Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Ilustrasi: Vladimir Pavliuk
Aku kira kau adalah musuh,
mendatangkan masalah bagiku,
namun nyatanya: kau cuma pembohong
semua permainanmu murahan bagiku.
Di Lapangan Manezhnaya
kau melemparkan koin ke salju.
Mencari sebuah arti jawaban;
aku mencintaimu atau tidak.
Di sana, di Taman Alexander,
kau melingkarkan syal ke kakiku
menghangatkan tangan, namun menipuku
aku pun juga berpikir untuk membohongimu.
Kebohongan seperti burung gagak
berputar-putar di sekitarku.
Kau ucap selamat tinggal tuk terakhir kalinya.
Matamu sayu, tidak biru atau hitam.
Jangan bersedih, kau pasti bahagia
walau tidak memiliki diriku.
Betapa sia-sia segalanya,
semua menjadi absurd!
Kau pergi ke kanan
sedang aku ke kiri.
Aku membayangkan paras bumi
ada apa dengannya? Putih bersalju.
Kau di mana? Segala sesuatu di sana,
malam bagi gelap dan siang bagi terang.
Cerahkanlah diriku dengan penilaianmu
jangan membatalkan dan membungkam
suaramu. Bagaimana Tuhan dan alam
hadir di sini?
Rembulan was-was
sinarnya menancapi celah rumah.
Aku menariknya perlahan ke kamar,
dan kau menempelkan pipimu ke pipinya.
Teman, kemenangan dan kebahagiaan!
Tentang kesewenang-wenangan mimpi
seniman mencari kesempurnaan
"Apakah ia menemukannya?"
Nasib seniman penyair
mungkin saja begini:
meminta saran klasik,
menunggu jawaban cendekiawan.
Hanya saja keutuhan terkoyak-koyak
pada simbol yang sulit berkreatif.
Seniman memilih permata
ia mendapati harmoninya.
Citra dunia yang indah dan integral
akan bangkit di hadapannya.
Aku takut membuatmu bosan.
Biarkanku beristirahat saja.
Kebohongan seperti burung gagak berputar-putar di sekitarku.
Ada kebebasan dan kebahagiaan dalam senja
angka-angka menembus abad, tahun, dan hari.
Kapan? Itu tak penting. Pintu masuk terbuka lebar
mengarah ke taman, api abadi tampak di kejauhan.
Embun menempel di reranting bunga,
sedang buah-buah memenuhi pepohonan,
tak ada bukti dalam abad ini—
ambil satu buah agar kau hidup.
Penglihatan salah dan delusi roh
membuatku dikembalikan ke lorong-lorong kuno
untuk menjelajahi waktu. Seorang perempuan tua mendekat,
seolah-olah mengaku dan mengenalku dari samping.
Di siang bolong, tempat ini sepi, namun saat senja
mataku bebas melihat rumah di mana keluarga
perempuan itu hidup bahagia,
mereka saling mengasihi penuh gairah.
Para pengelana selalu menunggu hari yang baru—
membuat keributan, merona, dan mengecup tangan.
Mereka memberi isyarat kepadaku dengan jemari,
bahwa aku tak akan pernah menjadi tamu.
Suara-suara membahana
lalu langit dan air menjadi sunyi,
jari-jari siapa yang menekan tuts? —
Jubah siapa yang masuk ke lingkaran permasalahan?
Aku mendapat rahmat lewat salam kasih mereka,
alunan musik waltz terdengar dan tetua-tetua menari.
Apa ini tanda tentang kesedihan
dan kecintaan bagi orang lain?
Masih mungkin bagi pemikir dan pendengar
untuk melakonkan permainan. Perempuan tua itu
tinggal di desa yang asri; dialiri sungai, ladang kosong,
dan pepohonan hijau membentang luas.
Sesaat aku tersenyum kecut, sebab
jiwaku mengembara entah ke mana
dalam ketidaksadaran yang amat jauh
negara akan memberiku sebidang tanah.
Tetapi kegelapan meliputi pikiranku
ketakutan terisak-isak dan berkeliaran,
ingin kupahami pola hidup yang berbeda-beda;
jam, meja, dan tempat tidur.
Aku tersesat di kolam berembun,
lamat-lamat kudengar suara transistor,
kukepal tangan dan pantang menyerah,
melawan kutukan yang dikirim lewat bahasa aneh.
Baca juga: Puisi-puisi Maria Petrovykh
Baca juga: Puisi-puisi Anna Akhmatova
Baca juga: Puisi-puisi Marina Tsvetaeva
Bella Akhmadulina, penyair Uni Soviet dan Rusia, penulis, dan penerjemah, lahir di Moskwa, 10 April 1937 dan meninggal di Peredelkino, Moskwa Oblast, 29 November 2010. Salah satu penyair liris terbesar di paruh kedua abad XX. Pada 1955, Akhmadulina menikah dengan penyair Yevgeny Yevtushenko. Meraih sejumlah penghargaan: Pemenang Penghargaan Negara Federasi Rusia (2005), Penghargaan Presiden Federasi Rusia (1999), Penghargaan Nasional Bulat Okudzhava (2004), dan Penghargaan Nasional Uni Soviet (1989). Puisi Akhmadulina secara organik menggabungkan teknik modernis dengan tradisi klasik. Namanya pernah dipresentasikan pada 1998 dan 2010 untuk dianugerahi Penghargaan Nobel Sastra. Puisi-puisi di sini diterjemahkan dari kumpulan puisi Akhmadulina Prosa Penyair (Moskwa: Vagrius, 2001) oleh Iwan Jaconiah, penyair, kulturolog, dan editor puisi Media Indonesia. (SK-1)
Kulit putih, bulu mata lentik. Kata orang itu cantik. Menurutku kita lebih manis.
Aku menyeberangi batas pantai di antara kebajikan dan kejahatan.
Petersburg, aku kan kembali bersama belahan jiwa. Mengulang janji suci kami di altar dulu
Kebebasan pun beterbangan di mana-mana serupa tarian angsa.
negara terbesar di dunia, nomor satu luasnya lebih dari 18 juta km persegi atau setara 11% dari luas daratan bumi
Izinkan aku berangkat untuk kembali di suatu pekat. Menyembah, menyapu air mata rindu.
Pemikiran Remy dalam dunia kebudayaan sangat penting. Ia adalah tokoh hebat,
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved