisasi dan duduk dengan baik, muncullah agresi," sambung Drajat.

Ia mengatakan bahwa munculnya sikap tidak toleran terhadap orang-orang di luar kelompok karena fanatisme juga mendorong perilaku irasional. Mereka yang kadung fanatik dengan sesuatu dapat menyerang penegak hukum pemerintah atau pihak lain yang dinilai mengganggu kelompoknya. "Kemudian terjadi pengabaian terhadap norma-norma masyarakat," tutur Drajat.

Tragedi Kanjuruhan beberapa hari yang lalu hanyalah satu dari kejadian berdarah dalam sepak bola Indonesia. Sebelumnya, kejadian yang sempat mencuri perhatian publik terjadi ketika suporter Persija tewas dikeroyok oknum Bobotoh di Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) pada 2018. Dua kejadian memilukan tersebut dapat dijadikan contoh fanatisme dalam sepak bola Indonesia membuat orang-orang gelap mata sampai tega menghabisi nyawa orang lain.

Menurut Drajat, fanatisme yang ditunjukkan suporter di Stadion Kanjuruhan Malang biasa terjadi dalam dunia sepak bola. Bahkan, fanatisme yang hampir mirip dialami oleh beberapa kelompok pehobi kendaraan bermotor dan silat. Meski begitu, ia memperingatkan risiko bahaya apabila fanatisme yang berlebihan tidak dikelola dengan baik. 

Menurutnya, ada dua faktor yang menyebabkan fanatisme membawa kerugian, yakni gagalnya pengorganisasian dan edukasi. "Ini sebenarnya pelajaran bagaimana mengorganisasi in group feeling agar mereka punya saluran. Karena (fanatisme) itu pasti tersalurkan," kata Drajat.

Supaya fanatisme tidak membawa kerugian termasuk dalam pertandingan sepak bola, Drajat menyarankan agar hierarki kelompok yang besar diorganisasi dengan baik. Yang tidak kalah pentingnya ialah membangun pendidikan di in group feeling agar anggotanya memiliki berbagai alternatiif kegiatan. Jadi, harus diajak ke kegiatan-kegiatan lain, seperti membantu penanganan bencana alam," saran Drajat. (RO/OL-14)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya