Pukat UGM: BUMN dan Danantara Semakin Rawan Korupsi

Rahmatul Fajri
06/5/2025 20:50
Pukat UGM: BUMN dan Danantara Semakin Rawan Korupsi
Ilustrasi(Dok.MI)

Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman menyoroti soal UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN. Adapun, dalam Pasal 9G dalam undang-undang tersebut secara eksplisit berbunyi, ”Anggota direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara”. 

Menurut Zaenur, perubahan-perubahan di dalam UU BUMN memberikan impunitas kepada para pengurus BPI Danantara dan para pengurus BUMN. Ia mengatakan dalam aturannya disebutkan kerugian yang terjadi di BPI Danantara dan BUMN bukan merupakan kerugian negara. 

Zaenur mengatakan UU BUMN itu nantinya akan memiliki konsekuensi sangat serius, seperti bebas dari jaratan korupsi yang diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.

"Dengan pengaturan yang demikian, maka BPI Danantara dan BUMN bisa terbebas dari jerat tindak pidana korupsi, meskipun misalnya terjadi moral hazard di BPI Danantara maupun di BUMN. Misalnya ada yang kemudian secara terang-terangan misalnya melakukan kecurangan. Itu ada risiko tidak bisa dijerat dengan Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang Tipikor," kata Zaenur kepada Media Indonesia, Selasa (6/5).

Zaenur menjelaskan ketika kerugian di BPI Danantara dan BUMN bukan merupakan kerugian negara, maka rumusan unsur Pasal 2 atau Pasal 3 di dalam UU Tipikor itu tidak akan pernah. Hal tersebut mengingat dalam kedua pasal menyebutkan adanya kerugian keuangan negara. 

"Kalau tidak ada kerugian keuangan negara, maka tidak bisa menjadi tindak pidana korupsi. Bukan merupakan tindak pidana korupsi," katanya

Zaenur mengakui masih ada cara lain untuk dijerat secara hukum saat menimbulkan kerugian negara. Namun, ia menilai tidak semua kerugian negara kemudian ditindak dan diproses secara hukum. 

Selain itu, Zaenur juga menyoroti perubahan status anggota direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara. Hal tersebut bertentangan dengan norma di dalam UU Nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara.

Di dalam UU Nomor 28 Tahun 1999, salah satu penyelenggara negara adalah komisaris atau direksi dari BUMN. Kalau di dalam UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang perubahan UU BUMN disebut bukan merupakan penyelenggara negara, maka para pengurus BUMN bisa terbebas dari kewajiban untuk melaporkan harta kekayaan atau LHKPN. 

"Padahal kita tahu bahwa laporan LHKPN itu sangat penting sebagai instrumen pencegahan korupsi," katanya.

Lebih lanjut, Zaenur mengungkapkan KPK tidak bisa lagi mengusut dugaan korupsi yang menyangkut anggota direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN, karena terhalang status bukan merupakan penyelenggara negara.

Berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 diatur bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan-penyelidikan dan penuntutan aparat penegak hukum, penyelenggara negara.

"Kalau ini bukan penyelenggara negara, artinya tidak bisa ditangani oleh KPK. Karena sebenarnya rumusan pasal yang digunakan itu adalah kumulatif alternatif," katanya.

Zaenur mengaku khawatir dengan adanya UU Nomor 1 Tahun 2025 semakin banyak korupsi yang tidak bisa ditangani di BUMN. Ia berharap adanya keputusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan tafsir atas undang-undang tersebut. 

"Saya berharap MK memberikan tafsir agar BPI Dantara dan BUMN tetap bisa dijerat dengan tindak pidana korupsi ketika terjadi korupsi, dan yang kedua agar tetap bisa ditangani oleh KPK," katanya. (Faj/P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akhmad Mustain
Berita Lainnya