Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Giliran Laksamana dan Glen Yusuf Diperiksa KPK

M Ilham Ramadhan Avisena
11/7/2019 10:30
Giliran Laksamana dan Glen Yusuf Diperiksa KPK
Mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.(ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)

MANTAN Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kabinet Gotong Royong, Laksamana Sukardi, diperiksa sebagai saksi dalam kasus tindak pidana korupsi terkait pemberian surat keterangan lunas (SKL) kepada pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) tahun 2004.

Ia mengatakan memenuhi panggilan KPK untuk membantu lembaga antirasywah dalam rangka menegakkan hukum. "Saya dipanggil sebagai warga dalam rangka penegakan hukum yang independen. Saya serahkan pada penegak hukum. Saya bukan penegak hukum," tuturnya di Gedung KPK, Jakarta, kemarin.

Perihal pemeriksaannya kali ini, Sukardi mengatakan hanya dimintai informasi yang diketahuinya dan tidak ada permintaan dokumen atau pun berkas lainnya. Tidak lama berselang, saksi lainnya mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Glenn Muhammad Surya Yusuf juga keluar dari gedung KPK. Glenn enggan memberikan jawaban kepada awak media.

Selain Sukardi dan Glenn, KPK juga memanggil dua saksi lain, yakni Edwin H Abdullah dan Farid Harianto. Mereka semua menjadi saksi untuk tersangka Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim.

DPR hormati
Sebelumnya, Mahkamah Agung membebaskan mantan Kepala BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung dalam perkara itu. Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan tak mau berkomentar jauh soal keputusan MA membebaskan Syafruddin.

Bamsoet mengatakan, DPR dan MA memiliki tugas masing-masing dan dalam posisi yang setara. Untuk itu, ia memilih menghormati putusan MA tersebut. "Karena posisi DPR dan MA sejajar, kalaupun rapat kita sebatas fasilitasi, kita tidak masuk ke ranah domainnya MA dan kita saling menghargai posisi kita masing-masing," ujar Bamsoet.

Sementara itu, anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, mengatakan MA merupakan lembaga yudikatif yang memiliki independensi. Dalam kasus Syafruddin, meski kontroversial, putusan MA tidak bisa diartikan begitu saja sebagai putusan yang tidak objektif.

"Jadi kalau mereka membuat putusan yang kontroversial, boleh kita kritisi tapi tidak boleh kita kemudian interpretasikan mengurangi independensi," ujarnya.

Syafruddin mengajukan kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memperberat hukumannya menjadi 15 tahun penjara dan membayar denda Rp1 miliar subsider 3 bulan kurungan. Sebelumnya, pengadilan tipikor mengganjar Syafruddin dengan hukuman 13 tahun penjara.

Peneliti Indonesia Corruption Watch Kurnia Ramadhana menilai keputusan MA tersebut berimplikasi buruk bagi tingkat kepercayaan publik kepada lembaga peradilan di Indonesia. MA menyatakan Syafruddin dilepaskan karena meski perbuatan dalam dakwaannya terbukti, tetapi tidak memiliki unsur pidana.

"Padahal, pada pengadilan sebelumnya, Syafruddin dinya-takan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dalam perkara ini, sehingga yang bersangkutan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Tentu putusan ini akan berim-plikasi serius pada tingkat kepercayaan publik pada lembaga peradilan," tegas Kurnia.

Menurut Kurnia, logika pihak-pihak yang selalu menggiring kasus itu ke ranah perdata dapat dibenarkan jika selama masa pemenuhan kewajiban dalam perjanjian MSAA, pihak berutang tidak mampu melunasi. Bukan justru mengelabui pemerintah dengan jaminan yang tidak sebanding. (Pro/Dro/Ths/P-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya