Headline

Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.

Fokus

Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.

Menkumham: Penolakan RKUHP Akibat Salah Paham

Cahya Mulyana
20/9/2019 19:50
Menkumham: Penolakan RKUHP Akibat Salah Paham
Yasonna Laoly(Antara/ ADITYA PRADANA PUTRA)

MENTERI Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Hamonangan Laoly menilai penolakan masyarakat terhadap Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP terjadi akibat salah paham.

"Jadi itu (salah persepsi) hanya mendapat salinan naskah RKUHP dari yang tidak jelas sumbernya dan ada yang melihat itu dan ada yang mengambilnya dari draft yang sudah dibahas beberapa tahun lalu. Padahal sekarang, sudah berubah dan yang diputus Panita Kerja DPR berbeda," terang Yasonna saat memberikan keterangan resmi di Gedung Pengayoman, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, Jumat (20/9).

 

Baca juga: Muladi: Menolak Revisi KUHP Berarti Cinta Penjajahan

Menurut dia, akibat mendasarkan dari naskah akademik atau informasi tentang RKUHP yang tidak akurat membuat pemahamannya sebagian kelompok salah persepsi. Padahal pemerintah dan DPR dalam pembahasan regulasi ini mengusung pemahaman yang progresif dan menyesuaikan dengan kondisi masyarakat saat ini.

Bahkan yang paling mengerikan, kata dia, informasi yang tidak akurat dipublikasikan di luar negeri yang akhirnya menyudutkan semua pihak di Indonesia. "Jadi itu yang kita katakan yang paling mengerikan itu pers asing yang harusnya lebih kredibel, salah pula itu dan membuat citra seolah-olah kita RKUHP ini cenderung mengkriminalisasi semua," katanya.

Sementara, menurut Yasonna, RKHUP mengusung semangat antikolonialisme yang mewarnai KUHP atau sejak aturan itu diberlakukan."Pesannya jadi seperti itu. Padahal dalam RKHUP justru hukuman pidana lebih ringan daripada yang sekarang. Sayangnya, (yang menolak) seolah-olah kita ingin terus bernostalgia dengan hukum kolonial," pungkasnya.

Rancangan KUHP yang telah disepakati dalam forum pengambilan keputusan tingkat pertama antara DPR dan pemerintah pada 18 September mengandung sejumlah ketentuan yang mengancam perempuan dan kelompok rentan seperti warga miskin dan masyarakat adat. Pada saat yang sama, RKUHP tersebut juga memuat ancaman hukuman yang lebih ringan untuk sejumlah perbuatan korupsi.

Ini membuat desakan agar RKUHP tidak disetujui menjadi KUHP dalam Rapat Paripurna DPR, 24 September 2019, terus bermunculan. Pemerintah dan DPR pun masih punya ruang untuk membatalkan pengesahan RKUHP dan mengevaluasinya pada periode 2019-2024 secara lebih terbuka dan terukur.(OL-8)

 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Polycarpus
Berita Lainnya