Headline
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
HASIL revisi Undang-Undang No 2/2021 tentang Perubahan Kedua tentang Otonomi Khusus (Otsus) Provinsi Papua dianggap mereduksi kewenangan Majelis Rakyat Papua (MRP). Karenanya MRP melakukan uji materi sejumlah pasal dalam UU Otsus Papua terhadap UUD 1945, ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mantan Hakim MK Maruarar Siahaan yang menjadi ahli dalam sidang lanjutan di MK, menilai MRP sebagai lembaga negara representasi orang asli Papua, punya kedudukan hukum mengajukan permohonan tersebut.
"MRP punya kedudukan hukum atas nama representasi kultural dari masyarakat Papua untuk menguji UU yang mempengaruhi kewenangan MRP," ujar Maruarar pada majelis yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman, Senin (13/12).
Ia menjelaskan, MRP hadir dari adanya perubahan terhadap konstitusi yang memberikan kekhususan pada Provinsi Papua. Adapun kewenangan MRP diatur secara khusus. Namun, ada hak-hak yang dianggap direduksi atas hadirnya UU Otsus Papua yang baru, salah satunya dalam mengangkat anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP).
Dalam UU No 2/2021, kata "wajib" meminta pertimbangan MRP, diubah menjadi "dapat". Maruarar menuturkan, MK belum menerapkan constitutional complaint yang dapat digunakan lembaga negara untuk menguji suatu rancangan UU. Sehingga MRP, ujar dia, kemudian menguji UU Otsus Papua yang telah disahkan.
MRP diwakili Ketuanya Timotius Murib memohonkan uji materi atas sejumlah pasal UU No.2/2021 yakni Pasal 6A ayat 1 huruf d, ayat 2,3,4,5,6, Pasal 28 ayat 1,2,4, Pasal 38 ayat 2, Pasal 59 ayat 3, Pasal 68 ayat 2, Pasal 76 ayat 1,2,3, dan Pasal 77 terhadap UUD 1945. Adapun norma yang diuji antara lain pengangkatan anggota DPRD, usulan pemekaran daerah otonomi baru oleh pemerintah pusat, dan lain-lain.
Baca juga: Azis Syamsuddin Disebut 'Bayar' Robin Agar Tak Disebut
Ahli lainnya Profesor Riset dari Pusat Penilitian Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Cahyo Pamungkas, MRP seharusnya menjadi otoritas yang berwenang mengetahui dan mengatur pemekaran di Papua. MRP, ujar dia, mengetahui batas-batas kultural kelompok-kelompok adat di Papua, satuan sosial budaya. "Pemekaran bersifat top down (dari pemerintah pusat), hanya akan menimbulkan konflik antarorang asli Papua," ucapnya.
Sementara itu, Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Supriansa yang memberikan keterangan dari legislatif mengatakan norma pengisian anggota DPRP yang diangkat dengan kuota dalam Pasal yang diuji pemohon dimaksudkan sebagai kebijakan afirmatif untuk memberikan peran bagi masyarakat Papua dalam menentukan kebijakan pembangunan.
"Kebijakan afirmatif merupakan bentuk perhatian khusus yang tidak bertentangan dengan UUD 1945," ujar dia.
DPR juga menyampaikan perubahan norma dari kata MRP "wajib" menjadi "dapat" memberikan pertimbangan dalam pengangkatan anggota DPRP, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat 4 UU Otsus Papua, bukan berarti menimbulkan ketidakpastian hukum bagi MRP dalam melaksanakan tugasnya. "Karena MRP memberikan pertimbangan dari hasil rekrutmen yang dilakukan partai politik," terang dia. Suriansa menambahkan, ada pula pemilihan anggota DPRP dari hasil pemilihan umum. (P-5)
Tanggung jawab yang melekat pada para pemimpin daerah hasil Pilkada di Pulau Papua adalah untuk kesejahteraan rakyat.
Dia mendesak hal ini karena sudah terlalu lama terjadi kekosongan Anggota MRP, padahal keberadaan lembaga ini sangat strategis. Apalagi dalam rangka Pemilihan Umum 2024.
ANGGOTA DPR Provinsi Papua Boy Markus Dawir mendesak Menteri Dalam Negeri untuk segera melantik anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) terpilih periode 2023-2028.
Perubahan UU Otsus juga diterbitkan seperangkat peraturan pemerintah dan peraturan presiden sebagai penjabaran dari UU No 2 Tahun 2021.
Menurut Mahkamah, perubahan UU Otsus Provinsi Papua dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, melindungi, menjunjung harkat martabat dan melindungi hak dasar orang asli Papua
"Kami punya satu UU payung hukum yang besar adalah UU Otsus maka ada lex spesialis itu yang harus menjadi patokan kita di Papua."
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved