MANTAN Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, membelanjakan uang suap yang dikutip dari para eksportir benih bening lobster (BBL) untuk membeli berbagai hal, mulai dari tanah hingga belasan sepeda jenis road bike.
Hal itu tergambar dengan rinci dari surat dakwaan yang disusun oleh jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kendati demikian, lembaga antirasuah tidak menjerat Edhy dengan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU). Jaksa KPK, Ronald Ferdinand Worotikan, menyatakan pihaknya saat ini hanya mendalami tindak pidana korupsi yang dilakukan Edhy.
"Sekarang kan kita fokus dulu sama aset-aset yang digunakan dahulu, karena kan ada beberapa aset-aset itu disita juga. Kita fokusnya pada suapnya dulu," kata Ronald kepada Media Indonesia di luar ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (15/4).
Menurut Ronald, batas waktu penuntutan menjadi hal yang menjadi pertimbangan pihaknya belum menjerat Edhy dengan TPPU. Ia menjelaskan penyidikan TPPU harus meruntut semua aset-aset yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi.
"Kita ada wacana ke sana (penjeratan TPPU). Itu nanti ke (bidang) penyidikan," tandasnya.
Baca juga: KPK Selisik Transaksi Perbankan Nurdin Abdullah
Edhy didakwa menerima suap sebesar US$77 ribu dari Suharjito, pemilik PT Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP) yang menjadi perusahaan eksportir benih bening lobster (BBL). Jaksa KPK juga menyebut suap lain dari Edhy yang mencapai Rp24,625 miliar. Angka itu merupakan akumulasi yang diterima dari Suharjito dan para eksportir BBL lainnya.
Berdasarkan surat dakwaan, Edhy menggunakan uang tersebut antara lain untuk membeli tanah senilai Rp3 miliar di Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat serta membayar sewa Apartemen Signature Park Grande Cawang dan Apartemen Menteng Park Cikini Raya untuk dua sekretaris pribadinya, yakni Anggia Tesalonika Kloer dan Putri Elok Sekar Sari yang masing-masing senilai Rp70 juta dan Rp80 juta.
Edhy juga disebut membelanjakan uang yang diperoleh dari para eksportir BBL untuk membeli 17 unit sepeda jenis road bike dengan keseluruhan harga Rp277 juta, dan satu buah jam tangan merek Rolex Yacht Master II Yelow Gold seharga Rp740 juta.
Selain itu, uang hasil suap juga digunakan Edhy dan istrinya, Iis Rosita Dewi, untuk berbelanja saat melakukan kunjungan dinas ke Amerika Serikat pada 17 sampai 24 November 2020. Beberapa barang belanjaan tersebut antara lain sepasang jam Rolex Oyster Perpetual Datejust yang masing-masing berwarna silver dan rosegold, tas merek Louis Vuitton, serta tas merek Hermes.
Dalam perkara ini, Edhy didakwa menerima suap sebesar US$77 ribu dari Suharjito, pemilik PT Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP) yang menjadi perusahaan eksportir BBL. Selain itu, ia juga menerima suap senilai Rp24,625 miliar yang diperoleh baik dari Suharjito dan para eksportir BBL lainnya.
Akibat perbuatannya, jaksa KPK mendakwa Edhy dengan dakwaan alternatif Pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP jo Pasal 65 KUHP. (OL-4)