Headline
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
KETIKA datang pertama kali di Desa Banjarpanepen, Kecamatan Sumpiuh, Banyumas, Jawa Tengah. tiga tahun lalu, anggota Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) dari Polsek Sumpiuh wilayah Polresta Banyumas Briptu Ma'ruf Syaefudin cukup terkejut.
Tidak hanya karena secara geografis wilayahnya berbukit-bukit dengan ketinggian 760 meter di atas permukaan laut (mdpl), tetapi juga karena desa itu tak ubahnya Indonesia mini dengan beragam agama. Jika dari pusat Kota Purwokerto, jaraknya mencapai 50 kilometer (km). Bahkan, pada saat awal menjadi Bhabinkamtibmas, ia langsung diminta untuk memberikan sambutan di sebuah pertemuan umat Kristiani.
“Jujur, pada awal masuk ke desa ini saya kaget. Apalagi, saya langsung diminta naik podium memberikan sambutan pada waktu ada acara umat Kristiani. Benar-benar grogi, karena sebagai muslim belum pernah ikut menghadiri acara umat lain,” jelasnya saat berbincang dengan Media Indonesia pada Kamis (26/6).
Setelah kegiatan itu, Ma’ruf baru menyadari ternyata Desa Banjarpanepen memang unik, seperti Indonesia mini. Meski berada di wilayah perbukitan yang cukup sulit dijangkau, tetapi banyak agama yang tumbuh di situ. Ada Islam, Buddha, Kristen dan penghayat kepercayaan.
“Mengelola keberagaman yang ada di Desa Banjarpanepen tentu merupakan sebuah kewajiban yang harus terus dilaksanakan,” ujarnya.
Sebagai Bhabinkamtibmas, Ma’ruf mengikuti jejak senior-seniornya terdahulu seperti almarhum Made Subali yang kemudian dilanjutkan Eko Hermawanto. Made Subali yang beragama Hindu paham betul bagaimana menjaga kerukunan warga yang beragama Islam, Kristen, Buddha dan penghayat.
“Banyak cerita warga kiprah almarhum Pak Made dan Pak Eko sebagai Bhabinkamtibmas menjadi pilar penjaga kerukunan antarumat beragama di desa ini,” katanya.
Karena itu, sebagai Bhabinkamtibmas saat sekarang, Ma’ruf melanjutkan tonggak yang telah ditancapkan para seniornya di Desa Banjarpanepen.
“Toleransi di sini sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kearifan lokal warga. Saya terus berinteraksi dengan para tokoh agama di desa dan tokoh masyarakat untuk bersama-sama menjaga kerukunan. Jangan sampai Indonesia mini yang ada di Desa Banjarpanepen ternoda. Ini merupakan kewajiban bersama menjaganya,” ujar Ma’ruf.
Hampir setiap saat, dia menyambangi berbagai macam kegiatan yang digelar oleh masing-masing agama. Hal ini penting agar kehadiran negara terasa.
“Masyarakat yang beragama lain juga biasanya ikut serta dalam menjaga kekhidmatan. Misalnya, ketika ada salat Id, maka yang menjaganya adalah umat lain baik Buddha, Kristen maupun penghayat. Seperti halnya saat Waisak beberapa waktu lalu, umat selain Buddha yang menjaga. Jadi warga telah sadar bagaimana berinteraksi lintas agama. Saya sebagai Bhabinkamtibmas bersama pemerintah desa dan tokoh masyarakat lainnya menjaga,” tambahnya.
Tak hanya menjaga kedamaian di Desa Banjarpanepen, Ma’ruf juga kerap dimintai tolong untuk mengurus sesuatu yang terkait dengan kepolisian.
“Ada beberapa surat kehilangan, misalnya, yang biasa saya urus. Kasihan mereka, karena lokasinya jauh di puncak perbukitan. Cukup nanti saya yang turun ke Polsek Sumpiuh untuk mengurus semuanya,” katanya.
Kehadiran Bhabinkamtibmas menjadi salah satu bukti bagaimana negara hadir untuk mendampingi masyarakat bawah, apalagi wilayah terpencil seperti Desa Banjarpanepen. Kepala Desa Banjarpanepen Mujiyono mengakui bahwa tokoh agama, tokoh masyarakat, serta unsur pemerintahan menjadi pilar-pilar penjaga keberagaman.
"Adat istiadat menyatukan kami di sini. Biasanya, kalau ada pagelaran adat seperti Sedekah Bumi, seluruh elemen masyarakat dari berbagai agama ikut serta. Di sini, kami berdoa dan makan bersama. Adat istiadat inilah yang menjadi pemersatu. Makanya, di sini berdiri berbagai tempat beribadah seperti masjid, musala, gereja, vihara dan tempat pemujaan bagi penghayat dengan aman dan nyaman,” ungkap Kades.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Banyumas tahun 2024, jumlah penduduk di Desa Banjarpanepen yang beragama Islam sebanyak 4.685 warga, kemudian Buddha 401 orang, Kristen 223 jiwa dan Penghayat sebanyak 15 orang.
“Seluruhnya hidup berdampingan dengan baik dan beribadah tanpa ada penghalang,” katanya.
Tak mengherankan Desa Banjarpanepen dijadikan sebagai desa sadar kerukunan antarumat beragama. Setiap elemen memiliki peranan penting untuk menyemai damai di desa yang terpencil di perbukitan itu. Pandita Agama Buddha Maryono mengungkapkan kedamaian yang selama ini dirasakan oleh umat Buddha benar-benar nyata.
“Sebagai minoritas di Indonesia, kami sangat merasakan bahwa di Desa Banjarpanepen, umat Buddha merasakan bagaimana kedamaian senantiasa tercipta. Pada perayaan Waisak beberapa waktu lalu, umat Buddha merasakan kasih sayang umat Islam, Kristen dan Penghayat yang telah melakukan penjagaan sehingga dapat beribadah secara khidmat di Vihara,” kata dia.
Maryono merasakan kehadiran negara melalui aparat di antaranya Bhabinkamtibmas bersama Babinsa yang senantiasa hadir dalam setiap acara keagamaan.
“Inilah bentuk kehadiran negara yang memberikan perlindungan bagi masyarakatnya,” ujarnya.
Demikian juga pada waktu Idul Fitri, umat Buddha bersama-sama dengan umat nonmuslim lainnya melaksanakan penjagaan. Bahkan setelah itu, ada acara makan ketupat opor bersama-sama sebagai kekhasan saat Lebaran.
“Ada satu kegiatan budaya yang biasanya dihadiri seluruh umat beragama yang ada di Desa Banjarpanepen, yakni Sedekah Bumi. Biasanya, itu dilaksanakan saat bulan Sura dalam kalender Jawa. Semuanya berkumpul dan kemudian makan bersama. Inilah bentuk kedamaian yang terus diciptakan bersama-sama,” katanya.
Sedangkan Ketua Gereja Kerasulan Baru Banjarpanepen, Wagiman, mengungkapkan bagaimana sukacita warga Kristen di desa setempat karena merasa terayomi dan aman beribadah.
“Biasanya, kalau Natal, umat lain juga ikut serta mengamankan. Sejak kecil, anak-anak di sini sudah diajarkan toleransi dengan memberikan pemahaman mengenai perbedaan agama. Boleh saja berbeda-beda, tetapi tetap menyatu sebagai bangsa dan dalam bermasyarakat,” ujarnya.
Inilah Banjarpanepen, desa yang disebut sebagai Indonesia mini karena beragamnya kepercayaan. Perbedaan bukan menjadi penghalang apalagi saling meniadakan, melainkan berkah yang terus menyemai damai. (LD/E-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved