Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Bersyukur dan Bertakwa Itu Mudah Dikatakan Tapi Sulit Dilakukan

Ferdian Ananda Majni
09/4/2021 19:50
Bersyukur dan Bertakwa Itu Mudah Dikatakan Tapi Sulit Dilakukan
Munggahan Ramadan di Media Indonesia, Jumat (9/4).(MI/Ade Alawi)

PANDEMI Covid-19 membuat banyak orang yang mengalami kesedihan. Ada orang-orang tercinta dan terdekat yang meninggal akibat virus tersebut. Ada juga yang kehilangan pekerjaan imbas dari pandemi yang sudah setahun lebih berjalan ini. Oleh karena itu, sepatutnya rasa syukur atas nikmat kesehatan yang masih dirasakan terutama umat muslim yang sebentar lagi menyambut ramadan.

Guru Besar Ilmu Politik Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. M. Arskal Salim GP menyampaikan bahwa nikmat sehat ditengah pandemi sangat mahal harganya bahkan tak mampu dibandingkan dengan apapun.

"Kita bersyukur, Alhamdulillah Tuhan masih mentakdirkan kita tidak terkena Covid-19, masih sehat waalfiat. Insyaallah dalam tiga hari ke depan mudah-mudahan kita sampai masuk ke Ramadan. Alama bariklana fii sya'ban wa balighna ila ramadan, mudah-mudahan kita mendapatkan berkah di bulan sya'ban ini dan kita diberikan kesempatan memasuki bulan ramadan," kata Prof Arskal dalam Munggahan Ramadan di Media Indonesia, bertajuk memaknai takwa dalam keberagaman Jumat (9/4).

Dirinya banyak mendengar tradisi-tradisi atau cerita dari berbagai pelosok terutama istilah Munggahan yang merupakan tradisi orang Sunda. Sedangkan orang Jawa menyebutnya Unggahan. Menurutnya, tradisi ini bagian menyatakan kegembiraan, rasa senang senang karena masuk bulan Ramadan.

"Tiga malam lagi ya, malam Selasa menurut perhitungan itu akan kelihatan hilal. Begitu hilang muncul maka saat itu masuk bulan Ramadan. Apakah kita semua kita semua siap menyambutnya dengan rasa suka cita? mudah-mudahan kita mendapatkan karunia sehingga kita merasa sukacita," sebutnya.

Dia tak memungkiri bahwa suka cita menyambut ramadan sangat terasa meskipun di tengah kondisi pandemi. Tentunya rasa cita ini karena bulan Ramadan memiliki banyak manfaat, kaidah bagi kehidupan bahkan jalin silaturahmi juga dilakukan sebelum Ramadan.

"Kita sudah bersukacita, bisa bersilaturahim bertemu dengan kolega dengan kerabat, maaf-maafan. Biasa ada orang yang bilang ah ngapain sih sebelum ramadan sudah maaf maafan? Nanti aja pas lebaran Idul Fitri baru maafan. Kenapa kita menentukan waktu untuk meminta maaf, ya kalau sekarang kesempatannya kita bisa bermaafan kita lakukan sekarang apalagi menjelang bulan Ramadan, kita berpuasa beribadah tarawih qiyamul Lail dan seterusnya. Alangkah baiknya apabila kita sudah bersih suci dari dosa sesama manusia," terangnya.

Makanya tradisi Munggahan, kata Prof Arskal walaupun tidak ada dalilnya, tidak ada ayat atau hadis tetapi ini adalah tradisi yang baik. Dimana berkumpulnya orang-orang untuk bertemu bersilaturahim hingga saling bermaaf-maafan.

"Mungkin juga sekalian dengan makan bersama ya, saat pandemi ini. Kita agak takut-takut makan di restoran karena begitu buka masker lalu ngobrol lah itu khawatir nanti vurus menyebar," jelasnya

Rasa suka cita menyambut ramadan menunjukkan sikap seseorang untuk beribadah sebulan penuh. Apalagi ibadah berpuasa ini memang banyak sekali manfaatnya dan faedahnya seperti misalnya bulan Ramadan sebagai bulan penghapus dosa, bulan penuh rahmat, bulan pengampunan bulan pembebasan dari api neraka.

Dalam hadis riwayat Muslim dikatakan bahwa salat lima waktu, salat jumat sampai jumay berikutnya, puasa Ramadan dari tahun baru ke puasa Ramadan ahun berikutnya adalah penghapus dosa apabila ada perbuatan dosa yang dilakukan.

"Jadi luar biasa sekali makna dan kebesaran faidah bulan Ramadan ini bagi umat Islam. Selain itu juga ya Ramadan ini adalah bulan penuh kebaikan, bulan di mana pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup setan-setan dibelenggu," jelasnya.

Dia mengajak umat muslim menyambut ramadan dengan penuh suka cita, dengan niat yang mantap bahwa bulan ramadan ini kesempatan untuk mewujudkan ketakwaan. Bahkan dalam Alquran surah al baqarah disebutkan bahwa wahai orang-orang yang beriman diwajibkan kepada kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu (Nasrani dan Yahudi).

"Umat Yahudi misalnya berpuasa seperti Nabi Daud, puasa sehari kemudian buka. Umat Nasrani juga berpuasa dalam sebulan itu biasanya pertengahan bulan dan kalau dihitung-hitung 3 hari dalam sebulan dikali maka 36 haru puasanya orang Nasrani. Jadi puasa itu bukan barang baru, puasa sudah dilaksanakan oleh umat umat sebelumnya," tegasnya.

Dia menambahkan bagaimana memakna takwa dalam keberagaman, agar bisa dipahami sebagaimana sebenarnya bertakwa itu dalam Alquran surat al-hujurat ayat 13 berbunyi wahai umat manusia sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan kami jadikan bersuku-suku dan kabilah-kabilah.

"Kenapa, tujuannya untuk apa? agar saling kenal mengenal tetapi sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian Insya Allah disisi Allah adalah orang yang bertaqwa. Ini yang sebenarnya yang kita ingin capai dalam berpuasa untuk mencapai derajat Taqwa dan ini tidak pandang agama manapun disebutkan, orang dari etnis manapun, ras manapun tapi yang paling penting kan adalah ketakwaan kepada Allah," ujarnya.

Tentunya yang bisa disimpulkan dari ayat ini bahwa sebenarnya diawali oleh dua peristiwa atau sebab turunnya ayat ini dan menjelaskan bagaimana ketakwaan itu sangat terkait dengan kemanusiaan, pertama adanya peristiwa yang agak rasis. Karena salah seorang sahabat Bilal berkulit hitam itu diangkat oleh Rasulullah sebagai muadzin.

Namun ada salah seorang sahabat protes, Kenapa Nabi Muhammad mengangkat Bilal sebagai muadzin dan menolak. Dia menganggap bahwa hal itu tidak pantas tidak layak karena berkulit hitam?

Peristiwa yang kedua ada lagi yang ini sebab turunnya ayat Alquran terkait dengan keinginan suatu waktu peristiwa Rasulullah menikahkan seorang budak dengan salah seorang perempuan berasal dari suku Bani Bayadhah. Ada juga lagi sahabat yang tidak setuju karena pertimbangannya warna kulit.

"Akhirnya apa? Ini karena sangat seperti itu bukan hanya warna kulit. Nabi pun memberikan petunjuk dan memberikan saran nasihat agar umatnya menghilangkan sikap memandang remeh memandang enteng mereka yang berbeda. Apakah itu berbeda status, hamba atau merdeka dan warna kulit. Ini artinya apa ya? Apabila ada keragaman maka inilah pengakuan kita terhadap kebesaran Allah. Maka ketika kita menolak keragaman itu menolak bahwa yang satu lebih mulia daripada yang lain, maka ini juga sama dengan sikap iblis," paparnya.

Dikaitkan dengan puasa, bagaimana ketaqwaan ini berkolerasi dan berhubungan dengan ibadah puasa. Kata Prof Arskal pertama sebelum Islam datang, puasa ini sudah menjadi tradisi di masyarakat Yahudi dan biasanya orang-orang yang berpuasa pada tanggal 10 bulan Muharram.

"Di saat itu Nabi memerintahkan untuk berpuasa tetapi ketika puasa Ramadan diwajibkan. Nabi menyampaikan bahwa puasa ramadan menjadi wajib sementara puasa-puasa Asyora itu menjadi sunnah. Disini kita melihat bagaimana ada sikap yang tolerannya dari Nabi Muhammad kepada umat Yahudi, mereka merasa berbangga sekali betapa seorang nabi berpuasa dengan tradisi mereka tetapi ketika puasa ramadan diperkenalkan diwajibkan dan puasa Asyora pun tidak ditinggalkan," tuturnya.

Dia menegaskan bahwa sesungguhnya ketaqwaan yang diharapkan dalam situasi Indonesia yang sangat majemuk adalah sikap moderasi beragama. Perihal ini sangat penting apabila dikaitkan dengan kondisi atau pemberitaan-pemberitaan peristiwa yang terjadi di Makassar dan di Mabes Polri.

"Itu kan peristiwa-peristiwa yang sangat membuat kita terheran-heran, kok bisa ada ya orang-orang yang tidak punya lagi naluri, tidak punya Nurani untuk menghormati satu sama lainnya. Terlepas daripada perbedaan-perbedaan apapun dilatarbelakangi," lanjutnya.

Bagaimana ketakwaan ini dimaknai dalam keberagamaan, guna menyambut bulan suci Ramadan dan juga bisa menebarkan kasih sayang kepada umat manusia.

"Sikap moderasi beragama yang dikembangkan, dirumuskan oleh pemerintah melalui Kementerian Agama, ada empat indikator moderasi beragama itu yang pertama adalah komitmen kebangsaan, kedua adalah toleransi, ketiga adalah Anti Kekerasan, terakhir akomodatif terhadap budaya lokal," ujarnya.

Oleh karena itu, moderasi beragama sangat melekat dengan konsep ketakwaan dalam ajaran Islam. Dengan cara ini maka tetap bisa memelihara persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Tentunya saja umat islam bebas melaksanakan ibadahnya atas kesepakat para founding fathers yang merumuskan Pancasila sebagai dasar negara. (OL-13)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Muhamad Fauzi
Berita Lainnya
Renungan Ramadan
Cahaya Hati
Tafsir Al-Misbah