Headline

Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.

Fokus

Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.

Ramai-ramai Gugat Revisi UU MK

Fachri Audhia Hafiez
04/11/2020 08:14
Ramai-ramai Gugat Revisi UU MK
Suasana sidang di Mahkamah Konstitusi(ANTARA/Galih Pradipta)

KELOMPOK masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi (MK) mengajukan uji formil dan materiil atas berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK. Undang-undang yang disahkan 1 September 2020 itu digugat ke MK.

"Koalisi Selamatkan MK menggugat proses pembentukan UU MK yang dibangun dengan fondasi yang cacat formil, antidemokrasi, dan menabrak nilai-nilai negara hukum," kata peneliti KoDe Inisiatif Violla Reininda sekaligus pemohon gugatan dalam keterangan tertulis, Rabu (4/11).

Menurut Violla, alasan gugatan dilayangkan karena revisi undang-undang MK tidak mempertimbangkan aspirasi serta kritik publik. Selain itu, pembahasan undang-undang itu hanya membutuhkan waktu tiga hari.

Baca juga: UU Cipta Kerja Siap Implementasi

Koalisi Selamatkan MK menilai terdapat enam permasalahan formil dari undang-undang tersebut. Pertama proses pembahasan dilakukan secara tertutup, tidak melibatkan publik, tergesa-gesa, dan tidak memperlihatkan sense of crisis pandemi covid-19.

Kedua, pembentuk undang-undang melakukan penyelundupan hukum dengan dalih menindaklanjuti putusan MK.

Ketiga, rancangan undang-undang MK tidak memenuhi syarat carry over atau ketergesaan.

"Karena tidak ada kesinambungan dan keberlanjutan dengan draf pada periode sebelumnya, terlihat dari draf dan pengusul rancangan undang-undang yang berbeda," ucap Violla.

Keempat, pembentuk undang-undang dinilai melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Mulai dari kejelasan tujuan, daya guna, kejelasan rumusan, dan keterbukaan.

Kelima, naskah akademik rancangan undang-undang MK dinilai hanya formalitas belaka. Karena naskah dengan jumlah 23 halaman tersebut tidak menjabarkan secara komprehensif analisis mengenai perubahan ketentuan dalam rancangan undang-undang MK.

"Permasalahan formil terakhir adalah rancangan undang-undang MK berdasar hukum undang-undang yang invalid," ucap Violla.

Sedikitnya terdapat lima hal yang bertautan terkait uji materiil. Pertama limitasi latar belakang calon hakim konstitusi usulan Mahkamah Agung dan kedudukan calon hakim konstitusi sebagai representasi internal lembaga pengusul.

Menurut Violla, pendaftaran dan pencalonan hakim konstitusi harus terbuka seluas-luasnya untuk semua negarawan. Tidak terbatas pada latar belakang profesi hukumnya.

Kedua, soal penafsiran konstitusional sistem rekrutmen hakim konstitusi. Pemohon meminta MK menafsirkan sistem rekrutmen hakim konstitusi untuk berlaku secara seragam serta dengan standar yang sama pada setiap lembaga pengusul.

Ketiga, terkait penafsiran konstitusional usia minimal menjadi hakim konstitusi dan masa bakti hakim konstitusi. Usia minimal hakim konstitusi dinilai harus dikembalikan ke usia yang lebih muda yakni 47 tahun agar terdapat regenerasi hakim konstitusi.

Keempat, menyangkut ketentuan menindaklanjuti putusan MK oleh pembentuk undang-undang. Terakhir soal perpanjangan masa jabatan berlaku untuk hakim petahana.

"Perpanjangan masa jabatan wajib berlaku untuk hakim konstitusi yang menjabat pada periode selanjutnya untuk menghindari conflict of interest ataupun menghindari upaya penundukkan MK," kata Violla.

Gugatan revisi Undang-Undang MK diajukan sejumlah kelompok masyarakat sipil, seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, LBH Jakarta, KontraS, dan lainnya. (OL-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya