Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Butuh Energi Kembalikan Indonesia yang Toleran

Cahya Mulyana
19/11/2020 03:35
Butuh Energi Kembalikan Indonesia yang Toleran
Webinar bertajuk Masihkah Agama Menjadi Sumber Toleransi.(Dok. Youtube)

MUSLIM di Indonesia pada dasarnya bersikap toleran dan memegang teguh ideologi Pancasila. Terlebih ajaran Islam menekankan tentang pentingnya toleransi dan kemanusiaan.

Namun, wajah Islam di Indonesia terus tercoreng akibat kepentingan politik, pemahaman ajaran yang dangkal, dan kehadiran kelompok yang menjunjung eksklusivitas atau antikemajemukan yang tumbuh subur pasca-Orde Baru seperti Hizbut Tahrir, Wahabiah, dan Islamic State.

“Kita optimistis agama menjadi sumber toleransi. Dari sejumlah statistik menunjukkan bahwa mayoritas muslim Indonesia itu pada dasarnya toleran dengan 79,3% atau 187 juta tidak ingin NKRI berubah menjadi khilafah,” kata Ketua Yayasan Pesantren Manarul Huda, Garut, Nurul Bahrul Ulum pada webinar bertajuk Masihkah Agama Menjadi Sumber Toleransi?, kemarin.

Menurut dia, sebagian kecil muslim di Indonesia yang menginginkan sistem demokrasi diubah menjadi khilafah, yakni 9,2% atau sekitar 20 juta jiwa. Jumlah mereka yang kerap menjegal toleransi di Indonesia itu minoritas, tetapi sangat vokal dan aktif di berbagai media.

“Maka kita mengharapkan pada mayoritas itu dan ormas keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang memiliki akar sampai ke bawah untuk mengembalikan wajah Islam sebagai agama yang toleran, menjunjung kemajemukan dan kemanusiaan,” paparnya.

Ia juga mengaku optimistis mengembalikan citra Islam di Indonesia sebagai ajaran yang toleran ketika semua penganutnya memiliki pemahaman yang utuh. “Pasalnya Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa dirinya diutus membawa agama yang lurus dengan penuh toleransi dan tidak diutus untuk melaknat orang lain, tapi menebar kasih dan cinta.’’

Pada kesempatan sama pakar politik Prancis dan Eropa Barat Universitas Indonesia Mahmud Syaltout mengatakan ajaran agama bisa menjadi sumber toleransi. Perlu ruang lebih luas untuk dapat saling mengenal antarajaran agama, suku, ras dan golongan.

“Kalau kita tetap menjaga jarak, intoleransi susah untuk dibendung dan kita akan saling mengafirkan,” katanya.

Islam, kata dia, menegaskan kepada penganutnya untuk memanusiakan manusia, saling menolong, dan berkomunikasi tanpa memandang identitas. “Ketakwaan bukan sebatas menghadapkan wajah ke timur atau barat dalam arti ibadah, melainkan memberikan harta kepada kerabat, orang yang meminta, dan hamba sahaya. Itu pesan bahwa muslim harus menjunjung rasa persaudaraan tanpa memandang identitas.’’

 

Kerap disokong

Direktur Sekertariat Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Yuliana Langowuyo menilai intoleransi dan rasialisme kerap disokong kepentingan bisnis. Sarana yang paling sering digunakan ialah media massa.

“Banyak iklan yang tidak mengangkat bahwa hitam dan keriting merupakan ras masyarakat Indonesia. Itu berpengaruh besar bagi kami orang Papua,” jelasnya.

Cara pandang rasial dan kolonial masih dijaga sebagian kelompok untuk kepentingan tertentu. Padahal, kemajemukan merupakan wajah besar Indonesia.

“Belum lagi masalah rasial ini masih terlihat di 50 tahun Papua terintegrasi dengan Indonesia. Kemudian muncul gerakan antirasialisme yang kerap direpresi sementara pelaku rasialisme kerap melenggang bebas,’’ tambah Yuliana. (P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya