Hasil Survei Dapat Membentuk Pendapat Umum Palsu

Media Indonesia
10/5/2023 18:55
Hasil Survei Dapat Membentuk Pendapat Umum Palsu
Bakal calon presiden 2024(Dok. Medcom)

SURVEI SMRC menyebut 57 persen responden ingin presiden baru melanjutkan program yang sudah dijalankan pemerintahan Joko Widodo. Hanya 33 persen responden yang tak mau program Jokowi diteruskan.

Pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga, menilai hasil survei tersebut tampak menguntungkan Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto

"Sebab, responden menginginkan calon presiden yang akan melanjutkan program Jokowi. Ini mengindikasikan, responden akan memilih ganjar dan Prabowo sangat besar," terangnya.

Baca juga: Mayoritas Publik Ingin Program Jokowi Dilanjutkan oleh Presiden 2024

Jamiluddin menambahkan kondisi sebaliknya didapati oleh Anies Baswedan. Menurutnya, Anies Baswedan yang dipersepsi tidak akan meneruskan program Jokowi berpeluang hanya dipilih 33 persen responden.

"Hal ini mengindikasikan, lebih banyak responden yang akan memilih calon presiden yang akan meneruskan program Jokowi daripada yang tidak," sambung mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta itu.

Baca juga: Survei Simulasi Dua Pasangan Capres : Ganjar Ungguli Prabowo

Ia mengungkapkan temuan itu bisa jadi sebagai acuan untuk mendorong duet Ganjar-Prabowo maju pada Pilpres 2024. Asumsinya, bila duet ini maju, maka sebanyak 57 persen diharapkan memilihnya. Sementara Anies hanya dipilih 33 persen. Dengan begitu, duet Ganjar-Prabowo akan dengan mudah mengalahkan Anies.

Meski demikian, Jamiluddin menekankan pentingnya asumsi yang didasarkan pada penelitian yang valid dan representatif. Valid bila hasil survei itu menggunakan instrumen yang reliabel.

"Selain itu, sampelnya memang representatif dan presisi tinggi. Dengan sampel seperti itu barulah hasil survei dapat digeneralisasi," tambahnya.

Menurutnya, informasi terkait dua hal itu memang tidak pernah disampaikan secara terbuka. Karena itu, sulit menilai hasil survei itu benar-benar valid dan temuannya dapat digeneralisasikan. Jamiluddin mendasarkan pada pengalaman yang banyak memunculkan hasil survei tidak akurat. Hasil Pilkada DKI Jakarta 2017 misalnya, lembaga survei merilis hasil dengan memenangkan Ahok. Namun nyatanya yang menang Anies.

"Jadi, hasil survei dari beberapa lembaga survei saat ini memang sulit dipercaya. Selain hasilnya kerap tidak akurat, juga banyak lembaga survei yang menjadi 'tim sukses'", tambah dosen metode penelitian komunikasi itu.

"Dengan peran ganda itu, tentu hasil survei yang dirilisnya tak layak dipercaya. Hasil survei demikian sangat bias tapi dapat membentuk pendapat umum palsu. Hal itu tentu membahayakan bagi perkembangan demokrasi di tanah air," pungkasnya.

 

Bisa Jadi Alasan Dorong Terwujudnya Koalisi Besar

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesian Politics Research & Consulting (IPRC) Firman Manan menyebutkan, fenomena ini terkait dengan peningkatan public approval rating dari Presiden Jokowi. 

“Maka dukungan yang diberikan terhadap Capres yang diasosiasikan dengan Presiden Jokowi dan diharapkan mengusung keberlanjutan agenda-agenda kebijakan di masa pemerintahan Presiden Jokowi,“ kata Firman.

Saat ini ada tiga nama Capres, yaitu Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Baswedan. Nama Jokowi lekat dengan Ganjar-Prabowo, sehingga muncul ide untuk membuat Koalisi Besar. 

“Peluang koalisi besar yang mengusung agenda keberlanjutan terbuka, tetapi ada variabel lain yang tidak ditentukan oleh Presiden Jokowi.” sebut Firman.

Dosen Ilmu Politik di Universitas Padjajaran ini menambahkan, terkait penentuan komposisi Capres-Cawapres bergantung pada konsensus antara PDIP dengan aktor penentunya, Megawati, dan Gerindra dengan aktor penentu, Prabowo,” jelas Firman. 

Apabila terjadi konsensus, koalisi besar potensial terbentuk. Namun kalau tidak, akan muncul dua poros koalisi di luar Koalisi Perubahan oleh Nasdem-PKS-Demokrat. 

Dalam survey yang sama, terungkap bahwa 80% pemilih pada Pemilu 2024 adalah pemilih kritis. Firman mengatakan pemilih kritis belum menentukan sikap, masih menunggu perkembangan politik sekarang ini. 

“Bukan pemilih loyal yang sudah ajeg dalam menentukan pilihan, lebih sebagai swing voters, yang potensial merubah preferensi dengan mengacu pada penilaian mereka terhadap isu isu yang berkembang selama masa pemilihan,” terang Firman.

Meski dengan ‘endorse’ Presiden, masih ada variabel pemilih kritis yang bisa diperjuangkan untuk memperkuat perolehan suara. (RO/Z-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya