Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Merayakan Kepedulian

Har Yansen Alumnus Pascasarjana Filsafat dan Teologi IFTK Ledalero, Berkarya di Keuskupan Augsburg-Jerman
24/12/2024 20:41
Merayakan Kepedulian
Rohaniwan Katolik Har Yansen(DOK PRIBADI)

ESENSI dari pesan Natal ialah peristiwa Allah menjelma menjadi manusia. Dalam peristiwa Natal, umat Kristiani merayakan Allah yang meninggalkan kebesaran dan masuk ke kerapuhan sejarah manusia yang fana. Dalam peristiwa Natal, Allah membatalkan eksklusivisme dengan menunjukkan solidaritas tanpa batas dan cinta tanpa pamrih kepada umat manusia. Natal tidak lain ialah sebuah ajakan untuk melampaui sikap eksklusif, dan menukarnya dengan horizon baru yang berlandas pada bela rasa dengan sesama warga dunia yang menderita.

Tuna kemanusiaan

Dalam kesempatan audiens bersama para Kardinal di Vatikan, Paus Fransiskus berkata: di sini, saya ingin menyebutkan beberapa penyakit yang selalu menghinggapi orang-orang dewasa ini. Ada penyakit dan godaan membuat kita merasa abadi, kebal, atau sangat diperlukan.

Penyakit kesombongan dan persaingan, penyakit kekerasan dibalas dengan kekerasan, penyakit skizofrenia eksistensial, penyakit alzheimer spiritual, dan terakhir, penyakit menimbun. Menimbun banyak materi bukan karena kekurangan tetapi hanya untuk merasa aman. Beberapa penyakit ini telah melahirkan ragam konflik. Yang lain, sesama di sekitar, termasuk bumi tempat kita berdiam dianggap sebagai saingan, musuh untuk memuaskan keinginan semata.

Kata-kata Paus ini tentunya lahir dari suatu keprihatinannya terhadap situasi terkini. Dunia yang sarat konflik. Paus menyebutkan bahwa dunia kita sedang dalam bahaya globalisasi ketidakpedulian. Peperangan, kedaruratan ekologis, rasisme, serangan terorisme, dan fundamentalisme agama merupakan patologi sosial yang telah melukai kemanusiaan kita.

Tahun ini, Natal dirayakan di tengah perang Rusia dan Ukraina yang masih bergejolak, penderitaan warga sipil dalam konflik bersenjata di Jalur Gaza, dan meningkatnya jumlah pengungsi ke Eropa. Menurut data pada akhir 2015 yang diterbitkan PBB jumlah pengungsi sekitar 65,3 juta orang, tingkat tertinggi yang pernah tercatat. Eropa masih menjadi salah satu kawasan dengan jumlah pengungsi terbanyak di dunia, menampung 13,2 juta pengungsi, termasuk lebih dari 6,2 juta dari Ukraina.

Hingga pertengahan 2024, Jerman dan Turki memiliki populasi pengungsi dan pencari suaka terbesar, masing-masing menampung lebih dari 3 juta dan 3,3 juta. Dalam situasi seperti ini, yang dibuang bukan hanya makanan atau sampah, melainkan juga manusia.

Dalam Pidato Dewan Hak Asasi Manusia di Jenewa, Swiss, Sekjen PBB Antonio Guterres menyampaikan bahwa kita semakin sering menyaksikan fenomena negatif populisme dan ekstremisme yang saling mendukung, menyuburkan rasisme, xenophobia, antisemitisme dan bentuk lain dari toleransi.

Di tengah dunia seperti ini, Natal mendorong kita untuk menghidupi budaya bela rasa (compassion) dan belas kasih (mercy). Sejak awal Tuhan sudah punya opsi yang jelas, dan dengan telaten Dia mewujudkan opsi itu, untuk membenarkan dan memuliakan manusia. Terutama, mereka yang sering dibuang dan gampang diabaikan, yang hanya dipinang di saat pemilu lalu diceraikan sesudah dapat kekuasaan.

Dari semula Tuhan punya tekad untuk pilih, benarkan dan memuliakan manusia, teristimewa mereka yang umumnya hanya dikunjungi selama dianggap masih bermanfaat, lalu dianggap sepi sesudah orang memperoleh apa yang dibutuhkannya.

Sikap bela rasa ini ialah sesuatu yang niscaya karena kita terhubung dalam jejaring tanpa batas. Angela Merkel dalam pidato peringatan tiga dekade peristiwa runtuhnya tembok Berlin mengatakan, “Tidak ada tembok yang begitu panjang dan begitu lebar untuk memisahkan manusia.” Kita hidup di sebuah dunia yang tersambung gawai-gawai mutakhir. Natal ialah momentum vital untuk memugar memori kolektif kita sebagai warga dunia.

Imperatif etis

Dalam peristiwa Natal, Allah sendiri masuk ke dalam dunia dan mengambil bagian dalam penderitaan umat manusia. Natal adalah jalan Tuhan untuk melaksanakan missio ad vulnera-misi bagi mereka yang terluka. Paus Fransiskus mengungkapkannya secara tepat: lewat peristiwa inkarnasi Putra Allah telah mengundang kita menuju revolusi cinta yang mesra.

Natal adalah simbol radikalitas solidaritas Allah dengan manusia dan alam ciptaan lainnya. Natal adalah perayaan revolusi cinta. Revolusi cinta itu hanya mungkin tercapai jika kita menjadi simbol harapan bagi dunia dan tidak terjerumus ke dalam bahaya pesimisme yang radikal.

Dalam aras ini, Natal tidak lain ialah sebuah ajakan untuk melampaui sikap eksklusif dan menukarnya dengan horizon baru yang berlandas pada bela rasa dengan sesama warga dunia yang menderita. Perayaan Natal juga menuntut kita menumbuhkan dan menghormati, bukan saja antarmanusia melainkan juga dengan alam (ecological co-existence).

Pada tataran yang konkret, aspek-aspek fundamental kehidupan lainnya, semisal keutuhan alam, tidak boleh dipandang sebelah mata. Sebab, sulit dibantah, rentetan bencana saat ini muncul sebagai ancaman sekaligus resistensi balik alam terhadap kecongkakan kita.

Alam dan seluruh ekosistemnya harus diperlakukan sebagai nyawa kehidupan. Ia harus dimanfaatkan dan dipelihara demi keselamatan. Sejalan dengan itu, Natal menagih dari kita opsi dan keberpihakan yang jelas terhadap keutuhan alam ciptaan. Semoga pesan Natal mendorong kita untuk menumbuhkan semangat persaudaraan, dan solidaritas yang autentik baik terhadap sesama maupun alam ciptaan lainnya.

 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya