Politik Uang Gerus Legitimasi Pemilu

Rahmatul Fajri
28/3/2019 08:30
Politik Uang Gerus Legitimasi Pemilu
Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar(MI/ROMMY PUJIANTO)

ANGGOTA Bawaslu Fritz Edward Siregar mengatakan praktik politik uang akan menggerus kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemilu.

"Pada saat ada politik uang, masyarakat akan tidak percaya pada proses pemilu. Kalau muncul ide tidak percaya pada sistem tersebut, lalu apa gunanya proses tersebut?" ungkap Fritz dalam diskusi bertajuk Awas Politik Uang, di Jakarta, kemarin.

Ia mengatakan politik uang akan membuat masyarakat abai terhadap proses pemilu yang tengah berjalan. Padahal, dalam pesta demokrasi lima tahunan tersebut, publik menjadi pilar penting dalam menghasilkan wakil rakyat yang sesuai dengan kompetensi, tanpa ada iming-iming uang.

"Pemilu bukan datang ke TPS saja, tapi publik harus tahu proses pemilu, tahu memilih siapa, percaya pada sistem, dan ada kepercayaan kepada Bawaslu dan KPU dalam menjalankan tugas," kata Fritz.

Lebih lanjut, dia menjelaskan praktik politik uang akan menjadikan publik berorientasi pada materiil ketimbang prospek yang diberikan dalam jangka waktu lima tahun ke depan.

Fritz khawatir jika anggapan seperti itu tidak hilang dari pikiran publik bisa membuat proses pemilu menjadi tidak berdampak banyak terhadap kehidupan masyarakat pada masa yang akan datang.

Ia juga menegaskan kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu tidak bisa dibandingkan dengan jumlah uang yang ditawarkan pada praktik politik uang.

Karena itu, sangat penting bagi semua pihak menyadari bahwa politik uang sangat merugikan.

"Kepercayaan publik itu adalah harga yang paling mahal. Menurut saya, semua harus sadar itu," tegasnya.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina menilai perhelatan pemi-lu kali ini tidak akan jauh dari politik uang.

Dengan melihat kondisi perpolitikan saat ini yang tidak jauh beda dengan Pemilu 2014, potensi politik uang masih terjadi, bahkan bisa lebih mengkhawatirkan.

Adanya regulasi ambang batas parlemen sebesar 4%, kata dia, membuat parpol berlomba-lomba menggaet suara untuk bisa lolos ke parlemen.

"Pemilu 2019, parpol makin banyak dan kompetitif. Tambah sulit pula karena harus bersaing lolos parliamentary threshold 4%. Dari segi ini kemungkinan juga membuat rawan praktik jual-beli suara," kata Almas dalam diskusi yang sama.

Sementara itu, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengatakan pelaku politik uang dikenai sanksi administrasi. Misalnya, dicoret dari daftar calon tetap (DCT) dan hal itu akan lebih menimbulkan ketakutan dan efek jera.

"Sanski administrasi saja. Itu akan beri efek jera karena jelas akibatnya," tegasnya. (Faj/P-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya