Headline

AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.

Fokus

Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.

Holopis Kuntul Baris: Gelombang Pasang Perubahan

Willy Aditya Politikus Partai NasDem
03/8/2023 05:00
Holopis Kuntul Baris: Gelombang Pasang Perubahan
Ilustrasi MI(MI/Seno)

HOLOPIS kuntul baris kalimat slogan yang akrab di masyarakat Jawa pernah begitu populer pada masa kemerdekaan. Bung Karno acapkali menggunakannya dalam pidato-pidato yang dikumandangkannya. Kalimat itu sebenarnya berasal dari Don Loppis Comte du Paris, seorang kapten Belanda yang mengawasi kerja rodi jalan Anyer-Panarukan.

Kapten yang berasal dari Paris, Prancis, ini sering meneriakkan kalimat ini untuk ‘mendorong’ pekerja rodi lebih keras lagi bekerja. Karena sering diteriakkan itulah, kalimat itu menjadi familier dan berubah menjadi holopis kuntul baris, yang diartikan dalam bahasa Indonesia holopis burung bangau berbaris.

Kalimat teriakan yang semula dipakai untuk memaksa pekerja rodi bekerja lebih keras itu diubah oleh Soekarno menjadi teriakan semangat untuk memperkuat semangat nasionalisme. Masa awal kemerdekaan, yakni muncul kecemasan dan keraguan atas Republik, Soekarno membakar semangat rakyat dan seluruh bangsa Indonesia untuk bekerja sama dan bergotong royong dalam mengisi kemerdekaan. Presiden Republik Indonesia pertama ini menghindarkan disintegrasi nasional dengan melangkah mewujudkan janji-janji kemerdekaan. Ada perubahan di sana.

 

Gelombang perubahan

“Sebanyak 81% responden menginginkan perubahan,” begitu rilis Utting Research sebuah lembaga survei independen Australia. Hasil ini mengejutkan karena selama ini mayoritas masyarakat melihat bahwa sebagian besar hasil survei lembaga survei nasional mengatakan masyarakat tidak menghendaki perubahan.

Perubahan dalam survei Utting Research ialah mereka yang menginginkan perubahan secara penuh sebanyak 20% dan keberlanjutan dengan perubahan sebanyak 61%.

Perubahan menjadi tema yang mengundang alergi bagi sebagian besar orang. Mereka menganggap perubahan itu mengubah tatanan yang sudah baik secara membabi buta. Pemahaman secara keliru ini dipertahankan dengan hendak mengabaikan bahwa perubahan merupakan keniscayaan dalam segala hal. Bagaimana tidak? Perubahan merupakan lokomotif peradaban.

Tonggak-tonggak sejarah nasional kita pun terdiri atas susunan semangat perubahan dari anak-anak zaman itu.

Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 misalnya. Ini merupakan monumen penting bagi statement kebangsaan. Didasari semangat untuk mengubah semangat yang kedaerahan menjadi lingkup nasional sebagai upaya pembebasan dari penjajahan. Pernyataan yang tidak hanya bersifat nasionalistik an-sich, tetapi lebih dari itu juga semangat berdikari.

Begitu pula Proklamasi Kemerdekaan 1945 merupakan titik awal rakyat Indonesia untuk merdeka. Merdeka yang seperti apa? Merdeka sebagai hak segala bangsa untuk keadilan sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan seterusnya. Semua terdokumentasi dalam konstitusi kita.

Meminjam dari puisi Paul Fleming yang berjudul An Sich tahun 1641 itulah yang disebut dengan Wer sein selbst Meister ist und sich behherschen kann, dem ist die weite Welt und alles untertan. Semangat merdeka berdiri sendiri sehingga dapat berkuasa atas dirinya dalam kehidupan dunia yang terhampar luas.

Begitu pula berturut-turut fragmen perubahan nasional seperti peristiwa 1965-1966 yang membawa perubahan dari Orde Lama menjadi Orde Baru dan 1998 yang menutup Orde Baru dengan Reformasi. Inilah gerak sejarah yang tidak dapat dihalangi oleh siapa pun. Kehendaknya tidak lagi ada pada penguasa, tetapi pada orang-orang biasa yang menyatukan diri dalam cita-cita yang sejalan. Hal-hal inilah yang kemudian secara general disebut dengan perubahan. Sesuatu yang oleh Demokritus (460-370 SM) didefinisikan sebagai ‘perubahan dari suatu bentuk ke bentuk yang lain’.

Lantas mengapa ada yang alergi terhadap perubahan? Demokritis pun telah secara gamblang menjelaskan bahwa ‘watak alami tidak akan mengalami perubahan’. Watak alami penguasa tentu menginginkan langgeng dan lestarinya kekuasaan. Seperti yang diungkapkan oleh filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche, bahwa manusia dan alam semesta didorong oleh suatu kekuatan purba, yakni kehendak untuk berkuasa (the will to power).

Dorongan ini, pada realitasnya akan bertabrakan satu dengan yang lain. Bernegara dengan demikian ialah memuarakan dorongan berkuasa pada kesepakatan untuk memberikan hak mengelola kekuasaan pada sekelompok orang yang dipilih. Das sollen kekuasaan ada di tangan rakyat, tetapi das sein kekuasan di tangan sekelompok orang yang secara akumulatif dikelola untuk mereka sendiri.

Dalam hal keharusan dan kenyataan yang bertemu ada dalil perubahan di sana. Setidaknya, ada titik bertemu dari sebuah kesepakatan agar yang kenyataan mendekati yang seharusnya. Titik pertemuan ini sedikit atau besar, sebagian atau seluruhnya merupakan perubahan. Term yang begitu diametral bagi pelanggengan dan keberlanjutan kepentingan-kepentingan penguasa.

Dalam bukunya Homo Deus, Yuval Noah Harari menulis, “Orang-orang biasanya takut akan perubahan karena mereka takut pada hal yang tidak diketahui. Namun, satu-satunya hal yang konstan dalam sejarah ialah bahwa segala sesuatu berubah.”

Apa yang harus diubah? Dalam janji kemerdekaan kita yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 terbentuknya suatu ‘…Pemerintah Negara Indonesia…’ yang salah satunya bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum. Nyatanya saat ini, Maret 2023, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 9,36% dari total populasi Indonesia yang artinya setara dengan 25,90 juta orang. Dengan angka kemiskinan sebesar ini ditambah dengan angka gini rasio 0,381 berarti semakin banyak jumlah rakyat miskin dengan ketimpangan yang semakin melebar.

Di lain pihak, jumlah pengangguran yang mencapai 7,99 juta orang per Februari 2023 merupakan angka yang sangat besar bila dibandingkan saat Februari 2019 yang hanya 6,79 juta orang. Angka pengangguran ini juga semakin buruk dengan ketersediaan lapangan kerja yang tidak memadai. Artinya, sebagian besar lapangan pekerja didominasi oleh sektor informal. Sebanyak 60,23% pekerja bekerja di sektor informal. Banyaknya pekerja di sektor informal ini menjelaskan kenapa pertumbuhan ekonomi di Indonesia stagnan di angka 5%.

Angka-angka ini mengonfirmasi hasil survei Utting Research, yang menyatakan sebanyak 51% responden menilai situasi ekonomi Indonesia saat ini buruk. Ditambah lagi dengan harga-harga kebutuhan pokok yang terus naik.

Bahkan, yang paling mencemaskan ialah kelangkaan bahan-bahan kebutuhan pokok. Setidaknya ada 6 komoditas dari 9 kebutuhan pokok yang pemerintah Indonesia masih mengimpornya, yaitu beras, susu, garam, bawang, daging, dan gula. Kita sebagai bangsa yang kondang dengan negeri yang gemah ripah loh jinawi ternyata harus kebingungan mencari bahan pokok makanan dari negeri lain.

Kondisi-kondisi di atas, secara realitas, harus berhadapan dengan tingginya korupsi. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2023 ini di angka 34 merosot tajam dari tahun 2021 di angka 38. Situasi ini diperburuk oleh penegakan hukum yang tidak adil pada masyarakat bawah, tajam ke bawah tumpul ke atas sehingga kemudian muncul istilah: no viral no justice, penegakan hukum yang dikomando oleh gerakan warga internet.

Dengan kondisi dan situasi yang ada tersebut, apakah masih kita bersandar pada kekeraskepalaan untuk menolak perubahan. Perubahan disingkirkan dari ruang-ruang publik kita karena dianggap sebagai perilaku pesimistis, delusif, dan bahkan destruktif.

Padahal, semangat perubahan ialah semangat memperbaiki, sebuah semangat konstruktif juga mengembalikan nilai-nilai baik pada tempatnya. Kita mengenalnya sebagai semangat restorasi. Rakyat menyandarkan dirinya pada kekayaan pengetahuan dan kuatnya pikiran bahwa perubahan merupakan jalan bagi lestarinya bangunan bangsa dan negara Indonesia.

 

Penutup

Dalam sebuah pertunjukan wayang kulit yang bertajuk Ruwatan Kebangsaan yang digelar di Pantai Parangkusumo, Bantul, D.I. Yogyakarta pada 20 Juli 2023 tembang Gugur Gunung gubahan Ki Anom Suroto didendangkan oleh Anies Rasyid Baswedan, Sugeng Suparwoto, Yati Pesek, dan Dalijo Angkringan. Pesan kuat yang disampaikan dalam tembang itu ialah teriakan holopis kuntul baris, semangat bercancut tali wanda mengerjakan apa yang harus dan bisa dikerjakan secara bersama-sama.

Semangat gugur gunung nyambut gawe, gotong royong bekerja, membangun bangsa. Semangat perubahan ialah semangat membangun bangsa mewujudkan kesejahteraan umum, keadilan sosial, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Perubahan dengan demikian bukan hal yang dapat ditolak, dia berada di tengah-tengah denyut jantung rakyat Indonesia. Semangat yang tumbuh dalam diri para pendiri bangsa juga. Sebagai sebuah denyut yang telah pasang menjadi gelombang, maka perubahan tidak perlu mencari orang atau waktu: datang pada saat dan orang yang tepat. Mengutip Barack Obama, “Change will not come if we wait for some other person or some other time. We are the ones we’ve been waiting for. We are the change that we seek.”



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya