Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
MAHKAMAH Agung (MA) memutuskan perkara peninjauan kembali (PK) mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dalam kasus korupsi proyek Wisma Atlet Hambalang dan pencucian uang. Dalam putusan PK, MA memvonis Anas 8 tahun penjara atau lebih rendah daripada putusan tingkat kasasi yang menghukum 14 tahun penjara.
“Permohonan PK yang diajukan pemohon/terpidana Anas Urbaningrum siang tadi telah diputus MA,” kata juru bicara MA Andi Samsan Nganro.
Majelis PK membatalkan putusan kasasi yang kala itu dipimpin hakim agung Artidjo Alkostar dan mengadili kembali perkara Anas. Majelis hakim agung yang menangani PK tersebut ialah Sunarto sebagai ketua majelis dan Andi Samsan Nganro dan Mohammad Askin sebagai anggota.
Dalam putusan PK, MA memvonis Anas pidana 8 tahun dan denda Rp300 juta subsider 3 bulan, membayar uang pengganti Rp57,59 miliar dan US$5,26 juta, serta pencabutan hak politik selama 5 tahun. Dalam pertimbangannya, majelis PK menerima dasar permohonan Anas terkait dengan kekhilafan hakim dalam putusan kasasi.
“Menurut Majelis Hakim Agung PK, alasan permohonan PK pemohon/terpidana yang didasarkan pada adanya kekhilafan hakim dapat dibenarkan dengan pertimbangan,” imbuh Andi Samsan.
Dalam pertimbangannya, MA menyatakan terdapat kekhilafan hakim karena kesalahan judex juris (kasasi) dalam menyimpulkan alat bukti yang kemudian dijadikan fakta hukum tentang tindak pidana.
Putusan PK menilai vonis kasasi yang menerapkan dakwaan Pasal 12 huruf a UU Tipikor terhadap Anas tidak tepat. Majelis PK menyatakan dakwaan lebih tepat Pasal 11 UU Tipikor seperti pada putusan tingkat pertama (judex facti).
Dalam pertimbangannya, majelis PK juga menyatakan tidak ada saksi dari perusahaan PT Adhi Karya dan Permai Group yang menerangkan Anas melobi pemerintah agar perusahaan-perusahaan tersebut mendapatkan proyek Hambalang. Majelis PK juga menyatakan tidak ada bukti pengeluaran uang dari perusahaan itu atas kendali Anas.
“Hanya ada satu saksi, yaitu M Nazaruddin, yang menerangkan demikian. Satu saksi tanpa didukung alat bukti adalah unus testis nullus testis yang tidak mempunyai nilai pembuktian,” ucap Andi Samsan mengutip pertimbangan majelis PK.
Makin suram
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai nasib pemberantasan korupsi pada masa mendatang akan makin suram jika MA tetap mempertahankan tren vonis ringan terhadap pelaku kasus korupsi.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan rata-rata hukuman pelaku korupsi sepanjang 2019 hanya 2 tahun 7 bulan penjara. ‘’Tidak hanya itu, pemulihan kerugian negara juga sangat kecil. Jika ditotal, negara telah rugi akibat praktik korupsi sepanjang 2019 sebesar Rp12 triliun. Akan tetapi, pidana tambahan berupa uang pengganti yang dijatuhkan majelis hakim hanya Rp750 miliar. Sepuluh persennya saja tidak dapat,’’ tuturnya.
Ia pun menyatakan putusan hakim yang kerap kali ringan terhadap pelaku korupsi memiliki implikasi serius. Pertama, menegasikan nilai keadilan bagi masyarakat sebagai pihak terdampak korupsi.
Kedua melululantahkkan kerja keras penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan KPK) yang telah bersusah payah membongkar praktik korupsi. Ketiga, menjauhkan pemberian efek jera baik bagi terdakwa maupun masyarakat.
ICW pun lantas menyinggung ketiadaan sosok Artidjo Alkostar di MA yang telah purnatugas sebagai hakim agung. (Cah/Ant/P-1)
PAKAR hukum pidana Universitas Trisaksi Abdul Fickar Hadjar menyoroti diskon hukuman terhadap Setya Novanto dan tuntutan ringan atau tak maksimal kepada Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
PENGACARA Setya Novanto (Setnov), Maqdir Ismail membeberkan bukti baru yang meringankan hukuman menjadi 12,5 tahun penjara, dari sebelumnya 15 tahun yakni keterarangan FBI
MAHKAMAH Agung (MA) mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) dan mengurangi hukuman mantan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) dalam kasus korupsi pengadaan E-KTP.
MAKI menyayangkan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) dan mengurangi hukuman mantan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) dalam kasus korupsi pengadaan E-KTP.
Putusan hakim tidak boleh diganggu gugat dalam sebuah persidangan. Namun, KPK menyoroti pemberian efek jera atas penyunatan hukuman untuk terpidana kasus korupsi pengadaan KTP-E itu.
KUBU Setnov mengaku tidak puas dengan putusan peninjauan kembali yang memangkas hukuman menjadi penjara 12 tahun enam bulan, dari sebelumnya 15 tahun. Setnov dinilai pantas bebas.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved