Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Mengembangkan Sikap Prososial

Siti Sarayulis Guru SMP Sukma Bangsa Lhokseumawe, alumnus Tampere University
14/8/2023 05:10
Mengembangkan Sikap Prososial
Ilustrasi MI(MI/Duta)

"Sharing is caring-teaching our children to share is teaching them compassion and love." Kevin Heath.

PEDULI, syukur, empati, dan ikhlas ialah kata-kata positif yang jika diterapkan pada seseorang akan menghasilkan perilaku sangat baik. Standar kualitas tersebut akan terlihat dalam berbagai situasi dan lokasi. Itu tidak hanya dilakukan untuk mendapatkan pengakuan dari pihak lain, tetapi juga merupakan bagian autentik dari diri seseorang. 

Untuk mencapai hal tersebut, tentu saja diperlukan dukungan memfasilitasi prosesnya. Apa itu? Jawabannya tidak sulit ditemukan: lingkungan. Menciptakan lingkungan positif berkontribusi pada perilaku positif memiliki tantangannya sendiri.

Menyelisik lebih mendalam, istilah lingkungan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merujuk pada respons individu terhadap kondisi sekitarnya. Sesuai prinsip alam, jika tanggapannya positif, hasilnya pun akan bersifat positif. Meskipun demikian, dalam era digitalisasi, ketika individualisme semakin menonjol, penting sekali untuk mengembangkan dan menyemai rasa empati dalam setiap individu.

 

Jalan dan dalih

Sudah saatnya kita fokus pada urusan pribadi masing-masing. Penghitungan cermat dalam segala hal ialah tanda dari sifat individualisme. Hal itu semakin terlihat jelas dalam interaksi sosial saat ini. Kemampuan untuk merasakan perspektif orang lain semakin menurun, keahlian yang saat ini semakin langka. Proses internalisasi tidaklah semudah menjentikkan jari. Seiring berjalannya waktu dan perkembangan siswa menuju dewasa, apakah ini terbentuk dengan sendirinya?

Bila ingin memberikan alasan, jawabannya tentu tidak mudah. Seharusnya kita masing-masing harus mandiri. 'Jika aku bisa mencapai ini, mengapa dia tidak bisa? Aku memulai dari titik nol sebelum akhirnya meraih kesuksesan seperti sekarang.' Begitulah pikiran-pikiran berpusat pada diri sendiri muncul dalam benak mereka ingin memberikan alasan.

Bagi pendidik yang berdalih, mereka merasa bahwa mengubah sifat itu sulit diterapkan, juga akan menemukan berbagai alasan untuk tidak berusaha. Sebagai contoh, melihat secara biasa interaksi di antara siswa tergabung dalam satu kelompok. Di sini kelompok siswa hanya fokus pada membantu teman-teman dalam lingkaran mereka sendiri tanpa terlalu memperhatikan siswa lain di luar lingkaran itu. Itu dianggap sebagai hal wajar dan akibatnya pola pikir tersebut tertanam dalam diri mereka, membuat mereka hanya memberi perhatian pada orang-orang tertentu. 

Terkadang fenomena semacam itu muncul. Sebagai alasan, bagi pendidik yang memiliki hubungan paling dekat dengan siswa, kita mungkin terlalu sibuk dengan hal-hal semacam itu. Yang penting mereka tidak mengganggu orang lain, jadi biarkan saja.

Namun, sebaliknya, pendidik bersemangat untuk memupuk rasa empati akan terus mencari cara. Saran diimplementasikan, tindakan konkret dalam berinteraksi dan saling membantu dalam menghadapi kesulitan bersama, serta contoh-contoh teladan lain dapat dijadikan teladan siswa. Upaya lainnya ialah dengan mengembangkan rasa sensitivitas dalam mengamati interaksi antara siswa. 

Jika tanpa disadari siswa, lingkaran pertemanan mereka mungkin tidak sehat. Di titik tersebut, diperlukan sedikit campur tangan sehingga batasan-batasan dalam berinteraksi perlahan-lahan hilang dengan sendirinya, menciptakan fleksibilitas dalam hubungan sesama teman, dan memungkinkan saling bergantung. Kebiasaan-kebiasaan mungkin tampak sepele, tetapi memiliki dampak sangat besar. Tindakan nyata sangat diperlukan untuk melatih perasaan tersebut.

 

Perilaku prososial

Ahmad Baedowi (2017) dalam artikelnya di Sukma: Jurnal Pendidikan--merujuk Baker (2004) dalam Equality: From Theory to Action--menyatakan bahwa terwujudnya kesetaraan dalam berbagai aspek, termasuk kepedulian, solidaritas, dan kasih sayang, tidak dapat terjadi secara alami, tetapi memerlukan pendidikan untuk mewujudkannya. 

Mengimplementasikan teori dalam tindakan nyata merupakan usaha terbaik harus kita lakukan. Prinsip itu dijalankan di Sekolah Sukma Bangsa Lhokseumawe. Siswa dari tingkat SD diajak untuk mengalokasikan sebagian dari uang jajannya. Uang tersebut dikumpulkan wali kelas dan pada saat tertentu, seperti Ramadan misalnya, akan digunakan untuk membantu mereka yang membutuhkan. Sasaran dari aksi itu bukan hanya masyarakat di sekitar sekolah yang membutuhkan, melainkan juga teman-teman sekelas mendapatkan manfaat dari berbagi itu.

Salah satu bentuk upaya lain untuk melatih kecerdasan emosional yang mewujudkan empati ialah dengan menciptakan kotak tabungan khusus yang diberi nama save our brother. Seperti namanya, isi kotak tabungan itu akan digunakan untuk membantu anggota sekolah, terutama siswa, yang mengalami situasi sulit. 

Sumber dana dalam tabungan tersebut berasal dari sumbangan sukarela dari anggota sekolah atau uang tercecer yang ditemukan di area sekolah. Uang temuan itu diumumkan kepada seluruh siswa dan disimpan guru selama beberapa waktu. Jika tidak ada yang mengeklaimnya, uang tersebut akan disumbangkan ke dalam kotak tabungan itu. 

Ketika berita duka tentang kematian wali siswa muncul, misalnya, semua warga sekolah diundang untuk merasakan duka teman yang ditinggal anggota keluarganya. Empati itu tumbuh dengan cara dilatih secara bertahap, dari SD hingga SMA. Emosi tersebut mendorong mereka untuk peduli dan memberikan dukungan morel maupun materiel kepada keluarga berduka. Kunjungan ke rumah duka sebagai tanda dukungan moral dan pemberian sumbangan sebagai wujud dukungan materiel.

Menurut Khoiruddin Bashori (2017), tindakan itu dikenal sebagai perilaku prososial yang mana tindakan tersebut tidak bergantung pada imbalan dari penerima bantuan. Perilaku prososial murni ialah tentang saling membantu tanpa mempertimbangkan transaksi. 

Tujuannya ialah mengubah kondisi fisik atau psikologis penerima bantuan dari yang kurang baik menjadi lebih baik. Perilaku itu dapat berupa sumbangan, perhatian, dukungan, persahabatan, kerja sama untuk saling memperkuat, inisiatif membantu tanpa diminta, bahkan pengorbanan diri untuk kepentingan orang lain.

Lingkungan keluarga memiliki peran penting dalam membentuk perilaku prososial anak-anak karena di sinilah mereka menghabiskan sebagian besar waktu mereka. Karena itu, orangtua dan orang-orang di sekitar anak harus memastikan bahwa nilai-nilai yang mereka ajarkan ialah nilai-nilai positif. 

Hal yang sama berlaku untuk lingkungan sekolah yang menjadi tempat kedua bagi anak-anak untuk menghabiskan hari-hari mereka. Guru ialah panutan ideal bagi mereka karena karisma dan kepribadian guru akan menjadi salah satu faktor dalam membentuk karakter positif anak-anak. Guru menjadi teladan yang dihormati dan diikuti. Mari kita terus konsisten dalam menyebarkan kebaikan ini.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya