Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

Cara Kazakhstan Layak Ditiru RI

Achmad Maulana dari Kazakhstan
25/9/2019 08:50
Cara Kazakhstan Layak Ditiru RI
Duta Besar RI untuk Kazakhstan Rahmat Pramono.(Dok. Kemenlu)

TIDAK mudah memindahkan ibu kota sebuah negara. Dibutuhkan perencanaan yang matang dan dukungan berbagai hal untuk merealisasikannya, termasuk di Indonesia.

Hal tersebut diungkapkan Duta Besar RI untuk Kazakhstan Rahmat Pramono. Ia menuturkan bahwa tidak semua warga Kazakhstan awalnya setuju dengan rencana kepindahan ibu kota negara mereka.

"Jadi, memang dibutuhkan komitmen yang kuat dari pemerintah untuk merealisasikannya. Yang pasti proses itu membutuhkan waktu yang panjang dan perlu kajian yang matang," tutur Rahmat.

Sampai sekarang pun Nur Sultan, kata dia, masih berproses. Belum selesai. Kazakhstan resmi memin-dahkan ibu kota ke Astana pada 10 Juni 1998.

"Berdasarkan pengalaman Kazakhstan, yang pasti pemerintah harus bekerja sama dengan swasta dan jangan ada kongkalikong," tegasnya.

Hal senada dikatakan Wakil Ketua DPD Darmayanti Lubis. Menurutnya, penting bagi Indonesia untuk belajar dari negara-negara yang sukses memindahkan ibu kota negara mereka.

Ia menilai Kazakhstan sebagai salah satu negara yang sukses memindahkan ibu kota.

"Sebelumnya saya hanya mendengar soal Kazakhstan yang berhasil memindahkan ibu kota negaranya dari Almaty ke Astana. Ketika saya melihat sendiri Astana, saya sangat terkejut," tutur Darmayanti.

"Saya melihat tata kotanya demikian rapi dan semuanya begitu terencana. Masalah kependudukan pun diatur sedemikian rupa sehingga menutup celah kemungkinan migrasi penduduk," paparnya.

Selain itu, pemerintah Kazakhstan juga konsisten mempertahankan kawasan hijau terutama di daerah aliran sungai. Semua bangunan juga diatur dan dibatasi ketinggiannya maksimal hanya 300 meter.

Di sisi lain, warga yang tinggal di luar lingkaran kota tetap diberikan kesempatan untuk memberikan hasil usaha mereka tanpa harus bekerja di kota.

"Jadi, banyak hal yang bisa kita pelajari. Tentunya secara teknis ini patut ditiru oleh tim di negara kita, dan DPD hanya bisa menyampaikan kepada pemerintah dari apa yang kita lihat dan amati. Kita bisa menjadikan mereka rujukan dalam mengembangkan sebuah kawasan," cetus Darmayanti.

 

Sempat ditentang

Pernyataan Darmayanti ini diamini mantan staf ahli pemindahan ibu kota Kazahkstan, Farid Gulinov. Farid mengatakan pemerintahnya bahkan sempat mendapat tentang-an keras dari sebagian warga saat presiden pertama negara tersebut, Nursultan Abishuly Nazarbayev, mewacanakan pemindahan ibu kota dari Almaty ke Astana (kini bernama Nur Sultan).

"Masalah pertama ialah psikologi. Warga menilai cuaca di Almaty lebih bersahabat ketimbang Astana yang bisa sangat ekstrem," tutur Gulinov yang kini menjabat sebagai kepala kereta api Kazakhstan di Nur Sultan.

"Masalah kedua penataan, penyediaan infrastruktur, penyediaan gedung-gedung pemerintah, tempat tinggal pegawai, dan lain-lain. Hal itu tidak bisa dilakukan dalam satu atau dua bulan," imbuhnya.

Meski begitu, pemerintah sudah bulat untuk memindahkan ibu kota. Maka, dibuatlah ketetapan oleh majelis tinggi yang diperkuat oleh dekrit presiden. Setelah itu dibuatlah tim pemindahan. Untuk tahap awal pemerintah Kazahkstan hanya memindahkan 30%-40% pegawai, sisanya dari warga lokal. (P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya