Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Sajak-sajak Bresman Marpaung 

Sajak Kofe
27/12/2021 18:30
Sajak-sajak Bresman Marpaung 
(MI/Gugun Permana)

Citra 

Sebab kami bermuka satu 
lubang rintisan hanya dua 
sedalam irisan kalbu 

Bila tiada lagi curahan hati mata basuh duka; 
menurut tuan dan puan bermuka dua, 
tak putus-putus durjana, tak usai-usai luka
karena kami hanya bermuka satu

Di dua musim jatuh bermalam
rintihan runtuh kering di hati, 
membara cita-cita di dasar dada
menguak asap, kepala lesap
liar berlayar mencakar-cakar pagi
tempat embun tidak tertimbun
menjelmakan mimpi 

Tapi di sana tiangmu tegar membatu
di sini pagarku lelayu terpaku 
tuan dan puan masih bersatu melucu 
dari berlagu tiba-tiba bertekad sendu 

Begitukah ala tuan dan puan berpacaran
datang dan pergi bisa bermuka dua 
patungan silih rupa? 
satu bermuka santu 
satu bermuka batu 
sebentar gatal gelak 
sebentar gatal isak 

Palmerah, Desember 2021 

 

Kurusetra Layang-Layang 

Dari rumah semesta kala 
merajam genting menajam 
kugodam cermin bayang-bayang kejam 

Selusin telur berpecahan 
menarik kita sekutu sepekat adonan 

Melepas segulung benang pikiran 
mempertaruhkan langkah panjang 
merekat-rekat kepingan ingin

Kuramu doa-doa mendingan 
seremuk kepingin hati tak dingin 
menjulur ke hamparan kerlingan 
mau menggentarkan angin 
yang nakal menggerus-gerus perjalanan 

Kupikir tak apalah bertarung di ketinggian 
asal rencana kita sempat menukik ke jazirah 
sepadan diam-diam rahasia bersiasat di balik langit 

Dari hati yang lapang, maksud laparmu kulihat 
sekilat cekam yang berdesak-desakan menyikat 
di sepanjang suram pikiran 

Doaku pelan-pelan terbentang 
merentangkan cara moksa 
yang tak terintip dua maksud pengecoh 
yang mengoceh di karang-karang langit

Setajam itu pikiranmu menoreh 
sekuat ini maksudku menoleh 
kupikir tak apalah 
asal minat kita sama-sama siaga 
menggantung badai segara 

Keleluasaanku kau larikan 
kekuasaanmu kutarikkan 
rupa kita tampak berbahaya sama 
menari-nari mengasuh kesempatan  
mencolek bahaya mengantar kesesakan 

Di cahaya selayak dua saudara satu bapa 
sejajar arah kita menaksir tinggi angkara 
andil berguru menukik tujuan 

Tetiba sampai 
jenteraku yang tanggal terasa 

Kaulah yang tak kuduga 
penggantang di langit paling tak cahaya 
menghunjam rahasia terpendam bahaya  
mengusik satu maksud khusuk 
yang jelas tak penah kuretas dari doa 

Tak sekilas di lumbung perasaan 
kuambangkan itikad bertuan 

Medan-Jakarta, 2018-2021 

 

Drone Membaca Tabiat 

Tak dipersaksikan matahari redup gairah 
drone tak sangsi meronda 
memindai kode-kode di kalbu volksraad¹
yang masih berani menyimpang maksud 

Tertagar menyimpan dewi-dewi tak suci  
telungkup menimpa rahasia kurang setengah inci  
menyamak itikad sampai segelap gerangan 
yang berlagak terbuka; ha ha hi hi 

Secepat firasat kepala drone mengintai 
menguak yang sungguh tak pernah mencintai 
yang menyimpan ulah tak di bawah bantal 
tapi alpa mengalihkan tanda mau 
berlagak selugu mata malu-malu 
terciduk drone bukan gaya yang baka 

Satu persatu volksraad pengecap dangkal 
membekas tabiat di dalam dengkul 
menyimpan sisa semesta sundal 

Serupa tuanmu yang mengubah nakal 
berkeras mengarang misal 
sungguh ganjil mengutus malu 
sekaku bangkai bermain bersama lubuk menari 
menghasut cahaya ke arah takabur 

Drone lihai menyelami 
pangkal itikad terpandai 
yang mengerami kebusukan 
yang sekubang kerbau menyimpan bimbang 
yang tampak setenang penenung 
yang tak mengaku terbaca mata 
terus menambah celaka 

Di kepala drone, rahasia pemain cerita 
yang terbungkus baju jenaka 
ditagar di lintang dan bujur 
asal mula aroma tanya 

Terlambat tiba meminta iba 
bila sempat melewati muara 
terbaca hanyut diamuk cuaca 
terkabar menyandang duka 
akibat bermain di habitat duri keji 

¹ volksraad: Dewan Rakyat atau dewan perwakilan rakyat di era Hindia Belanda. 

Medan-Jakarta, 2018-2021 

Doaku pelan-pelan terbentang, merentangkan cara moksa. 

Perempuan Setelah Hawa 

Sejak kedapatan telanjang di mata Adam 
tak tertebak dalam belalak  
senang atau malu 
hawa tersenyum memandang 
jejak binalnya 

Berbalut sedikit andai-andai
perempuan kota yang membasuh kolotan
cerdas merapalnya 
modifikasi paling berani dara melecut darah
basis pelajaran menggoda 
dari sesunggukan beralih mengangguk berahi 
mengikis laluan malu-malu dari Eden

Si Jago bercupang dada 
Dihirup nafsu dari setinggi camar
takluk belang kesatria berang
dalam bisikan dan rayuan terdesah

Perempuan-perempuan itu
berangan-angan melampaui Hawa
tak lagi dirundung desir

Di dusun paling tak berangin
perempuan-perempuan kebaya 
disokong cobaan yang sama
melebihi Hawa yang kepingin 
merubuhkan kemben dan sanggulnya
mengelembungkan dada muda

Jangan sempat aki-aki menuakan selera
seperti penidur berbeban berat pura-pura terlelap
atau lelaki muak yang memilih berkapar tuak 
tertatih-tatih menghangatkan jalan sadar
sehabis pusing menyentuh keriput
dan gigi-gigi pudar 

Perempuan dusun tersenyum memandang binalnya
tak tertebak senang atau malu
mengerling dengan yukensi agar lelakimu menyumpah
seperti seketika kelana penyinggah terbelalak
memandang perempuan seada Eden

Keterbukaan itu jadi impian gelisah melulu 
menyambungkan jarak Eden agar tak banyak cela
yang tertawa tanpa malu, tak binal tanpa baju

Medan, 2018-2021 

 

Traktat Domba 

(1) 
Kebutlah kami domba pemulung dogma 
tak berpulang di pinangan takdir baka  
tak guna segara kutuk puaka. domba bertulang percaya
dilampiri dosa berkilah semampir nada. sirna dikulum doa 
panggilan kami rumput belian tak bisa putus kamus

(2)    
Cita-cita meninggi. menghampakan tubuh melata
dikawal runduk hamparan pelanduk 
tak luluh dimamah alkisah cerita  

(3)    
Setia berjuang meniti janji. meski tak tiba di paras renta
melulu berakar derita kepingin bertotol nifas doa
melampaui waktu tabah. tertebus putus masa
hamba bertaburan upah  
berbekal rebah walau harus dibelah-belah 
melepas kungkungan  batu dada

(4)    
Inilah tanda perdana telah tiada nasib baka
jejak satu domba pergi tak memulung dogma 
sejak bersumpah ia tak menunggangi cita-cita 
tak harus menunggu tiba mesra tangan tak disangka 
bila-bila gaib digantung langit tak terbaca

(5)    
Sepulih domba sebutlah kami 
pemberantas jubah maut senjakala
hanya sementara ditungkus menuju musim niscaya
baka tak terpapar noda, segara cemas yang gaib, disibak dari mata bala

Maut yang kau gumamkan terbenam 
tak sempat berbau seperti liur kental di bantal 
kami sudahi bantaran masalah 
dipuji menerima satu abadi 

(6)    
Jika ada satu yang selaut kutangisi 
bilangan masa percayamu terkikis tak terbilang hari
kepalang melewati kedalaman kulit kepala
satu domba tersuruk bisa-bisa tersungkur di gulita baka 
tak pulang dari tualang buta

(7)    
Kasih masih membasuh kutuk paling puaka
inilah baka berguna mendulang kabar raya
yang berbagi dalam ramai semesta
domba laik mengimunkan mati

Pencuri bersiasat akan riba membawa tangkai nestapa
kami berlalu dari jalan bunyi. mengikuti kalam moksa

(8) 
Sebutlah kami domba bukan berbakat pencuri-curi 
tak biasa melarikan kaki kerdil dengan nyali semangat buta 
di gejolak semesta nisbi tak rentan terlentang kalah
apalagi mengusung niat di rentang payah mendaki kilah
bahkan di hajat gulita, takkan sudi dilantun lorong fana 

(9)    
Kau jangan mengira-ngira kapan dituntun laut pasang
gelombang bukan sesetia domba di depan kemah
yang berdiri tenang menyuburkan hamparan tiada tara 

Seteru ia yang berlagak lelah mengajak itikad 
memancing seseru di debaran bahagia, 
kau dikulum bencana yang membunuh cita-cita 

Kami bukan domba terpandai. tapi tak tergadai sedap cuaca
meski gagap berandai-andai tapi tak latah di laut sengsara 
berbanding kau pengupas-ngupas serambut agar bisa bertulah tujuh,
yang tak pernah mengira rasa tabah lebih mampu menipiskan tubuh

(10)    
Bukan, bukan duka pelempar bala 
sebab hari belum dipilih merancang bencana
kamilah yang tak membaca ampunan dan sukaria
seperti kau yang terpikat seru-seru seteru 

Medan, 2018 

 

Baca juga: Sajak-sajak Acep Zamzam Noor 
Baca juga: Sajak Kofe, Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia

 

 

 

 


Bresman Marpaung, penyair, cerpenis, dan pegawai, dilahirkan di Pematang Siantar, Sumatra Utara, pada 15 April 1968. Ia memiliki sebuah kumpulan puisi berjudul Kematian Hang di Payau Deli dan Derita-derita Lainnya (Penerbit Basabasi, Yogyakarta, 2020). Karya-karyanya, baik puisi, esai, maupun cerpen pernah ditayangkan di sejumlah media nasional dan daerah. Kini, tinggal dan bekerja di Jakarta sebagai Kepala Sub Direktorat Penanganan Konflik pada Direktorat PKTHA Ditjen PSKL Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (SK-1) 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Iwan Jaconiah
Berita Lainnya