Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
MAHKAMAH Konstitusi mengelar sidang perkara bernomor 81/PUU-XVII/2019 tentang perampasan atau penyitaan barang bukti milik terpidana dengan agenda pemeriksaan pendahuluan di Gedung Mahkamah Konstitusi (12/10).
Perkara tersebut memohonkan pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Majelis hakim meminta agar pemohon mempertimbangkan pelibatan korban Fist Travel. Tercatat sebagai pemohon adalah Pitra Romadoni Nasution, David M. Agung Aruan, Julianta Sembiring, Yudha Adhi Oetomo. Mereka mengajukan gugatan terkait pasal dalam KUHP yang digunakan sebagai landasan hukum pada kasus perampasan aset First Travel.
"Tolong dipikirkan kembali apakah pemohon itu cukup saudara, atau saudara masih memerlukan orang yang memang sudah terpapar dirugikan oleh masalah ini," ujar Hakim Konstitusi Saldi Isra yang mengetuai sidang.
Saldi menilai bahwa dalil kedudukan hukum lebih mudah jika pemohon adalah korban. Sebab, mereka menggalami kerugian langsung akibat UU tersebut. Sedangkan dalam permohonan tersebut, pemohon menggunakan kedudukan hukum sebagai orang yang berpotensi dirugikan. Hal itu dinilai rumit.
"Karena apa? Orang yang potensial dirugikan itu jauh lebih rumit mengemukakan dalil atau dengan penjelasan di kerugian konstitusionalnya atau di legal standingnya dibandingkan dengan orang secara faktual memang dirugikan atau mengalami kerugian," tambah Saldi.
Majelis menyarankan agar pemohon adalah korban langsung dari kasus First Travel, sedangan pemohon saat ini menjadi kuasa hukum.
Dalam petitum, pemohon meminta agar MK menyatakan menerima dan mengabulkan permohonan pengujian Pasal 39 KUHP dan Pasal 46 KUHAP terhadap UUD 1945. (OL-8)
KOORDINATOR Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menanggapi pernyataan Hakim MK soal sekolah gratis.
MK membuat ketentuan hukum baru dengan mendetailkan bahwa pelaksanaan Pemilu lokal harus dilaksanakan antara dua atau dua setengah tahun setelah pemilu nasional.
UU TNI tidak memenuhi syarat untuk dibentuk melalui mekanisme carry over dan lemah secara kepastian hukum.
Presiden diwakili Menteri Hukum Supratman Andi Agtas Supratman membantah dalil para Pemohon yang menyebutkan pembentukan UU TNI Perubahan tidak memenuhi asas keterbukaan.
Legislasi harusnya menjadi proses yang harus dijalankan oleh DPR dan pemerintah secara cermat dan hati-hati dan bukan administratif dan kegiatan rutin yang dilakukan para pembentuk UU belaka.
PEMISAHAN pemilu tingkat nasional dan lokal yang diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai keliru. Itu harusnya dilakukan pembuat undang-undang atau DPR
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved