Headline
Bansos harus menjadi pilihan terakhir.
DI tengah desakan banyak pihak agar Kejaksaan Agung segera menetapkan jaksa Pinangki Sirna Malasari dalam kasus Joko Tjandra, Jaksa Agung ST Burhanuddin justru mengeluarkan pedoman yang memperumit proses penegakan hukum terhadap anggota Korps Adhyaksa pelaku tindak pidana. Pedoman itu memantik kecurigaan dan sinisme.
Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pemberian Izin Jaksa Agung atas Pemanggilan, Pemeriksaan, Penggeledahan, Penangkapan, dan Penahanan terhadap Jaksa yang Diduga Melakukan Tindak Pidana tersebut diteken pada 6 Agustus 2020. Disebutkan bahwa pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa yang diduga melakukan tindak pidana hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.
Untuk memperoleh izin, instansi pemohon harus mengajukan izin pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan jaksa yang disangka melakukan tindak pidana. Permohonan harus dilengkapi dokumen persyaratan, seperti surat pemberitahuan dimulainya penyidik an, laporan atau pengaduan, resume penyidik an/laporan perkembangan penyidikan, dan berita acara pemeriksaan saksi. Namun, pedoman itu tidak berlaku untuk jaksa yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana.
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango turut mempertanyakan aturan baru yang dikeluarkan Jaksa Agung tersebut. “Saya hanya ingin menyatakan, wajar jika muncul kecurigaan dan sinisme publik terhadap produk-produk semacam itu di tengah ramainya kasus Joko Tjandra yang ikut menyeret oknum jaksa,” kata Nawawi di Jakarta, kemarin.
Menurut Nawawi, aturan baru yang muncul di tengah kasus Joko Tjandra itu justru menggerus semangat pemberantasan korupsi. Pakar hukum pidana UII Yogyakarta, Muzakir, juga mempertanyakan dasar hukum penerbitan pedoman tersebut.
Menurut Muzakir, ketentuan dalam Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 tidak bisa diterapkan karena norma serupa bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan putusan MK, semua warga negara apa pun jabatannya memiliki kedudukan yang sama di mata hukum.
“Norma yang sama terkait izin pemanggilan dan pemeriksaan pernah diuji di MK terkait kepala daerah yang baru dapat diperiksa jika ada izin dari presiden. Permintaan izin untuk memeriksa aparat yang terlibat kasus pidana sudah tidak relevan,” tandas Muzakir. (Dhk/Uta/Ant/X-8)
Berdasarkan sidang KKEP, Irjen Napoleon Bonaparte dikenakan saksi administrasi berupa mutasi bersifat demoasi selama tiga tahun, empat bulan.
MA menolak kasasi yang diajukan mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte.
Vonis kasasi itu diputuskan pada 3 November 2021 oleh majelis hakim Suhadi selaku ketua dengan hakim anggota Eddy Army dan Ansori.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memotong hukuman eks jaksa Pinangki Sirna Malasari dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara.
Saat menjabat sebagai Kadiv Hubinter Polri, Napoleon terbukti menerima suap sebesar US$370 ribu dan Sing$200 ribu atau sekitar Rp7,2 miliar dari Joko Tjandra
KOMISI Yudisial (KY) akan melakukan anotasi terhadap putusan majelis hakim tingkat banding yang memangkas hukuman Joko Soegiarto Tjandra.
Reny Halida Ilham Malik tercatat dikenal salah satu hakim yang menyunat hukuman jaksa Pinangki Sirna Malasari dari 10 tahun penjara menjadi 4 tahun bui di tingkat banding.
Napoleon tidak diberikan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) sebagai anggota Polri walau terbukti melakukan korupsi.
Berikut deretan jaksa yang terjerat dalam kasus hukum.
Pernyataan itu menanggapi diperolehnya hak pembebasan bersyarat bagi para narapidana tindak pidana korupsi (tipikor) yang salah satunya mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari.
"Pinangki Sirna Malasari telah diberhentikan secara tidak hormat baik sebagai jaksa maupun pegawai negeri sipil atau aparatur sipil negara Kejaksaan RI."
Keputusan pemecatan Pinangki itu berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor 185 Tahun 2021 tanggal 06 Agustus 2021.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved