Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Keterlibatan KY dalam Mengawasi Hakim MK Digugat

Indriyani Astuti
09/5/2022 13:45
Keterlibatan KY dalam Mengawasi Hakim MK Digugat
Mahkamah Konstitusi(MI/Andri Widiyanto )

KETENTUAN keberadaan unsur dari Komisi Yudisial (KY) dalam keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK) diuji materi terhadap UUD 1945. 

Ketentuan keterlibatan KY dalam mengawasi kode etik hakim konstitusi itu diatur dalam Pasal 27A ayat 2 huruf (b) Undang-Undang Nomor 7/2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 24/2003 tentang MK yang berbunyi "Untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang keanggotannya terdiri atas 1 (satu) orang hakim konstitusi, 1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial', dan 1 (satu) orang akademisi berlatar belakang hukum."

Pemohonan uji materi UU MK itu diajukan oleh Ignatius Supriyadi yang bekerja sebagai advokat. Ia beralasan ketentuan pasal a quo yang masih melibatkan peranan KY dalam Majelis Kehormatan MK, bertentangan dengan kepastian hukum.

"Karena dalam putusan-putusan MK sebelumnya telah dikatakan bahwa KY tidak memiliki peranan atau keterlibatan dalam MK. Dalam arti KY merupakan lembaga lain yang dalam pembentukannya berdasarkan Pasal 14B UUD 1945 tidak memiliki ketersinggungan dengan MK," ujarnya pada majelis panel yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan anggota Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul serta Daniel Yusmic P. Foekh, di gedung MK, Jakarta, Senin (9/5).

Baca juga: Firli Minta Pegawai KPK Semangat Bekerja Usai Lebaran Bareng Keluarga

Menurut Ignasius, sebagai pemohon mengalami kerugian akibat adanya norma itu. Sebagai advokat yang bersinggungan atau beracara di MK, ia mengatakan keterlibatan KY dalam Majelis Kehormatan MK dan tidak selaras dengan putusan MK sebelumnya.

"Menimbulkan ketidakpastian hukum bagi kami selain menghambat tugas profesionalitas kami, peraturan ini juga tidak selaras dengan putusan MK sebelumnya," ujar dia.

Putusan yang dimaksud yakni Putusan MK 49/PUU-IX/2011. Pemohon meminta majelis untuk menyatakan Pasal 27A ayat 2 huruf (b) UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Menanggapi permohonan itu, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menjelaskan bahwa MK sebagai lembaga yang diatur dalam UU MK, tidak berwenang menguji UU yang menyangkut lembaganya.

Namun, ia mengatakan MK merupakan peradilan yang berwenang menyidangkan sengketa antarlembaga negara. Keterlibatan KY dalam anggota Majelis Kehormatan MK, menurutnya berpotensi menimbulkan konflik.

"Bilamana terjadi sengketa kewenangan di antara lembaga negara, KY dianggap besar kemungkinannya menjadi salah satu pihak dalam perkara kewenangan lembaga yang diperiksa oleh MK," tuturnya.

Baca juga: Pandai Rajut Komunikasi dengan Elite, Puan Dinilai Punya Harapan di 2024 

Sedangkan Hakim Konstitusi Daniel meminta pemohon memperkuat kedudukan hukum. Ia menyarankan agar pemohon memikirkan kembali dampak apabila pasal itu dibatalkan. Daniel berpendapat, pembentuk UU menentukan tiga unsur anggota Majelis Etik, untuk memudahkan dalam pengambilan keputusan menyangkut pelanggaran etik. Apabila hanya dua orang, akan sulit mengambil keputusan.

"Kecenderungan karena kalau hanya dua anggota sulit. Nanti coba dipertimbangkan dampak dari norma ini kalau ditanyakan bertentangan (dengan UUD 1945). Kalau itu dihilangkan dampaknya agak sulit dalam mengambil keputusan kalau (hanya) ada dua orang (anggota) ini (punya pendapat) bersebrangan," paparnya.

Lalu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat meminta pemohon mempelajari putusan MK, Nomor 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006 yang menyatakan Hakim MK tidak termasuk dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh Komisi Yudisial. Pengawasan terhadap pelaksanaan kode etik hakim konstitusi dilakukan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UU MK sebagai pelaksanaan Pasal 24C ayat (6) UUD NRI 1945.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011 tanggal 18 Oktober 2011, Mahkamah membatalkan ketentuan Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e, Pasal 27A ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU Nomor 8 Tahun 2011 yang mengatur keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi terdiri dari unsur KY, unsur Pemerintah, unsur DPR, dan satu orang hakim agung yang bersifat permanen. Menurut Mahkamah itu dapat mengancam dan mengganggu kemandirian hakim konstitusi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.

"Karena ada kemungkinan orang yang mengisi jabatan itu sarat dengan kepentingan sektoral. Oleh karena itu, dalam rangka menjaga independensi dan imparsialitas Mahkamah, MK perlu menyusun pedoman kode etik," tukasnya. (P-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik