Headline
BANGSA ini punya pengalaman sejarah sangat pahit dan traumatis perihal kekerasan massal, kerusuhan sipil, dan pelanggaran hak asasi manusia
BANGSA ini punya pengalaman sejarah sangat pahit dan traumatis perihal kekerasan massal, kerusuhan sipil, dan pelanggaran hak asasi manusia
Kematian Prada Lucky Chepril Saputra Nemo menambah daftar budaya kekerasan dalam tubuh militer. Kekerasan dari senior di tubuh militer yang terungkap ke publik merupakan fenomena gunung es, menandakan praktik tersebut masih eksis dan berpotensi menjadi budaya yang berlaku di beberapa level atau satuan.
"Meskipun satu kasus tidak serta-merta bisa digeneralisasi sebagai cerminan seluruh institusi militer yang sangat besar, kasus yang terungkap ke publik kemungkinan hanyalah sebagian kecil dari praktik kekerasan yang terjadi," kata pengamat militer sekaligus Kepala Analis Laboraturium Indonesia 2045 (LAB 45) Jaleswari Pramodhawardani saat dihubungi, Senin (11/8).
Menurutnya, terdapat sejumlah faktor yang memungkinkan praktik kekerasan bertahan di tubuh militer. Pertama, pemahaman keliru tentang disiplin. Adanya pandangan bahwa kekerasan adalah bagian tak terpisahkan dari pembinaan untuk menumbuhkan mental baja dan disiplin.
Padahal, disiplin sejati dibangun di atas kehormatan, integritas, dan profesionalisme, bukan intimidasi. Kedua, budaya senioritas yang salah kaprah. Praktik senioritas yang kebablasan dan disalahgunakan menjadi alat untuk menindas dan melakukan perundungan, alih-alih menjadi wadah bimbingan dan mentorship.
Ketiga, kurangnya pengawasan dan akuntabilitas. "Adanya celah dalam mekanisme pengawasan dari atasan langsung serta rasa impunitas, di mana pelaku merasa perbuatannya tidak akan mendapat sanksi berat atau tidak akan terungkap," terang Jaleswari.
"Oleh karena itu, kasus Prada Lucky bukan hanya masalah oknum, melainkan sebuah lonceng peringatan yang menuntut institusi militer untuk melakukan introspeksi mendalam," tambahnya.
Guna menghapus budaya kekerasan ditubuh militer tersebut, setidaknya diperlukan langkah-langkah yang komprehensif, terstruktur, dan tidak bersifat parsial. Jaleswari menilai terdapat tiga hal utama yang harus dikerjakan.
Pertama, reformasi kebijakan dan regulasi (pembaruan total kurikulum pendidikan, peraturan yg tegas dan transparan, mekanisme pelaporan yang aman. Menurutnya, perlu diciptakan sistem pelaporan (whistleblowing system) yang independen dan aman bagi prajurit yang menjadi korban atau saksi.
"Prajurit harus merasa terlindungi saat melaporkan kekerasan tanpa takut mendapat balasan," terang Jaleswari.
Kedua, perubahan budaya dan pola pikir, peran sentral pimpinan, reinterpretasi tradisi, promosi nilai-nilai modern. Ketiga, pengawasan dan akuntabilitas seperti penguatan peran polisi militer, pelibatan pengawas eksternal.
"Dengan adanya kolaborasi dengan lembaga pengawas eksternal, seperti Komnas HAM atau lembaga sipil lain, bisa memberikan perspektif objektif dan dorongan bagi perubahan internal," tutur Jaleswari.
Dia memahami, upaya untuk mengakhiri praktik kekerasan di tubuh militer bukan hal yang mudah, tetapi itu merupakan keharusan. "Sebuah militer yang profesional dan disegani adalah militer yang kuat di dalam, berdisiplin, dan menghormati setiap prajuritnya sebagai aset bangsa, bukan sebagai objek perpeloncoan," pungkasnya. (E-3)
ANGGOTA Komisi I DPR Andina Narang meminta kasus tewasnya prajurit TNI Prada Lucky Chepril Saputra Namo. Prada Lucky tewas akibat dianiaya seniornya diusut hingga tuntas dan transparan
Anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, menegaskan perlunya batasan tegas dalam metode pembinaan TNI, menyusul tewasnya Prada Lucky Chepril Saputran Namo akibat dianiaya senior
TAP MPR No. VII Tahun 2000 Pasal 3 Ayat (4) huruf a dan Pasal 65 Ayat (2) UU TNI secara jelas menyatakan bahwa prajurit yang melakukan tindak pidana umum harus diadili di peradilan umum.
Prada Lucky adalah anggota TNI yang baru dia bulan bertugas di Batalion Teritorial Pembangunan (TP) 834 Waka Nga Mere Nagekeo.
Munafrizal juga mendukung sikap Komisi I DPR RI yang mendorong TNI melakukan reformasi internal terkait pola pembinaan prajurit, khususnya menghilangkan budaya senior-junior.
PENGAMAT militer sekaligus Co-founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyayangkan terlibatnya komanda peleton dalam kematian Prada Lucky.
Hasanuddin mengatakan lingkungan militer memang keras. Namun, sejak 1974 telah dikeluarkan instruksi yang melarang hukuman fisik berupa pemukulan atau penyiksaan.
Khairul menjelaskan TNI juga harus melakukan penguatan kepemimpinan mikro dan pengawasan langsung di level kompi dan peleton. Pasalnya, di sana kehidupan sehari-hari prajurit berlangsung.
Dia juga mempertanyakan pelaku yang jumlahnya mencapai 20 orang. Ia meminta penjelasan lengkap peristiwa tersebut.
Ketua DPR RI Puan Maharani menekankan perlunya evaluasi pembinaan di tubuh TNI agar membangun hubungan senior-junior yang saling menghormati.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved