Putusan MK Tentang Pemilu Dinilai Timbulkan Dilema Konstitusional

Media Indonesia
18/7/2025 21:17
Putusan MK Tentang Pemilu Dinilai Timbulkan Dilema Konstitusional
Ilustrasi(Dok Ist)

KETUA Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) Kosgoro 1957 HR Agung Laksono mengungkapkan adanya kegelisahan publik terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru terkait Pemilu.

Putusan MK tersebut dinilai menimbulkan kebingungan dan dilema konstitusional yang serius. Hal itu tidak hanya bagi penyelenggara pemilu tetapi juga bagi masyarakat dan pembuat kebijakan.

"Kalau dilaksanakan bisa melanggar konstitusi, tapi kalau tidak dilaksanakan juga bisa melanggar konstitusi. Tentu putusan itu harus kita sikapi secara konstruktif dan dewasa," kata Agung dalam sambutannya pada diskusi publik bertema Menata Ulang Konsep Keserentakan Pemilu, Solusi Legislasi Putusan MK 135/PUU-XXII/ 2024, di Jakarta, Jumat (18/7).

Agung menyebutkan diskusi yang diselenggarakan Institut Bisnis dan Informatika Kosgoro 1957 (IBI-K57) dengan Kosgoro 1957 ini untuk mencari solusi terbaik.

"Hasil pemikiran ini tentu akan disampaikan kepada kader Kosgoro 1957 yang menjadi anggota DPR RI dan pengurus di daerah, termasuk juga ke partai politik," ujarnya.

Mantan Menkokesra ini juga berharap putusan-putusan MK bisa menjadi sesuatu bermanfaat bagi bangsa dan negara. "Keputusan MK harus bisa memperkuat NKRI," tegasnya. 

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI 2024-2029 Rambe Kamarul Zaman berharap jangan sampai terjadi kesalahpahaman politik atas putusan MK 135 tersebut.

"Sebab, tak boleh DPRD-nya kosong, kalau gubernur atau wakil masih boleh," ujarnya.

Ia menyebutkan dari munculnya pendapat dan sikap yang berkembang saat ini dikarenakan alasan prinsip. Dalam hal ini ada perbedaan penafsiran atas pasal 22 E ayat 1 dan 2 Bab VII B, dan harus disatukan dengan pasal 18 ayat 3 dan 4 UUD NRI Tahun 1945. Dengan berbeda penafsiran, dianggap putusan MK 135 Tahun 2024 tidak sesuai ketentuan konstitusi. 

"Jika ditindaklanjuti DPR RI, akan pula merasa tindak lanjut tersebut harus mengabaikan perbedaan penafsiran yang sangat prinsip. Ini tentu implikasinya menjadi panjang dan rumit. Sebab, untuk tindak lanjut harus melakukan perubahan terlebih dahulu UUD NRI Tahun 1945, apakah perubahan terbatas atau tidak," jelasnya.

Bagi MPR, kata Rambe, sesuai pasal 3 ayat 1 bahwa MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD yang pada intinya memiliki kewenangan menafsirkan pasal-pasal UUD tersebut, agar segera melakukan konsultasi, sesuai Tatib MPR pasal 26, bahwa pimpinan MPR berwenang mengadakan konsultasi dan koordinasi dengan Presiden dan/atau pimpinan lembaga negara lainnya dalam rangka pelaksanaan wewenang dan tugas MPR, serta mengundang pimpinan fraksi dan pimpinan kelompok DPD untuk mengadakan rapat gabungan. 

Konsultasi juga dilakukan kepada yang dianggap perlu atas hal tersebut agar tidak menjadi dan mengarah pada sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD. 

"Hal mana sengketa kewenangan tersebut diputus MK sendiri. Untuk kita ketahui pula bahwa yang membatalkan putusan MK adalah MK sendiri. Namun jika seandainya kita taat pada keputusan MK tersebut bahwa dalam menata ulang konsep keserentakan pemilu, solusi legislasi pasca putusan MK itu dapat dilakukan dengan prinsip mengikuti putusan-putusan MK yang tidak bertentangan dengan konstitusi," tuturnya.

Pada kesempatan sama, pakar sosiologi hukum Universitas Trisakti Trubus Rahardiansah berharap adanya pelibatan publik.

"Pelibatan publik dalam putusan MK tidak ada, maka putusan MK 135 harus diselesaikan dengan cara duduk bersama dengan seluruh stakeholder untuk menemukan solusi," katanya.

Sementara itu, pengamat politik Hendri Satrio menyebutkan putusan MK 135 terlihat tergantung penguasanya, sehingga putusannya bisa sesuai dan tidak sesuai.

"Putusan MK tergantung penguasa. Jika tidak menguntungkan penguasa, akan dikritik, bahkan ditolak, tapi jika menguntungkan, dianggap final dan mengikat," tegasnya.

Hendri juga menyebutkan Indonesia saat ini demokrasinya dalam proses belajar sehingga banyak fenomena yang terjadi.

"Saya melihat putusan MK salah satunya membantu penyelenggara pemilu dalam pelaksanaan, karena pada 2019 banyak yang meninggal dunia," ungkapnya

Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin mengatakan dengan adanya putusan MK 135 ini mau tidak mau karena diakuinya kata 'final dan mengikat' maka tidak hanya harus dihormati tapi juga harus dilaksanakan.

"Maka perlu kiranya kita semua mencari cara agar putusan itu bisa dilaksanakan karena kita setuju final dan mengikat. Jadi bukan hanya dihormati saja tapi dijalankan, apalagi saya melihat substansi putusan MK 135 itu banyak yang positif juga kok," tuturnya

Di antaranya, putusan MK mengkonklusikan eksekutif dan legislatif harus melalui pemilihan umum dan itu yang diinginkan masyarakat.

"Dengan putusan ini artinya metode pemilihan lewat DPRD tidak bisa dilakukan, tapi tetap harus dilakukan melalui pemilihan. Masih banyak waktu untuk mengkaji dan mencari solusi atas perbedaan pendapat yang muncul saat ini," jelasnya.

Adapun Guru Besar Unas Ganjar Razuni menilai MK perlu diawasi terkait apa-apa saja yang perlu, penting, dan urgensi untuk dilakukan uji materi. "Mengenai menguji materi itu batasannya apa? Termasuk apa yang dimaksud final dan mengikat. Bagi saya, MK menjadi diktaktur konstitusional," ujarnya. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya