Sajak Bulan Desember
Semilir angin utara
masih bertiup, sedang
pucuk-pucuk kapas perlahan
berguguran. Membawa sepotong
kisah bulan Desember saat bola api
memerah, tak kunjung-kunjung datang.
Menatap langit berabu
ranting-ranting tak berdaun
perlahan hela napas, hati gundah
berharap langit jingga membuka tirainya.
Sementara
semusim duka tiba
menciutkan bibir; seakan
terlena suasana tropis, hangat.
Aku terbangun,
sadari sudah berjalan jauh
menanti matahari timbul esok
merindu cenderawasih bersiul
bulan basah di ujung ranting, perdu sendiri.
Moskwa, 2021
Rasa
Ini wadah menampung seribu rasa, jalan bercabang buatku memilih. Memahami pepohonan berkulit putih, berdaun lebar, berakar nasionalis.
Aku datang berbekal segulung papeda dan sebungkus cakalang berkuah kuning. Setetes keraguan mengendap-endap. Menempel udara asin, menyibak wajah-wajah baru.
Lihat! Orang-orang saling bersulang vodka. Tak pernah ucapkan kalimat; "Mari bertos!", melainkan "Untuk kesehatan, untuk kehidupan Anda, dan untuk kita!" Setiap musim, wajib ucap syukur.
Gerimis salju serupa gula halus, kian bertaburan di jalanan. Rehat sejenak menyantap semangkuk borsch¹. Seakan merasakan hangatnya pelukan mama, perempuan kuat yang tak kenal lelah.
Susu fermentasi kadang buat aku ragu untuk menyapa orang-orang, namun manisnya susu menyadarkanku; saling mengasihi itu penting, perpaduan rasa dari negeri Beruang Putih.
¹ Borsch: sup berkuah merah berisi daging dan sayur.
Moskwa, 2021
Kotak Hitam Malevich di Atas Kanvasku
Sore ini, kuncup-kuncup bunga bermekaran. Mentari bersinar menghantarkan kehangatan, pertanda kedinginan akan segera berlalu.
Setitik tinta, tak pernah besit di benak. Tergores di selembar kertas, sketsa putih menampung setetes keraguan, di genggaman kuas.
Angin berbisik untuk tak perlu melukis, namun aku memang kepala batu, tetap saja memaksa hasrat demi memuaskan batin dan membunuh sunyi.
Lihatlah, apa yang tergores di kanvas. Warna cerah? Lukisan indah? Tinta mengejutkan penglihatan ini. Berawal warna pelangi, berakhir dengan goresan kelabu ala Malevich.
Serasa ingin kurobek sketsa ini, tapi biarlah kusimpan sebagai lukisan. Yang mengajari pribadi menjadi pelukis subuh. Akan kupajang di galeri perjalanan sebagai buah tangan dari negeri rantau.
Moskwa, 2021
Di Leninsky Prospekt, Rindu Pecah
Mengarahkan pandangan ke danau beku Leninsky Prospekt. Malam dingin syahdu. Rembulan sendiri. Kembali teringat sebuah senyuman. Acapkali mekar ketika segulung sagu kelapa dan ikan bakar lahap kusantap.
Mengingat sepotong kisah saat kaki masih berdebu dan bertelanjang. Seayun pecutan rotan, kau mendidikku, ya, Ibu. Yang senantiasa melontarkan petuah; "Mama tidak punya apa-apa. Hanya nasihat yang ada. Jangan jadi anak biasa-biasa. Kau adalah masa depan bangsa!"
Air mata tumpah, hati susah, rindu tanah Papua. Esok kita akan duduk kembali bercerita di beranda rumah. Tiada intan permata yang bisa terbayar, Ibu. Setiap tetes air susumu adalah obat penawar rindu untuk pulang.
Moskwa, 2021
Natal
Tunggu aku pulang
biarkan lilin putih menyala
terangi hati, jadi garam keluarga.
Moskwa, 2021
Luis Sovice Mahuze, lahir di Merauke, Papua, pada 30 Juli 2000. Menyukai cerita dan menulis puisi. Ia pernah meraih juara III Lomba Story Telling di Papua dan juara Harapan I Lomba LKIR dari LIPI. Puisi-puisi Luis ini tergabung dalam antologi puisi Doa Tanah Air: suara pelajar dari Negeri Pushkin yang akan segera diterbitkan. Kini, sedang menempuh pendidikan program S1 Kedokteran di The Peoples' Friendship University of Russia, Moskwa. Ilustrasi: Pohon di Tengah Kota, 150cmx125cm, akrilik di atas kanvas, karya pelukis Syahnagra Ismaill.