Headline
Sebaiknya negara mengurus harga barang dulu.
ANGGOTA Komisi III DPR Fraksi Nasdem, Taufik Basari menjelaskan sesungguhnya tindak lanjut hasil penyelidikan Komnas Ham atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu tidak perlu menunggu keputusan DPR.
Kejagung dapat menindaklanjuti dengan melakukan penyidikan terhadap kasus tersebut sesuai dengan ketentuan UU Pengadilan HAM dan hukum acara yang berlaku. Keputusan DPR untuk membentuk Pengadilan HAM ad hoc dilakukan setelah penyidikan oleh Kejagung dilakukan.
Ketentuan ini menurut Taufik, merujuk pada Pasal 43 UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang menyebutkan: (1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang- undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc. (2) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
"Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 18/PUU-V/2007, kata dugaan dalam penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dinyatakan batal serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, karena menimbulkan ketidakpastian hukum," jelasnya.
"Penjelasan pasal itu awalnya berbunyi sebagai berikut: Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini.” papar Taufik.
Dalam pertimbangan hukum MK menyatakan terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat untuk menentukan perlu tidaknya pembentukan Pengadilan HAM ad hoc atas suatu kasus tertentu menurut locus dan tempus delicti memang memerlukan keterlibatan institusi politik yang mencerminkan representasi rakyat yaitu DPR.
Akan tetapi, DPR dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi yang memang berwenang untuk itu.
"Oleh karena itu, DPR tidak akan serta merta menduga sendiri tanpa memperoleh hasil penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu dari institusi yang berwenang, dalam hal ini Komnas Ham sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai penyidik sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000," ujarnya.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2007 tersebut dalam hal DPR merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc, DPR harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi yang berwenang untuk itu.
"Oleh karenanya, sebelum DPR mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc, terlebih dahulu harus ada dasar penyidikan yang dilakukan, sehingga bukan DPR yang menduga sendiri terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat, melainkan proses pro yustisia-lah yang mendasari keputusannya,” ungkapnya.
Lebih lanjut Taufik menjelaskan, kewenangan DPR yang diberikan UU adalah dalam hal mengusulkan pembentukan Pengadilan Ham ad hoc untuk pelanggaran HAM masa lalu, bukan dalam hal menentukan apakah hasil penyelidikan Komnas HAM dapat ditingkatkan menjadi penyidikan atau tidak.
”Menindaklanjuti hasil penyidikan Komnas HAM menjadi penyidikan adalah kewenangan Jaksa Agung. Karena itu laksanakanlah kewenangan pro yustisia itu berdasarkan hukum,” kata Taufik.
Taufik menegaskan dukungannya terhadap perintah Jaksa Agung kepada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) untuk menyusun langkah-langkah strategis dan membuat terobosan progresif untuk menuntaskan pelanggaran Ham masa lalu yang disampaikannya seminggu yang lalu.
Dia juga mengingatkan bahwa sebelumnya Presiden memerintahkan agar komitmen penuntasan masalah HAM masa lalu harus terus dilanjutkan, dan Kejaksaan adalah aktor kunci dalam penuntasan pelanggaran Ham masa lalu.
Sebelumnya hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terhadap kasus beberapa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat saat ini masih menunggu tindak lanjut penyidikan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
Pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, pada Kamis (25/11) yang lalu menyatakan bahwa dari 13 kasus pelanggaran HAM berat yang diselidiki Komnas HAM, 4 di antaranya yang terjadi setelah tahun 2000 diproses pemerintah, sementara 9 kasus lainnya yang terjadi sebelum tahun 2000 menurut Mahfud menunggu keputusan DPR. (Sru/OL-09)
KETUA Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang meyakini kelembagaan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dan Badan Penyelenggara Haji (BP Haji) sebaiknya tetap dipisah.
Setelah melakukan simulasi, menurut dia, berbagai partai politik tersebut akan memutuskan sikap untuk sistem penyelenggaraan pemilu atau pilkada ke depannya.
Ketua Banggar DPR RI menekankan pembangunan IKN tetap dilanjutkan meski anggarannya memiliki perubahan dari waktu ke waktu.
PARTAI politik di DPR begitu reaktif dalam merespons Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 135/PUU-XXII/2025.
DPR menyebut perayaan HUT ke-80 RI pada 17 Agustus digelar di Jakarta, bukan di Ibu Kota Nusantara atau IKN, Kalimantan Timur karena memakan biaya banyak.
DPR dan pemerintah tidak menyerap aspirasi semua pihak dalam membahas RUU KUHAP.
KEJAKSAAN Agung (Kejagung) menegaskan terdakwa kasus dugaan korupsi importasi gula Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong akan bebas dari tahanan Jumat (1/8/2025) malam ini.
KEJAKSAAN Agung (Kejagung) merespons langkah Presiden Prabowo Subianto serta DPR RI yang mengajukan dan menyetujui abolisi kepada Mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan membuka peluang untuk memanggil mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim
KEJAKSAAN Agung merespons memori banding yang dilakukan oleh tim kuasa hukum Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong pada kasus korupsi impor gula.
Keterangan DVD juga dipakai untuk kasus dugaan suap di Pengadilan Tinggi Jakarta dan MA yang menjerat Zarof. Dia berstatus sebagai saksi dalam dua perkara itu.
Yang terjadi sebenarnya adalah penggunaan logo atau merek PT Antam secara illegal oleh pihak tertentu guna mendapatkan keuntungan secara personal atau kelompoknya.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved