Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
WAKIL Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto merespons putusan Mahkamah Konstitusi soal pemisahan pemilu nasional dan lokal dengan mengatakan Indonesia memerlukan sistem pemilu berkelanjutan.
Bima di Kabupaten Badung, Bali, Sabtu (5/7), mengatakan konsep berpikirnya semestinya dengan tidak terus menerus mengubah-ubah sistem pemilihan umum.
“Kami melihatnya bahwa kita itu perlu sistem pemilu yang melembaga dan berkelanjutan, bisa dibayangkan kalau bergonta-ganti setiap pemilu maka kita tidak akan memiliki sistem yang ajeg,” kata Bima Arya.
Putusan MK dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 sendiri memisahkan pemilihan umum anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden dengan pemilihan umum anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta gubernur dan wakil gubernur.
Dengan sistem baru yang akan diberlakukan 2029 ini maka pemilu serentak yang selama ini memilih lima surat suara tidak lagi berlaku.
Mahkamah juga mempertimbangkan bahwa hingga saat ini pembentuk undang-undang belum melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Wamendagri kemudian mengatakan bahwa pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang sudah melakukan proses revisi Undang-Undang Pemilu.
“Jadi ada atau tidak putusan MK proses ini berjalan itu yang pertama, kedua, putusan MK ini sedang kami pelajari karena bagaimanapun juga revisi itu harus tetap selaras dan senafas dengan Undang-Undang Dasar, tidak boleh bertentangan,” ujarnya.
Meski mengarah pada keinginan agar sistem pemilu tidak diubah, Wamendagri tidak langsung menyimpulkan sepakat atau tidaknya dengan MK.
Ia lebih fokus pada revisi yang sedang dijalankan pemerintah sambil melihat muatan-muatan dari putusan MK yang sekiranya dapat dikolaborasikan.
“Belum ada kesimpulan, ini kan baru memulai penelitian baru memulai pengkajian kami akan kaji dulu, kami berharap putusan MK ini bisa senafas dan selaras dengan UUD 1945,” kata Bima Arya.
“Kami sedang pelajari secara detail karena ingin proses revisi itu nanti tetap berjalan dengan undang-undang dan dalam proses kajian ini kami pun melihat muatan-muatan materi substansi dari putusan MK tadi,” sambungnya.
Wamendagri juga berpandangan, adanya pemisahan pemilu itu karena perbedaan pandangan pendapat terkait rezim pemilu.
Menurutnya, MK menganggap pilkada dan pemilu adalah satu rezim, sementara banyak kalangan yang berpendapat sebaliknya, sehingga penafsiran ini belum sama.
“MK menganggap bahwa pilkada dan pemilu itu satu rezim, menafsirkan original intens dari proses perubahan Undang-Undang 1945, sementara banyak berpendapat bahwa Undang-Undang 1945 itu memisahkan antara rezim pilkada dan rezim pemilu, karena itu turunan undang-undangnya juga akan berbeda,” kata Bima Arya.(Ant/P-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved