Pemerintah Harus Ciptakan Ruang Demokrasi Digital

Sri Utami
10/12/2020 15:23
Pemerintah Harus Ciptakan Ruang Demokrasi Digital
Ilustrasi(AFP)

PAKAR Komunikasi Politik Universitas Tarumanagara Anto Sudarto mengatakan pemerintah masih lemah dalam membangun komunikasi politik dan lebih menekankan pada politik komunikasi.

Hal tersebut pernah disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo yang mengakui lemahnya komunikasi politik pemerintah terhadap publik sehingga menghasilkan kebisingan yang memuat informasi bohong.

“Pemerintah lemah dalam komunikasi politik dan itu pernah disampaikan sendiri oleh Presiden Joko Widodo. Saya melihat pemerintah lebih menekankan politik komunikasi yaitu bagaimana pemerintah mengatur komunikasi dari publik,” ungkapnya.

Dalam diskusi daring Komunikasi Digital dalam Demokrasi, Kamis (10/12) Anto memaparkan politik komunikasi yang dilakun pemerintah dapat dirasakan dengan adanya undang-undang ITE. Undang-undang tersebut sangat membatasi ruang gerak publik untuk berekpresi di ruang sosial.

“Itu bisa dilihat salah satunya dengan adanya UU ITE. Pemerintah lebih menggunakan power politik dibandingkan komunikasi politik,” imbuhnya.

Padahal pemerintah seharusnya membuka ruang dialog yang lebih besar untuk berdiskusi dengan publik serta mengajak untuk merealisasikan setiap gagasan pemerintah yang kemudian dapat diterima oleh publik

“Tidak ada agen komunikasi yang memang khusus untuk berdiskusi dengan rakyat. Pemerintah harus membuka ruang-ruang dialog yang lebih besar, harus juga mengajak bagimana gagasan pemerintah itu bisa diterima publik tanpa ada distorsi,” ungkapnya.

Baca juga: Ada Pandemi Covid-19, Menlu: Tantangan Demokrasi Bertambah

Dalam diskusi yang sama Founder Drone Emprit dan pengamat media sosial Ismail Fahmi menuturkan perkembangan teknologi informasi saat ini menciptakan komunikasi masyarakat yang acak yang dapat mengakses siapa pun tanpa memandang kelas dan jabatan.

“Dengan perkembangan teknologi media sosial sekarang ini komunikasi menjadi acak di mana pimpinan bisa berkomunikasi dengan pimpinan dengan bawahan juga bisa,” ujarnya.

Komunikasi digital yang telah terbangun dan masif merupakan potensi dengan signal yang dapat ditangkap oleh pemerintah untuk menciptakan demokrasi dalam ruang komunikasi digital.

Publik melalui komunikasi digital bisa lebih terlibat dalam demokrasi menyampaikan gagasan dan berbagai dinamika bernegara yang kemudian dapat menjadi pijakan pemerintah dalam membuat regulasi.

“Komunikasi digital bagaimana masyarakat bisa terus memberikan pendapatnya dan bisa terus berpartisipasi bisa melakukan engagement banyak hal dalam semua aspek regulasi, demokrasi dan kerja sama dan lainnya”

Saat ini komunikasi digital melalui media sosial dipenuhi polarisasi atau residu politik yang sangat luar biasa. Dia mencontohkan bagaimana publik menghadapi covid-19 masih dipengaruhi oleh residu politik yang membuat publik tidak cerdas dan melek politik yang sehat. Kondisi ini mengakibatkan kegaduhan yang sayangnnya tidak ditangkap pemerintah sebagai signal penting untuk dapat membuat ruang diskusi dalam berdemokrasi.

“Polanya, ada pemerintah dan oposisi menggunakan buzzer masing-masing saling memberikan noise tapi di balik itu ada signal ketika buzzer pemerintah memberikan noise yang merupakan signal yang harusnya ditanggkap. Jika kita mau membangun demokrasi digital kita harus fokus ke signal dari masyarakat dan pemerintah. Jika ini tidak terjadi maka yang ada hanya noise saja,” tukasnya. (OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akhmad Mustain
Berita Lainnya