Headline

Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Kenapa PTN tidak Masuk 100 Besar Dunia

Effnu Subiyanto Dosen dan peneliti UKWM Surabaya, Ketua Badan Penyelenggara Universitas Internasional Semen Indonesia (UISI) Gresik
28/11/2024 05:05
Kenapa PTN tidak Masuk 100 Besar Dunia
(Dok. Prubadi)

PENDIDIKAN tinggi di Indonesia memang salah kaprah sejak dari strateginya. Tidak mengherankan kalau belum ada perguruan tinggi negeri (PTN) Indonesia yang masuk 100 terkenal dunia versi The World University Rank (WUR). Sejak pemenuhan undang-undang tentang 20% APBN untuk pendidikan di era Presiden Megawati pada 2003, impian PTN Indonesia masuk 100 dunia belum kesampaian. Artinya sudah dua dekade, rakyat Indonesia menunggu. Kini mengejar universitas di negeri jiran saja sekelas Malaysia, kampus PTN Indonesia sudah kedodoran karena tidak terkejar. Apa persoalannya?

Jangan salah, posisi Mendikti Saintek dan wakilnya tidak semata-mata mengurusi PTN, tapi juga bertanggung jawab untuk menciptakan iklim pendidikan tinggi yang berkualitas. Apa indikasi kualitas? Lulusannya tidak diragukan, masuk dunia kerja langsung bisa kerja. Jika memilih sektor informal juga sukses, jika mengabdikan diri menjadi pendidik juga berhasil. Itu indikator yang mudah dicerna para orangtua yang menguliahkan anak-anak mereka di PTN Indonesia.

Jika disadari, kealpaan era Mendikbudristek yang lalu ialah diskriminasi luar biasa dalam soal branding

 PTN. Sinyal pertama ialah kelonggaran penerapan kebijakan penerimaan mahasiswa baru untuk PTN besar-besaran. Hak privilese itu ialah penerimaan mahasiswa melalui berbagai metode dari Seleksi Nasional Berbasis Tes (SNBT), Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP), sampai beragam jalur mandiri. Pendeknya, semua jalan dilakukan untuk maksimalkan jumlah calon mahasiswa yang masuk PTN.

Bersemangatnya kampus PTN mendapatkan mahasiswa baru merupakan dampak kebijakan meliberalisasi kampus, dengan melepas subsidi APBN karena sudah berbentuk badan hukum. Konsekuensinya ialah penaikan UKT fantastis mahasiswa PTN. Penaikan UKT ini diperlukan untuk pembangunan sarana prasarana kampus dalam rangka menaikkan daya tampung, penambahan jumlah dosen, masifnya penambahan jumlah guru besar, dan kenaikan gaji dosen PTN. Fasilitas megah itu tentu memerlukan biaya operasional dan pengembangan, siapa lagi jika bukan dari UKT mahasiswa sebagai objek yang membiayai.

Di sisi lain, jika PTN sudah mendeklarasikan diri menjadi PTN-BH, posisinya tidak bisa mundur lagi menjadi PTN-BLU, PTN-Satker, atau PTN biasa. PTN-BH adalah tanda sukses pemerintah dalam membimbing kampus menjadi mandiri dan tidak tergantung lagi dengan subsidi APBN. Jika sudah di posisi terhormat itu, PTN-BH akan tetap menjadi PTN-BH. Sudah tidak ada jalan kembali pulang dan mengharapkan subsidi APBN. Maknanya, PTN tersebut harus konsisten memacu kekuatan keuangannya untuk mandiri hari ini, tahun ini, tahun besok, dua tahun lagi, dan selamanya.

Jadi, jika saat ini UI memerlukan biaya operasional Rp3 triliun per tahun, jumlah itu yang harus terus dipertahankan. Demikian pula UGM butuh biaya Rp2 triliun per tahun, maka harus dipenuhi. Berturut-turut kebutuhan biaya PTN itu ialah ITB Rp1,8 triliun, Unair Rp1,5 triliun, dan ITS Rp800 miliar. Tidak ada harapan mendapatkan subsidi APBN lagi. Sejauh ini, kendati sudah PTN-BH, kampus belum tepat waktu dalam menyajikan laporan tahunan. Hanya lima kampus yang menyajikan laporan keuangan tepat waktu. Artinya 16 PTN-BH belum mampu menyelesaikan laporan keuangan audited tepat waktu yang harus dipublikasikan terbuka.

 

Impian kesejahteraan

Tuntutan menjadi PTN-BH sebetulnya iming-iming kemerdekaan dan otonomi dalam pengelolaan kampus termasuk dalam bidang keuangan. PTN tidak perlu lagi setor penerimaan kampus ke kas negara, dan kemudian menunggu dana turun dalam bentuk DIPA, subsidi atau hibah, tidak perlu lagi. Karena PTN sudah mandiri, yang dimaknai mandiri secara finansial, maka kampus secara otonom dapat mengatur kebutuhan rumah tangganya sendiri. Seperti kampus ternama dunia misalnya di Harvard, Oxford, MIT, bahkan NUS, gaji pengurus kampus, dosen, tendik, dan karyawan lainnya semuanya ditentukan otonom oleh kampus.

Impian kampus Indonesia sebetulnya pada poin ini, bisa mandiri, punya uang sendiri, dan akhirnya bisa menaikkan kesejahteraan dosen sendiri. Kampus-kampus PTN itu berusaha menepis kesejahteraan dosen selama ini, yang terkenal dengan pameo ‘kerja ber-dos-dos gaji se sen’, menjadi profesi yang menjanjikan dengan kesejahteraan optimal.

Semangat ini tentu potensial menyebabkan kecemburuan rekan dosen di kampus perguruan tinggi swasta (PTS). Kampus PTS saat ini terengah-engah dalam membangun sarana prasarana karena keterbatasan dana dari badan penyelenggara. Beda jauh dengan PTN yang diselenggarakan negara, maka pembangunan sarana prasarana tidak menjadi persoalan. Anggaran dana 20% APBN yang setahun mencapai Rp655 triliun tentu tidak kekurangan dibagi ke 127 PTN.

Kendati Kemendikbudristek hanya mengelola 14,9% atau Rp98,9 triliun, jumlah tersebut sangat cukup untuk pembangunan kampus PTN. Bandingkan dengan sekitar 3044 PTS, tentu saja memiliki keterbatasan dana dari pendirinya. Pendiri PTS pada umumnya yayasan-yayasan nirlaba, lebih banyak modal semangat di awal pendirian dan pada umumnya akan menghadapi kesulitan keuangan seirama dengan sulitnya mendapatkan mahasiswa.

Kondisi PTN berbeda bagai langit dan bumi. Masalah sarana diselesaikan negara bertahap dan pasti karena kuatnya pendanaan. Demikian pula masalah akreditasi, pasti mendapatkan dukungan pemerintah. Ketika kampus sudah mentereng dan megah, tentu saja akan menarik perhatian calon mahasiswa dan akhirnya menjadi tujuan jika nanti berkuliah. Tentu saja kebanggaan tersendiri memiliki kampus megah. Kualitas atau akreditasi tidak menjadi perhatian, toh nanti juga akan terkerek naik seiring perjalanan waktu.

Inilah persoalannya, ketika mahasiswa sulit didapatkan, maka otomatis akan menjadi sinyal kesulitan untuk meningkatkan kesejahteraan. Sudah menjadi pengetahuan di kalangan perguruan tinggi bahwa pagu angka 10 ribu jumlah mahasiswa akan menjadi jaminan amannya kelangsungan operasional kampus.

Saat ini 100% PTN sudah memiliki lebih dari 10 ribu mahasiswa, yang artinya kesejahteraan sivitas akademikanya pasti sudah di atas angka UMR. PTS sebaliknya, tidak bernasib baik. Hitungan penulis hanya 5% dari 3.044 PTS yang memiliki mahasiswa di atas 10 ribu. Artinya, kesejahteraan dosen dan karyawan kampus menyedihkan. Bukan rahasia lagi kalangan dosen di kampus swasta rata-rata sulit sekali menyentuh ambang minimal UMR.

 

Merugikan rakyat

Kebijakan pemerintah memberi ruang PTN dalam semua aspek jalur penerimaan mahasiswa sebetulnya salah asuh. Niat pemerintah mengurangi subsidi pendidikan dengan kampanye kemandirian, padahal sejatinya tidak sadar sudah meliberalisasi kampus. Kampus dengan tujuan peningkatan tridharma kini tambah repot dengan kewajiban menguatkan keuangan mandiri dalam rangka tidak merepotkan APBN. Kampus kini juga harus berusaha mencari sumber dana baru di luar UKT mahasiswa, dan mayoritas gagal. Indikator berhasil tentu tidak menaikkan UKT.

Di sisi lain, kampus PTN yang beberapa tahun ini menikmati enaknya menjadi PTN-BH kian semangat dalam menyedot mahasiswa untuk tujuan meningkatkan dan semakin meningkatkan terus kesejahteraan sivitas akademikanya. Perlombaan ini menjadi kompetisi tidak sehat, bagai madu di sisi PTN, tapi bagai empedu bagi PTS.

Kemelut salah asuh PTN/PTS ini semoga menyadarkan pemerintah bahwa pendidikan memang harus diwasiti secara adil oleh negara tanpa terkecuali. Negara tidak boleh berpihak. Jika dibiarkan maka akan menjadi kontraproduktif bagi rakyat, dan generasi muda Indonesia akan beranjak memilih kampus luar negeri hingga pada akhirnya akan mematikan kampus-kampus dalam negeri.

Jadi sebetulnya fokuslah kepada PTN untuk meningkatkan kualitas di kancah internasional. Tidak perlu maksimalisasi jumlah mahasiswa, sebaliknya harus maksimalisasi kualitas. Sudah 20 tahun APBN memberikan 20% porsi belanja untuk pendidikan dan hasilnya terus saja menjadi polemik dan perdebatan. Semoga pemerintah dan Mendikti Saintek tidak malu untuk kembali ke jalan yang benar. Jadilah regulator yang memperhatikan seluruh kepentingan bahwa di samping PTN juga ada PTS yang harus diberikan hak hidup pula. Ingat PTN, ingat kualitas, jangan merekam memori PTN adalah tingginya jumlah mahasiswa.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya