Ilustrasi: Ahmad Sadali
Raksi
aku hidup di banyak ruang apak
di dalamnya, aku serupa tikus
dalam pandangan gagak
hanya rumah:
garasi, dapur, kamar tidur,
dan segala yang diberkati
peluh juga–
dicemari halitosis ibu,
ruang di mana raksi
benar bereaksi,
dan aku bersaksi!
Desember 2022
Sederhana
aku menolak memahamimu dengan sederhana
seperti liurmu yang tak pernah mudah mengisi
celah bebatuan sedimen di otakku
mengendap lama karena pertanyaan
yang lagi-lagi katamu: sederhana
sederhana bagimu adalah air hujan yang jatuh
ke samudra lalu menciptakan amuk,
menenggelamkan jerihku
sederhana bagiku adalah air mata yang
menggenang lalu beriak ke sudut masa,
mengapungkan pongahmu
Desember 2022
Teras Kami Padang Tandus
langit masih cerah
tapi mata ibu sudah basah
di teras dia menanam penantian
menyiraminya dengan banyak kecemasan
di tempat nongkrong tepi jalan
dengan teman, aku berkelakar
sementara teras kami sudah belukar
tumbuh sembarang cendawan
ibu mengunyahinya dengan sabar
sambil menyumpahiku, tentu
sekarang teras kami padang tandus
tanaman ibu ranggas jadi humus
kelak menyuburkan penyesalan
andai aku dahulu:
mengangkat teleponnya lebih awal
mengusir kawanku yang bengal
Desember 2022
Pengamen yang Dihibur Tuhan
pria tua
ukulele usang
baju lusuh
menghadap Kakbah yang jauh
tangan setentang
hajat yang bergayut muluk
seperti sarang tempua
hingga malam dompetnya masih tak penuh
mungkin karena malangnya nyaring
atau nasibnya saja yang parau
tetapi dia punya dua senar:
pertama, syukur
kedua, sabar
yang dia petik pada
sebentang sajadah
dia selalu menikmati
petikan senarnya
memainkan notasi bikinan Tuhan
dirujuk berulang
dari rukuk ke rukuk,
tamak ke jelak,
menyesak ke gelak.
Desember 2022
Ini Desember kita yang telah kau peluk dalam tidur panjang dan masih kupangku dengan gamang.
Kanibal
pak Belang telah jauh dari kampung
mandor-mandor asing di darat–
di laut sudah pula cabut
tapi jeritan masih juga sahut-menyahut
di zaman baheula orang makan orang
demi tegak keadilan
di zaman berada orang makan orang
demi puas setan di dada
kita sama mendengar:
ayah melumat habis
harap putrinya untuk masa yang remis
demi seonggok daging lapar
di bawah pusar segaris
juga keringat buruh
diseruput tuan-tuan Indonesia Asli,
demi nafsu yang senantiasa dahaga
dan jiwa-jiwa sebagai jajanan pasar
diburu dengan sadar
demi karir yang pasti berakhir
demi hidup yang semakin dikejar
semakin membelit, bak gambir
Desember 2022
Mengemas Hari-Hari
ibu kos menyapu beranda
lewat depan kamarku
yang pintunya sedikit terbuka
bertentang wajah kami berdua
sapaku dibalasnya halus;
“kalau lanjut, paling telat tanggal dua puluh dua sudah dibayar, ya!”
aku melirik almanak digital
memintal lagi harap yang terserak
menandainya dengan tinta merah
sambil menelan ludah basi
sebab menguap sudah janji-janji
aku tahu saatnya pasti tiba
aku akan pergi meski
duit buat bayar kos-nya ada
sebelum takdir – yang entah baik atau buruk – bergegas
hari-hari sudah rapi kukemas
Desember 2022
Menjawab Damiri Mahmud
sepotong Desember yang kau cari ada di sakumu
remahan masa lalu yang kau pungut dan ingin kau telan
tapi berujung terlupakan
atau sebab hanya tak ingin berbagi
meletakkannya pada benak kaca
hanya untuk kau pandang – kenang sendiri
aku juga takkan membagi Desemberku:
angsa yang pulang petang membawa gelisah,
menghampiri kaum yang ingin menimpuknya dengan rasa bersalah
kemudian berenang melintasi rawa
membawanya tembus ke ngarai
yang terjal dan sesak
tempat seluruh elegi bermuara
ini Desember kita
yang telah kau peluk dalam tidur panjang
dan masih kupangku dengan gamang
Desember 2022
Sierra
perempuan itu berdiri di Sierra
dengan perbendaharaan masa-masa
yang naif di ranselnya
dipikul sejak di lembah
hingga ke puncak
masa-masa gegabah
ranselnya sudah terlalu berat
jalan pulang akan payah
daripada dengan muatan
ingatan berpisah
dia memilih henti langkah
terjun bersama,
rebah ke lurah
paling gulita – paling entah
di Sierra
Desember 2022
Baca juga: Sajak-sajak Imam Budiman
Baca juga: Sajak-sajak Randa Yudhistira
Baca juga: Sajak Kofe, Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia
Muhammad Alif Ichsan, mahasiswa program Magister Sejarah, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kelahiran Medan, Sumatra Utara, 4 Desember 1997. Ia telah menerbitkan dua buku antologi puisi picisan tunggal, yaitu Wanita Berhati Dadu (2021) dan Layar Menimpa Tiang (2022). Kini bergiat di Yogyakarta. Ahmad Sadali (1924-1987), Banyuwangi, cat minyak pada kanvas, 59 x 68 cm, 1960. Koleksi Galeri Nasional Indonesia. Sadali adalah pelukis ternama yang pernah mengabadikan hidupnya secara total dalam seni abstrak Indonesia. Gaya dan corak lukisannya begitu dekat dengan unsur ekspresionisme abstrak dan kubisme. (SK-1)