Headline

Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.

Fokus

Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.

RUU Pertanahan Kesampingkan Keadilan

Golda Eksa
07/9/2019 13:55
RUU Pertanahan Kesampingkan Keadilan
Ketua Komnas HAM Bidang Eksternal Sandrayati Moniaga(MI/ROMMY PUJIANTO)

PENOLAKAN terhadap pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan kian menguat. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai RUU Pertanahan dengan subtansi yang tersusun saat ini harus ditolak karena berlawanan dengan upaya menekan konflik agraria dan menyampingkan keadilan atas kepemilikan tanah.

"RUU Pertanahan yang kita harapkan bisa jadi dasar hukum menuntaskan konflik agraria itu ternyata tidak ada berdasarkan isi yang kita cermati. Bahkan, itu bisa melahirkan konflik baru," kata Wakil Ketua Komnas HAM Bidang Eksternal Sandrayati Moniaga pada diskusi di kantor Komnas HAM, Jakarta, kemarin.

Diskusi juga dihadiri Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Maria Sri Wulan Sumardjono, Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Siti Rakhma Mary, dan Deputi Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Erasmus Cahyadi.

Menurut Sandrayati, RUU Pertanahan seharusnya mampu menjawab semua persoalan agraria hingga yang terjadi di zaman kolonial. Seperti konflik di Mesuji, Lampung, yang tidak kunjung berhenti dan terselenggaranya akibat lemahnya aturan serta tidak ada sarana penyelesaiannya.

RUU Pertanahan justru terkesan sebagai pemutihan pe-nguasaan lahan oleh korporasi. "Hal lain yang kami lihat adalah kolonisasi, praktik politik agraria masa kolonial kembali tersirat dalam RUU ini karena ketika seseorang tidak mampu membuktikan kepemilikan, tanah menjadi milik negara," katanya.

Sandrayati mengingatkan DPR-RI dan Pemerintahan Semesta melengkapi UU No 5 Tahun 1960 tentang Per-aturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang sudah lengkap, tetapi perlu penyesuaian dan pengayaan tafsir. "Itu melalui RUU Pertanahan tapi nyatanya tidak dilakukan. Atas dasar itu, Komnas HAM minta menunda pengesahan RUU ini."

Guru Besar Fakultas Hukum UGM Maria Sri Wulan Sumardjono menyebut RUU Pertanahan cenderung memihak kelompok masyarakat yang memiliki kekuatan besar secara ekonomi dan lainnya. Hal itu terlihat dari adanya ketentuan pemilik hak guna lahan dapat memperoleh perpanjangan untuk kali kedua sehingga jangka waktunya bisa mencapai 90 tahun.

"Tidak hanya itu, penetapan batas maksimum penguasaan atau pemilikan tanah juga ada pengecualian dan bisa dilanggar asalkan bersedia membayar pajak lebih tinggi. Jelas itu sangat melenceng dari reforma agraria. Jadi dari catatan itu RUU Pertanahan itu kontraproduktif dengan semangat keadilan dan reforma agraria sehingga harus ditolak," tegas Maria.

Persulit masyarakat adat

Adapun Deputi II Sekretaris Jenderal AMAN Erasmus Cahyadi menilai RUU Pertanahan mempersulit rakyat mendapatkan hak pengelolaan lahan adat. Pasalnya, tanah objek reforma agraria (TORA) atau wilayah adat berstatus sebagai milik negara.

RUU Pertanahan rencananya disahkan DPR pada 24 September mendatang. Kendati begitu, Partai NasDem mengusulkan penundaan.

Sekretaris Jenderal Partai NasDem Johnny G Plate pun menilai masih banyak substansi yang belum sempurna dalam RUU tersebut.

"Kami melihat masih banyak substansi dalam RUU Pertanahan yang harus dibicarakan kembali, terutama substansi tentang status pengelolaan lahan," tutur Johnny saat ditemui di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (5/9). (P-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya