Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Deradikalisasi Napi Terorisme belum Terintegrasi

Emir Chairullah
24/9/2020 04:18
Deradikalisasi Napi Terorisme belum Terintegrasi
Ilustrasi( MTVN/Mohammad Rizal)

PROGRAM deradikalisasi terhadap mantan narapidana terorisme di Indonesia belum dilakukan secara terintegrasi. Akibatnya, menurut pengamat terorisme Sapto Priyanto, banyak mantan terpidana kasus terorisme mengulang aksi mereka di kemudian hari.

“Mereka melakukan proses deradikalisasi di LP (lembaga pemasyarakatan) terhadap narapidana secara parsial. Akibatnya, program pasca-lapasnya bermasalah,” katanya dalam diskusi daring bertajuk Strategi Pencegahan Residivisme Terorisme di Indonesia, kemarin.

Ia menyebutkan, berdasarkan penelitian yang dilakukan terungkap bahwa proses deradikalisasi terhadap napi terorisme ternyata didominasi Densus 88. Sementara instansi lain seperti LP dan lembaga terkait terutama Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT) tidak terlalu banyak dilibatkan.

“Kecenderungannya tidak ada yang kerja sama dengan BNPT. Karena tidak ada kerja sama yang baik, saat (napi) dibebaskan, bakal mengalami persoalan,” ujarnya.

Ia mencontohkan kasus bom Surabaya yang ternyata pelakunya merupakan residivis kasus terorisme. Umumnya, ungkap Sapto, para residivis ini masih mendapatkan dukungan dari luar LP ketika masih dipidana.

“Belum lagi kemudian ada labelling dari masyarakat ketika pelaku bebas. Akibatnya, mereka mengulang aksinya,” ujarnya.

Menariknya, hingga saat ini BNPT hanya mengategorisasikan teroris hanya kepada kelompok. Sementara teroris individu (loner alone wolf) belum pernah diidentifi kasi. Selain itu, program deradikalisasi belum dilakukan terhadap pelaku teror nonmuslim.

“Walaupun pelaku teror dari kalangan nonmuslim ini motivasinya karena ekonomi dan popularitas, kenyataannya dia melakukan extraordinary crime,” ungkapnya.

Disebutkan, berdasarkan data Densus per Desember 2019, jumlah residivis terorisme ada 52 kasus. “Yang dimaksud dengan residivis ini ialah kasus pertama dan kedua merupakan aksi terorisme,” jelasnya.

Gunung es

Asep Usman Ismail dari Pusat Studi Kajian Terorisme UI menyebutkan, terorisme merupakan fenomena gunung es yang harus dipahami sampai akarnya. “Jadi kita harus mengetahui akar persoalan dan masalah penyebab teror ini. Sehingga program deradikalisasinya tidak parsial,” ujarnya.

Menurut Asep, berbagai akar persoalan penyebab munculnya residivis terorisme harus segera dituntaskan. “Kalau akarnya tidak dicabut, ya bakal tumbuh lagi. Apalagi angka residivis terorisme yang terjadi cukup signifikan,” jelasnya.

Sementara itu, Psikolog UI Zora A Sukabdi mengatakan problem koordinasi antarinstitusi menjadi problem yang dihadapi di banyak negara saat menangani kasus terorisme. “Karena banyak institusi yang mengurus persoalan ini akibatnya terjadi tumpang tindih wewenang yang justru membuat penanganan masalah menjadi tidak efektif,” ujarnya.

Sebelumnya, Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid memandang pemberantasan terorisme harus dimulai dalam aspek pencegahannya, sehingga harus dilakukan secara simultan. “Dalam pemberantasan terorisme, aspek pencegahan secara simultan, terencana, dan terpadu, perlu dikedepankan untuk meminimalkan terjadinya aksi terorisme,” kata Meutya dalam webinar Operasi Militer Selain Perang TNI: Kontra-Terorisme dalam Perspektif Keamanan Nasional, Jakarta, Selasa (22/9). (Ant/P-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya