Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Perjanjian Helsinki dan UU 24/56 tak Bisa Dijadikan Dasar soal Sengketa 4 Pulau Aceh-Sumut

Devi Harahap
15/6/2025 18:24
Perjanjian Helsinki dan UU 24/56 tak Bisa Dijadikan Dasar soal Sengketa 4 Pulau Aceh-Sumut
Pulau Panjang yang menjadi salah satu titik sengketa(Dok.Metro TV)

MENTERI Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra menegaskan Perjanjian Helsinki dan UU Nomor 24 Tahun 1956, tak dapat dijadikan sebagai rujukan untuk menentukan sengketa kepemilikan atas empat pulau yang sedang diperebutkan Aceh dan Sumatera Utara (Sumut). 

“Tidak dapat dijadikan rujukan, jalur Undang-Undang 1956 juga tidak. Kami sudah pelajari hal itu,” ujar Yusril pada Minggu (15/6).

Yusril menjelaskan, dalam UU Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara, tak disebut secara eksplisit soal status kepemilikan dari 4 pulau tersebut.

Atas dasar itu, Yusril menegaskan bahwa aturan tersebut tak dapat dijadikan sebagai rujukan untuk menentukan kepemilikan 4 pulau yang kini diperebutkan. 

“Undang-undang pembentukan Provinsi Aceh tahun 1956 itu tidak menyebutkan status 4 pulau itu ya. Bahwa Provinsi Aceh terdiri atas ini, ini, ini, iya, tapi mengenai tapal batas wilayah itu belum,” ujar Yusril. 

Resmi Milik Aceh

Sebelumnya, Mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, mengatakan bahwa empat pulau yang disengketakan Aceh dan Sumatera Utara (Sumut), yaitu Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Kecil, dan Pulau Mangkir Besar, secara resmi merupakan milik Pemerintah Aceh.

“Secara formal dan historis, empat pulau itu masuk wilayah Singkil, Provinsi Aceh,” kata JK, sapaan akrab nya, dilansir dari keterangan yang diterima di Jakarta, pada Minggu (15/6).

Secara historis, JK mengaitkan polemik tersebut dengan kesepakatan perundingan Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki pada tahun 2005 silam.

Dalam perundingan tersebut, kata dia, disepakati bahwa perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan yang dicantumkan dalam undang-undang (UU) UU Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno.

UU tersebut meresmikan Provinsi Aceh sebagai daerah otonom dan memisahkan wilayah tersebut dari Sumatera Utara.

“Dalam sejarahnya, Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, bahwa itu secara historis memang masuk Aceh, Aceh Singkil, bahwa letaknya dekat Sumatera Utara itu biasa,” tukasnya.

Lebih lanjut, ia menilai bahwa UU tersebut berkedudukan lebih tinggi dari Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menyatakan empat pulau tersebut adalah bagian dari Sumatera Utara.

“Itu lebih tinggi dibanding Kepmen. Jadi tidak mungkin bisa dibatalkan dengan Kepmen. Kepmen tidak bisa mengubah UU,” katanya. (Dev/M-3) 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya