Headline

Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.

Prabowo Minta Dikritik, Pengamat: Ingin Beda dari Jokowi

M Ilham Ramadhan Avisena
17/8/2025 20:48
Prabowo Minta Dikritik, Pengamat: Ingin Beda dari Jokowi
Presiden Prabowo Subianto (kedua kanan) bersama Wapres Gibran Rakabuming Raka (kanan), Ketua MPR Ahmad Muzani (tengah) dan Ketua DPD Sultan Bachtiar Najamudin (kedua kiri) tiba untuk mengikuti Sidang Tahunan MPR RI(Antara)

PENGAMAT politik dari Citra Institute Efriza, menilai pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang meminta kritik sarat makna simbolik. Menurutnya, Prabowo ingin membedakan pemerintahannya dengan era Jokowi yang kerap mendapat kritik soal pembatasan kebebasan sipil.

"Suatu penegasan bahwa pemerintahannya tidak anti-kritik, berbeda dengan kesan pada masa pemimpin sebelumnya ketika sejumlah kebijakan Presiden Jokowi dikritik kemudian kebebasan sipil dibatasi dan pemerintah merespons keras pengkritiknya," jelasnya saat dihubungi, Minggu (17/8). 

Efriza juga melihat pernyataan Prabowo sebagai bagian dari rekonsiliasi dengan masyarakat sipil yang selama ini sering berseberangan dengan pemerintah. Isu-isu seperti RUU Ormas, UU ITE, hingga gelombang demonstrasi mahasiswa dianggap menjadi catatan penting yang membuat publik semakin kritis.

Meski demikian, realitas di lapangan masih menunjukkan adanya kendala dalam ruang kebebasan berekspresi. Efriza mencontohkan, ada beberapa kritik yang direspons positif oleh pemerintah seperti pembatalan kenaikan PPN 12% atau kebijakan LPG 3 kilogram. Namun, ada pula kritik yang tidak digubris, seperti penolakan terhadap revisi UU TNI.

Kondisi tersebut membuat ruang kritik terlihat ambigu. Di satu sisi, pemerintah mendengar aspirasi, tetapi di sisi lain sering kali reaktif terhadap suara berbeda. 

"Ini menunjukkan meskipun ada ruang kritik, kritik didengar dan terkadang diikuti keinginan masyarakat melalui kritiknya dengan cara berdemonstrasi, tetapi juga hadirnya sikap reaktif yang menunjukkan pemerintahan tidak siap dikritik," ungkap Efriza.

Ia mencontohkan kasus jurnalis yang mendapat teror, komentar pejabat yang dinilai merendahkan publik, hingga tuduhan demonstrasi dibiayai koruptor. Menurutnya, hal-hal semacam ini justru merusak persepsi bahwa pemerintah siap menerima kritik.

Karena itu, pernyataan Prabowo untuk menerima kritik harus diuji melalui konsistensi kebijakan. Bila hanya sebatas retorika, publik akan segera menangkap kontradiksi. Namun, jika diwujudkan dalam bentuk perlindungan hukum bagi pengkritik dan revisi aturan represif, hal ini bisa menjadi titik balik penting bagi demokrasi Indonesia.

Efriza menegaskan, pernyataan Prabowo tidak boleh berhenti di simbolisme politik. Publik menunggu bukti nyata bahwa kritik, meskipun menyakitkan, benar-benar diterima dengan lapang dada. "Ucapan Prabowo bukan hanya sekadar barisan kalimat simbolik, tetapi menyiratkan upaya membangun kepercayaan publik bahwa pemerintahannya akan lebih terbuka," pungkasnya. (Mir/M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya