Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Kasus Evi Novida Akibat Ego Sektoral Penyelenggara Pemilu

Cahya Mulyana
25/7/2020 18:35
Kasus Evi Novida Akibat Ego Sektoral Penyelenggara Pemilu
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Topo Santoso(MI/M IRFAN)

PUTUSAN Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Nomor 82/G/2020/PTUN-JKT yang menyatakan batal Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34/P Tahun 2020 tentang Pemberhentian Dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan Tahun 2017-2022 tanggal 23 Maret 2020, atas nama Evi Novida Ginting Manik sudah tepat. 

Hal ini pun perlu menjadi koreksi bagi tiga institusi penyelenggara pemilu yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

"Putusan ini sudah tepat dan membuktikan bahwa putusan DKPP itu keliru. Kenapa itu itu keliru? Karena, pertama, Ibu Evi bagian dari komisioner, bukan keputusan pribadi. Kemudian, yang dilaksanakan KPU melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam tahapan pemilu," kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Topo Santoso dalam diskusi bertajuk Desain keadilan pemilu pascaputusan PTUN atas perkara Evi Novida, Sabtu (25/7).

Menurut Topo, putusan PTUN ini mendorong koreksi khususnya bagi DKPP untuk berhati-hati dalam memutus perkara kode etik. DKPP harus benar-benar dapat membedakan mana yang termasuk ranah kode etik, mana yang bukan. Dalam kasus Evi, disebut Topo karena KPU menjalankan keputusan menurut regulasi yang berlaku.

"Jadi jangan sampai keputusan KPU dalam melaksanakan tugas, kalau tidak disepakati oleh pihak lain (Bawaslu), dianggap lalu pelanggaran kode etik, tidak bisa begitu," jelasnya.

Topo mengakui keputusan DKPP memiliki kekuatan hukum yang mengikat, sedangkan putusan PTUN hanya menyangkut keutusan Presiden memberhentikan Evi. Dengan putusan PTUN tersebut kedudukan Evi sebagai komisioner KPU mesti dipulihkan. 

"Jadi memang putusan DKPP tidak bisa diapa-apain, karena bukan forum PTUN yang membatalkan. Tapi kedudukan bu Evi harus dipulihkan dengan diputuskan presiden," ujarnya.

Baca juga: Gugatannya Dikabulkan PTUNEvi Berharap Presiden tak Banding

Selain itu, Topo mendorong putusan PTUN ini menjadi ruang koreksi antarpenyelenggara pemilu. DKPP, Bawaslu, dan KPU mesti menjalankan tugas sesuai ketentuan yang digariskan regulasi dan menjauhkan diri dari ego sektoral.

Topo menekankan pemberhentian Evi bermula dari perkara yang terjadi di KPU Kalimantan Barat bukan menyangkut etik. Namun, kemudian dinyatakan pelanggaran etik sehingga diputuskan DKPP Evi bersalah dan menjadi landasan keputusan presiden.

"Sebetulnya itu bukan suatu persoalan etika. Itu bukan kewenangan DKPP, sehingga DKPP keliru mengambil keputusan," pungkasnya.

Pada kesempatan sama Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menambahkan KPU, Bawaslu dan DKPP perlu duduk bersama. Semuanya harus menyatukan kembali komitmen penguatan dan kerja sama antarlembaga.

"Tugas dan kewenangan ketiga lembaga bisa saling mengontrol dan meniadakan ego sektoral," katanya.

Fadli pun menyarankan pemerintah tidak membuang energi dengan mengajukan banding atas putusan PTUN. "Tidak perlu membanding supaya ini clear dan yang harus dilakukan pemerintah merekomendasikan perbaikan kepada tiga lembaga. Energinya juga akan semakin kuat untuk perbaikan di tengah kondisi pandemi dan persiapan pilkada," pungkasnya.

Baca juga: DKPP Berhentikan Anggota KPU Evi Novida Ginting

Kasus ini bermula dari aduan caleg Gerindra Daerah Pemilihan (Dapil) Kalimantan Barat (Kalbar) 6 Hendri Makaluasc yang mengadu ke Bawaslu Kabupaten Sanggau dan MK. Ia menduga adanya praktik pengelembungan 2.414 suara ke pesaingnya yang berada di nomor urut 7 pada partai yang sama, yaitu Cok Hendri Ramapon. Pengelembungan suara terjadi di 19 desa yang ada di Pontianak, Kalimantan Barat.

DKPP menilai ada intervensi yang dilakukan komisioner KPU RI Evi Novida kepada komisioner KPU Kota Pontianak. Akibatnya, KPU Kota Pontianak salah melakukan koreksi perolehan suara sehingga tidak berdasarkan putusan MK.

KPU Kota Pontianak hanya memperbaiki dan menetapkan perolehan suara Hendri Makaluasc selaku pengadu sebanyak 5.384 suara tanpa mengoreksi perolehan suara pesaingnya, Cok Hendri Ramapon, sebanyak 6.599 suara. DKPP pun menjatuhkan putusan berupa sanksi pemberhentian tetap kepada Evi dan memberi peringatan keras kepada komisioner KPU lainnya. (P-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya