Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Saat Sidang Tuntutan, Yahya Waloni Minta Video Ceramahnya Dihapus

Basuki Eka Purnama
29/12/2021 09:47
Saat Sidang Tuntutan, Yahya Waloni Minta Video Ceramahnya Dihapus
Yahya Waloni, terdakwa kasus ujaran kebencian dan penistaan agama menjalani sidang tuntutan secara daring, di PN Jaksel, Selasa (28/12).(ANTARA/Laily Rahmawaty)

TERDAKWA ujaran kebencian dan penistaan agama Muhammad Yahya Waloni meminta kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan menghapus konten video ceramahnya.

Yahya tidak ingin video ceramahnya, yang berisi ujaran kebencian dan penistaan terhadap agama beredar di media sosial.

"Saya memohon kepada hakim yang mulia, semua konten video saya terkait ketersinggungan dan telah menyakiti dan telah melukai perasaan saudara-saudara saya kaum Nasrani tolong bekerja sama dengan Kominfo untuk dihapus," kata Yahya saat menyampaikan pembelaan secara lisan dalam sidang pembacaan tuntutan secara virtual, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (28/12).

Baca juga: Polda: Kasus Bahar Bin Smith Terus Berlanjut!

Yahya Waloni yang dituntut jaksa penuntut umum (JPU) dengan hukuman tujuh bulan penjara dan denda Rp50 juta dengan subsider satu bulan kurungan, menerima tuntutan itu dan mengajukan pembelaan (pleidoi) secara lisan.

Dalam pembelaannya, penceramah kelahiran Manado tersebut mengakui perbuatannya, menyesali, serta berjanji tidak akan mengulanginya. Yahya juga siap menjalani segala bentuk hukuman yang akan dijatuhkan terhadap dirinya.

Pria lulusan S-3 tersebut mengaku khilaf, ujaran-ujaran kebencian dan mengandung unsur suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang disampaikan dalam ceramah-ceramah agama yang diunggah di media sosial, bukan berasal dari dirinya yang dibesarkan dengan pendidikan yang layak.

"Setelah saya mendengar, melihat dan sekaligus disadarkan oleh Bareskrim, itu saya merasa itu bukan pribadi saya yang berbicara, saya merasa bodoh, merasa orang yang tidak berpendidikan," katanya.

Menurut Yahya, penjara menjadi universitas yang memberikannya pendidikan lagi tentang arti keberagaman dan menghormati pemeluk antarumat beragama.

Yahya mengakui perbuatannya telah melanggar etika publik, etika Pancasila, melanggar etik Undang-Undang Dasar 1945, bahkan Bhinneka TunggalIka.

Selama dipenjara, kata Yahya, dirinya menyadari satu hal, ketika menjadi seorang imam di dalam penjara, menjadi seorang khatib di dalam penjara, dan memimpin umat di dalam penjara yang diisi berbagai macam lapisan di masyarakat dengan berbagai macam keberagaman dan keagamaan.

"Dan mereka senang kepada saya, bahkan saya baru menyadari arti dari pada kebersamaan itu, toleransi keberagaman, itu justru dari kesalahan yang saya lakukan," kata Yahya.

Yahya berjanji setelah bebas dari pidana penjara, akan kembali menjadi penceramah yang mendukung program pemerintah dan program kepolisian untuk memelihara persatuan serta kesatuan antarumat beragama di Indonesia.

Ia juga berjanji tidak akan terlibat dalam kancah perpolitikan, tidak ingin terkontaminasi dengan berbagai isu politik.

"Karena tidak pantas saya sebagai seorang pendakwah untuk hidup dan bersama-sama ditunggangi dengan kepentingan-kepentingan politik," ujar Yahya Waloni. (Ant/OL-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya