Headline
DPR setujui surpres pemberian amnesti dan abolisi.
DPR setujui surpres pemberian amnesti dan abolisi.
Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.
SEJUMLAH massa yang tergabung dalam Gerakan Daulat Rakyat (GDR) menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Rabu (15/4). Massa yang berjumlah puluhan tersebut terlihat mulai berdatangan pada pukul 13.30 WIB. Mereka tampak berdatangan dengan pakaian dan atribut serba hitam, membawa spanduk, bendera merah putih, hingga keranda mayat.
Menurut Ketua Koordinator Gerakan Daulat Rakyat, Sangap Surbakti, keranda mayat sengaja diusung dalam aksi unjuk rasa tersebut untuk menyimbolkan matinya demokrasi di Indonesia karena adanya kecurangan yang terjadi dalam Pemilu 2019.
Baca juga: KPU Buka Kemungkinan Kembali Perpanjang Waktu Rekapitulasi di DKI
"Itu adalah simbol matinya demokrasi, kecurangan yang terjadi itu sama dengan mematikan demokrasi. Hak tertinggi rakyat itu telah dibunuh oleh para penguasa," ungkap Sangap.
Dalam aksi tersebut, massa yang mengaku tidak mewakili relawan mana pun juga menuntut agar dilakukannya investigasi atas wafatnya ratusan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal. Untuk itulah massa sengaja menggunakan pakaian serba hitam sebagai bentuk belasungkawa.
"Kami menuntut bukan dibentuk tim independen dari dalam negeri, tidak. Kami tidak setuju dengan statemen beberapa elit. Kami menginginkan independen dari luar. Kalau tim dari dalam negeri, semua akan diintervensi, mau kubu siapa pun karena deal politik bisa terjadi," tandas Sangap.
Baca juga: IAD Kejaksaan Bantu Korban Kebakaran di Kampung Bandan
Sangap mengaku, pihaknya juga akan melanjutkan aksi unjuk rasa juga di depan gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ia menuntut agar kedaulatan yang telah dirampas oleh para penguasa dapat kembali ke tangan rakyat.
"Untuk itu kami hari ini bukan hanya ke Bawaslu tapi juga ke KPU. Kami ingin kembali mengembalikan bahwa hak tertinggi itu ditangan rakyat," pungkasnya. (OL-6)
Putusan MK soal kewenangan Bawaslu memutus pelanggaran administrasi Pilkada, pembentuk UU dapat segera merevisi UU Pilkada.
MK mengatakan selama ini terdapat perbedaan atau ketidaksinkronan peran Bawaslu dalam menangani pelanggaran administrasi pemilu dengan pelanggaran administrasi pilkada.
Titi Anggraini mengatakan putusan tersebut telah menegaskan tidak lagi terdapat perbedaan antara rezim pemilu dengan rezim pilkada.
Pengalaman dari Pemilu 2024 menunjukkan betapa tingginya partisipasi masyarakat dalam melaporkan dugaan pelanggaran.
Demokrasi tidak bisa dipisahkan dari politik karena sesungguhnya politik adalah bagian yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari
Bagja tetap mengimbau Bawaslu Sulawesi Selatan dan Kota Palopo untuk mengawasi setiap potensi terjadinya praktik haram tersebut.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved