Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Ilustrasi: MI/Sajak Kofe
Suatu hari ia terbang
Tinggi
Tinggi sekali
Kemudian hujan
Menurunkannya kembali ke bumi
Di bumi ia kangen langit
Di langit ia lupa bumi
Seorang bocah ingusan
Yang memainkannya
dengan sepenuh hati
Dan bukan lantaran iseng.
(2022)
Baiklah, penyair. Ini air
usap wajahmu. Usap matamu
Lihatlah ke luar jendela
Lihatlah tanah lapang itu
Dan perhatikan mereka
Bocah-bocah yang sedang bermain
Lincah kakinya cerah wajahnya
Membawa bola menahan bola
Menipu dan ditipu lawan juga
Wajah yang murung
Dan kaki yang lamban, penyair
Bermain jujur tidak menipu
Bahkan bangku penonton pun
Tak berminat memberikan tempat.
(2022)
Kaleng bekas susu masuk
Kerupuk hilang nyawa datang
Masuk yang gugur
Datang yang sisa
Bekas-bekas percintaan
Benda-benda terbengkalai
Dan yang bagus, maaf,
Kami tidak memerlukan kalian
Teruslah berjuang
sampai semua keinginan
berhasil kita gapai.
(2022)
Di atas bumi ada lantai
Di atas lantai ada selembar kain
Dan di atas selembar kain ada tubuh
yang sedang khusyuk memikul beban
Beban hidup sehari-hari
yang dikumpulkannya
sedikit demi sedikit
lama lama
Pecah menjadi tangisan.
(2022)
Teruslah berjuang sampai semua keinginan berhasil kita gapai.
Diantar Harun dua seanak
Ke sekolah pagi di musim wabah
Embun, kabut, oh harapan
berjalan mereka mengendap-endap
Datang Harun beku dibelah
Membuat tawa di taman kampung
Habis sudah berita duka
Orang-orang membuka tudung
Dinanti Harun dua seanak
Sekali jalan ke dalam rengkuh
Rindu cemas soalan anak
Membawa Harun menuju senja
Senja adalah tikus-tikus
Makhluk Gusti setengah iblis
Berlari Harun ke arah kapal
Nuh, Nuh, temani kami menyelamatkan hidup.
(2022)
Harun mati berkali-kali
Lahir Harun berulang kali
Di pasar Harun sibuk menimbang
Di jalan sibuk mengukur-ukur
Harun pergi mendaki gunung
Melihat kota di ketinggian
Seribu kerlip bahkan lebih
Dimana kerlip rumah kekasih?
Kekasih Harun jauh di garam
Di tepi laut mati kapalnya
Suatu malam malam memeluk
Panjang hangatnya ingatan Harun
Turun, turun Harun pulang
ke rumah. Berjalan bumi sehari-hari
Hijau pagarnya besi betina
Tidur Harun tidak bergerak.
(2022)
Tinggal seikat milik si Harun
Dibagi-bagi harta berlima
Pernah dulu begini sedih
Sebelum terang maklumat Tuan
Telah purna Tuan mencinta
Bersih di balik tutupan pandang
Oh, besar dalam memberi Tuan
Harun yang buta tidak memandang
Girang Harun setengah mati
Tersibak pelan kabut di badan
Datang dan pergi lumrah adanya
Tak lebih kurang dibanding kubur
Tinggal seikat milik si Harun
Dibagi-bagi orang berlima
Semua sama dalam bilangan
Hanya hikmahnya bertangga-tangga.
(2022)
Mabuk membuatku lupa segalanya
Seorang tetangga dekat telah
mengundangku ke rumahnya
40 hari sudah ibunya meninggal dunia
Minta bantuan tahlil dan doa
Beruntung tetanggaku itu bisa mengerti
keadaanku. Ia sama sekali tidak melupakanku
Ia kirimkan sepaket berkat ke rumah
berisi makanan, air mineral, dan sarung
dalam kemasan yang terpisah
Masih dalam keadaan mabuk
Aku lihat sarung itu dan ia seolah-olah berkata:
"Ingatlah hidup hanya sebentar. Banyak-banyak
berbuat kebaikan dan beribadah."
Daripada pusing memikirkan makna ucapannya
Lebih baik aku urusi makanan dan minumannya.
"Bismillah sebelum makan, bismillah," kata istriku
mengingatkan anak-anaknya.
Dan secara tak langsung kepada diri hamba
juga aku kira.
(2022)
Baca juga: Sajak-sajak Uhan Subhan
Baca juga: Sajak-sajak Sihar Simatupang
Baca juga: Tak Ada Sesuatu yang Baru di Bawah Matahari
Didik Wahyudi, penyair, lahir di Surabaya, Jawa Timur, 30 Juli 1978. Alumnus Universitas Negeri Surabaya. Puisi-puisinya telah dimuat di sejumlah media lokal dan nasional. Buku kumpulan puisinya berjudul Pelajaran Bertahan (2019). Kini, tinggal dan bergiat di Surabaya. (SK-1)
Kulit putih, bulu mata lentik. Kata orang itu cantik. Menurutku kita lebih manis.
Aku menyeberangi batas pantai di antara kebajikan dan kejahatan.
Petersburg, aku kan kembali bersama belahan jiwa. Mengulang janji suci kami di altar dulu
Kebebasan pun beterbangan di mana-mana serupa tarian angsa.
Ayah-ibu, doakanlah anakmu agar menemukan tanah lapang di seberang.
Aku mencari irama nan syahdu serupa tangisan sasando di tanah kelahiran.
Pahit kopi adalah sebuah etika sedangkan tertawa hanyalah sejumput metafisika.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved