Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
KOALISI masyarakat sipil yang terdiri dari berbagai lembaga swadaya masyarakat, tokoh masyarakat, dan pegiat hukum membuat petisi bersama menolak rancangan Peraturan Presiden (RPP)tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme.
Koalisi menilai RPP itu dapat menganggu sistem penegakan hukum dan mengancam hak asasi manusia (HAM).
Koordinator Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Malik Ferry Kusuma mengatakan, koalisi menilai pengaturan tentang kewenangan TNI di dalam mengatasi Aksi Terorisme terlalu berlebihan, sehingga akan mengganggu mekanisme criminal justice sistem, mengancam HAM dan kehidupan demokrasi.
Dalam pasal 3 RPP, jelasnya, pengaturan kewenangan penangkalan dalam RPP sangat luas, yakni dengan menjalankan operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi dan operasi lainnya. Sementara itu, RPP tidak memberi penjelasan lebih rinci terkait dengan “operasi lainnya”.
"Dengan Pasal ini, TNI dapat terlibat dalam penanganan tindak pidana terorisme secara lebih leluasa di dalam negeri, sehingga berpotensi membahayakan kehidupan HAM di Indonesia," ujarnya di Jakarta, pada Rabu (27/5).
Baca juga : Aktivis dan Akademisi Tolak Perpres TNI Tangani Terorisme
Secara konseptual, imbuh malik, istilah penangkalan tidak dikenal dalam UU nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. UU tersebut hanya mengenal istilah pencegahan, yakni sebagai tugas pemerintah yang dikoordinasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) (Pasal 43 UU nomor 5 tahun 2018), yang kewenangannya diberikan kepada BNPT bukan kepada TNI.
"Kami menilai bahwa pemberian kewenangan yang luas kepada TNI dalam mengatasi terorisme tanpa dibarengi dengan kejelasan mekanisme akuntabilitas untuk tunduk dalam sistem peradilan umum tentu membahayakan hak-hak warga," ucapnya.
Ia mengungkapkan, jika terdapat kesalahan operasi di lapangan yang mengakibatkan hak-hak warga negara terlanggar maka mekanisme pertanggungjawabannya menjadi tidak jelas karena militer masih tunduk dalam yurisdiksi peradilan militer dan belum tunduk dalam yurisdiksi peradilan umum.
Alasan lain penolakan RPP tersebut, dengan alasan kejahatan terorisme, kata dia, militer yang bukan merupakan bagian dari aparat penegak hukum dapat melakukan fungsi penangkalan dan penindakan secara langsung dan mandiri dalam mengatasi ancaman kejahatan terorisme di dalam negeri.
"Hal ini tidak sejalan dengan hakikat dibentuknya militer sebagai alat pertahanan negara yang dilatih untuk menghadapi perang, bukan untuk penegakan hukum," tegasnya.
Dalam RPP juga disebutkan Pasal 9 bahwa pemberian kewenangan penangkalan dan penindakan tindak pidana terorisme di dalam negeri dengan alasan menghadapi ancaman terorisme kepada presiden, objek vital dan lainnya dianggap akan merusak mekanisme sistem penegakan hukum.
Baca juga : Pengadaan Barang dan Jasa Masih Jadi Sumber Korupsi
Selain itu, menurutnya, penggunaan anggaran daerah dan sumber lain di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dapat digunakan oleh TNI dalam penanganan terorisme sebagaimana diatur dalam Pasal 14 RPP, dianggap pemborosan dan bertentangan dengan Pasal 66 UU TNI.
"Pendanaan di luar ketentuan UU TNI tersebut memiliki problem akuntabilitas, potensial terjadi penyimpangan dan menimbulkan beban anggaran baru bagi pemerintah daerah," ujar Malik.
Koalisi mendesak kepada parlemen agar meminta pemerintah untuk memperbaiki draf peraturan presiden itu secara lebih baik dan lebih benar karena secara substansi memiliki banyak permasalahan.
Koalisi yang menandatangani petisi penolakan RPP tersebut terdiri dari tokoh akademisi, aktivis, dan penggiat hukum antara lain Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto dan Mohtar Mas'oed, pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam negeri Syarief Hidayatullah (UIN) Saiful Mujani, pengajar Fakultas Hukum UGM Zainal Arifin Mochtar, penggiat hukum dan pengajar FH Universitas Hasanuddin Laode M Syarif, Burhanuddin Muhtadi, serta peneliti media Agus Sudibyo.
Sedangkan LSM dan lembaga kajian yang terlibat dalam petisi itu antara ian, Kontras, Imparsial, Elsam, PBHI, YLBHI, HRWG, Amnesty International Indonesia, ICW, Setara Institute, LBH Pers, LBH Masyarakat, Perludem, WALHI, ICJR, INFID, Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Universitas Andalas, Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PUSHAM) Universitas Negeri Medan, Pusat Pengembangan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (PPHD) Universitas Brawijaya, Pusat Studi Hukum dan HAM (HRLS) Fakultas Hukum Universitas Airlangga, IDeKa Indonesia, LBH Surabaya Pos Malang, Public Virtue Research Institute, Aliansi Masyarakat Sipil Anti Penyiksaan (SIKAP) Medan, PILNET Indonesia. Petisi ditandangani pada 9 Mei 2020. (OL-7)
PRESIDEN Prancis Emmanuel Macron baru-baru ini menuai kecaman dari umat muslim di dunia karena mengaitkan Islam dengan terorisme.
SELASA, 17 November lalu, dua anggota kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur tewas di tangan Satuan Tugas Tinombala.
DI tengah aksi teror, warga selalu jadi korban. Di Sulawesi Tengah, yang terbaru ialah pembunuhan empat warga dan pembakaran enam rumah di lokasi transmigrasi Levono,
Wilayah Poso identik dengan serangkaian konflik yang berujung pada kericuhan.
TERORIS merupakan ancaman serius yang setiap saat dapat membahayakan keselamatan bangsa dan Negara serta kepentingan nasional.
NAMANYA Muhammad Basri. Sehari-hari, ia dipanggil Bagong. Pria asal Poso, Sulawesi Tengah, itu juga dikenal sebagai tangan kanan Santoso
Ada spekulasi bahwa Presiden Prabowo Subianto yang memerintahkan. Benarkah?
Apel Gelar Pasukan Jelang Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden
Pada intinya, dalam netralitas ini, kami tidak akan memihak kepada golongan manapun yang sedang melaksanakan kontestasi dalam pemilu 2024.
Iyos Somantri mengapresiasi kolaborasi TNI bersama masyarakat atas keberhasilan pembangunan di Desa Tenjojaya melalui program TMMD ke-119 tersebut.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved