Headline

Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.

Fokus

Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.

Pendekar Arsitektur Sebut Rumah Adat Akar Arsitektur Indonesia

Mediaindonesia.com
28/10/2020 08:21
Pendekar Arsitektur Sebut Rumah Adat Akar Arsitektur Indonesia
Pendekar Arsitektur Nusantara Yori Antar(Edi Due Woi, Dinas Pariwisata Nagekeo)

YORI Antar, Pendekar Arsitektur Nusantara, yang merupakan pendiri Rumah Asuh Indonesia untuk melestarikan dan menyelamatkan rumah–rumah tradisional Indonesia mengatakan rumah adat merupakan bagian penting dalam arsitektur nusantara karena merupakan akar negara kita Indonesia.

Karena itu, perlu ada penguatan dengan cara melestarikan rumah adat tersebut sehingga Indonesia akan bisa maju ke masa depan dengan lebih mudah setelah akarnya kuat.

Hal itu dikatakan Yori ketika mengunjungi Kampung Kawa dan Kampung Tutubhada di Nagekeo, NTT, bersama Direktur BOP Labuan Bajo Shanah Fatina, Selasa (27/10).

Baca juga: Berjuang Membebaskan Diri dari Ketertinggalan

“Kita harus selamatkan rumah adat karena itulah akar kita. Jika mau maju ke masa depan, kita harus kuatkan dulu akarnya,” kata Yori.

Dalam kunjungan tersebut, ketika memasuki Kampung Kawa, Yori bersama Shanah diterima secara adat lewat pengucuran air tanda penyucian dan berkat oleh para tetua adat.

Di kampung Tutubhada, mereka disapa syair adat serta dikenakan sarung dan selendang tenun Mbay untuk lelaki serta sarung Telopoi untuk perempuan. Mereka pun langsung menyaksikan acara adat pemotongan kerbau untuk peresmian rumah adat yang baru dibangun.  

Menurut Yori, ketika di kampung Tutubhada, yang diperlukan dalam melestarikan kampung dengan mengembalikan bentuk ke aslinya sesuai tradisi dan kesakralan kampung dan rumah adat setempat. Tidak perlu menambahkan unsur lain atau rumah lain yang menggangu keaslian rumah adat. Harus dipertahankan rumah-rumah adat utama.

“Kalaupun  ada rumah singgah, bentuknya harus juga seperti seperti rumah warga. Jadi, istilahnya, ada ring 1 yaitu rumah-rumah utama yang tidak perlu diganggu dan dijaga, kemudian ring 2 yang adalah support seperti toilet, souvenir, rumah singgah, dan tenun. Yang tidak ada hubungannya dan tidak masuk konteks perlu dikeluarkan dari ring 1,” urai pria lulusan Arsitektur Universitas Indonesia ini.

Yori menyampaikan, ia selalu membantu pembuatan rumah adat di setiap pelosok Indonesia namun yang berkaitan dengan dengan ritual adat semuanya oleh masyrakat pemilik rumah.

“Setiap bantuan yang diberikan untuk membuat rumah adat yang kita bantu itu adalah rumahnya dan ritual masyarakat. Dan yang kerja harus masyarakat,” kata Yori.

Bagi Yori, secara mitigasi bencana, rata-rata rumah adat, seperti di Kampung Kawa dan Tutubhada, sangat tahan gempa. Sehingga perlu dipertahankan dan dilestarikan dengan masyrakat juga memperoleh manfaat ketika pariwisata juga masuk ke dalamnya.

“Jadi bila kampung adatnya jadi, harus dipikirkan juga agar wisatawan bisa nginapnya di situ. Dengan demikian, warga bisa dapat keuntungan seperti di situ harus ada sovenirnya seperti tenun serta cenderamata lain yang membawa manfaat buat masyrakat sekitar,“ jelasnya.  

Yori menjelaskan sebanyak 60 titik rumah adat telah ia bangun salah satunya di Flores adalah Wae Rebo yang dibangun pada 2008. Saat membangun Wae Rebo, ia merasa ada yang salah dengan arsitektur Indonesia karena berkiblat pada arsitektur luar. Padahal, Indonesia punya arsitektur yang bagus peninggalan nenek moyang sendiri.

Selain itu, orang ke Flores itu karena ekotourism dan geopark bukan modern tourism seperti Bali atau Jakarta.

“Wae Rebo, rumahnya sudah kembali utuh menjadi 7 rumah adat sebelumnya empat rumah hampir punah.  Ketika di Wae Rebo, saya merasa ada yang salah pada cara pandang kita mengenai arsitek karena belajar pada arsitektur luar sehingga tradisi dan buadaya kita lupakan padahal ini adalah akar kita. Kita sudah melestarikan 60 titik rumah adat dari Sumatera hingga Papua. Makanya dipercaya pemerintah program melestarikan rumh adat dengan donaturnya juga adalah pemerintah yang bekerja sama dengan kementerian PUPR,” jelasnya.

Sedangkan Bupati Nagekeo Johanes Don Bosco Do yang juga bersama menemani di Kampung Tutubhada mengatakan akan menyiapkan anggaran demi menunjang ekotourism pada kampung-kampung adat seperti Tutubhada dan Nunungongo dengan membangun jalan batu pada belakang kampung sehimgga tidak mengganggu keaslian kampung.

“RKPD 2021 akan direncanakan menggunakan jalan batu pada keliling kampung untuk stok logistic dimana rumah-rumah ini disuplai dari belakang. Sehingga didesain ulang, dengan mobil tidak perlu masuk. Seharusnya mobil tidak masuk. Ada kampung Nunungongo yang juga masih asli dan direncanakan serta didesain lebih bagus dengan support area lewat belakang rumah dengan jalan batu pada bagian belakang kampung,” pungkasnya. (OL-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Renungan Ramadan
Cahaya Hati
Tafsir Al-Misbah