Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Muhammadiyah, Politik Nilai, dan Politik Kekuasaan

Syamsul Arifin Sosiolog Agama dan Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Pengembangan AIK Universitas Muhammadiyah Malang
12/7/2023 05:00
Muhammadiyah, Politik Nilai, dan Politik Kekuasaan
(Dok. Pribadi)

DI tengah hiruk-pikuk kontestasi dan kandidasi jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, nama Muhadjir Effendy muncul ke permukaan sebagai salah satu nama yang dipertimbangkan sebagai calon wakil presiden di antara tiga calon presiden yang bisa dikatakan definitif, yaitu Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan.

Nama Muhadjir Effendy menyeruak ke permukaan meramaikan nama-nama yang lebih sering disebut sebagai bakal calon wakil presiden, antara lain, Agus Harimurti Yudhoyono, Erick Tohir, Muhaimin Iskandar, M Ridwan Kamil, Khofifah Indar Parawansa, Sandiaga Uno, Airlangga, dan Mahfud MD.

Kalangan internal Muhammadiyah merespons positif munculnya nama Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) sebagai bakal calon wakil presiden. Menurut Haidar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, sebagaimana dikutip oleh beberapa media mengatakan bahwa masuknya nama Muhadjir Effendy menghadirkan pilihan sosok yang lebih variatif. Itu mendorong kemunculan figur-figur lain sebagai calon terbaik pemimpin bangsa. Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, berpandangan serupa. Katanya, dengan masuknya Muhadjir Effendy dapat dinilai sebagai respons dari partai politik atas usulan Muhammadiyah agar figur yang bakal bertanding di pilpres bukan orang yang itu-itu saja.

Tidak hanya kalangan pimpinan puncak, level menengah, bahkan hingga level akar rumput menyambut positif munculnya nama Muhadjir Effendy, yang juga salah satu ketua di jajaran PP Muhammadiyah. Muhadjir Effendy memenuhi kapabilitas pada posisi tersebut bila melacak rekam jejak sejak menjadi aktivis di beberapa organisasi pelajar dan mahasiswa; keaktifannya di Muhammadiyah hingga ke level puncak. Pengalaman akademiknya di Universitas Negeri Malang (UM) termasuk ‘sentuhan Midas’ (the touch Midas) terhadap Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang mengantarkannya menjadi menteri.

Namun, dalam politik tidak cukup bila hanya mengandalkan kapabilitas. Yang paling krusial ialah akseptabilitas yang memerlukan modal dalam pengertian seluas-luasnya, dan dukungan dari berbagai pihak baik politik maupun nonpolitik. Di luar masalah krusial tersebut menyeruaknya nama Muhadjir Effendy menjadi suatu fenomena yang menarik di Muhammadiyah untuk ditelaah lebih lanjut tentang area artikulasi politik Muhammadiyah dalam konteks politik makro, lebih-lebih jelang perhelatan politik akbar pada 2024 nanti.

MI/Seno

 

Muhammadiyah dan politik

Terkait relasi dengan politik, Muhammadiyah perlu dipahami dari dua perspektif. Pertama, Muhammadiyah sebagai organisasi. Kedua, Muhammadiyah sebagai fenomena perorangan. Sebagai organisasi, Muhammadiyah bukan perkumpulan politik. Sedari awal pendiriannya, Muhammadiyah mendedikasikan dirinya untuk mewujudkan masyarakat yang berdaya dan sejahtera melalui pendirian berbagai institusi sosial seperti pendidikan, kesehatan, panti asuhan yang bisa diakses oleh masyarakat luas, alih-alih hanya kalangan tertentu.

Kendati bukan perkumpulan politik, Muhammadiyah tidak alergi dan anti terhadap politik. Terbukti, Muhammadiyah bersama NU serta ormas Islam arus utama lainnya menjadi penyokong Masyumi yang berdiri pada 1945. Keterlibatan Muhammadiyah dalam Masyumi merupakan aktualisasi politik akomodatif Muhammadiyah setelah beberapa tahun sebelumnya, yakni pada 1918 Muhammadiyah nyaris terbawa oleh arus logika Agus Salim yang menginginkan Muhammadiyah sebagai organisasi politik.

Agus Salim yang memang dikenal mumpuni dalam agitasi dan retorika, pada akhirnya bisa dipatahkan oleh logika keagamaan Ahmad Dahlan sehingga Muhammadiyah tetap dalam khitahnya sebagai organisasi sosial keagamaan yang ternyata lebih menjamin kebertahanan Muhammadiyah hingga mampu merambah usia abad kedua.

Muhammadiyah kian tidak terbebani dengan urusan politik praktis setelah melepaskan afiliasi politik formal dengan Masyumi pada 1959 sebagai implikasi dari Khittah Palembang 1956 yang dihasilkan oleh muktamar Muhammadiyah di Palembang.

Pergumulan panjang serta melelahkan memberikan pelajaran berharga bagi Muhammadiyah untuk lebih bijak ketika menghadapi tarikan politik praktis pada fase-fase berikutnya, seperti ketika Amien Rais mendirikan PAN pada 1998. Amien Rais yang semula sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah berdasarkan hasil muktamar di Aceh pada 1995, digantikan oleh Ahmad Syafii Maarif. Setelahnya, tidak ada kaitan secara formal antara Muhammadiyah dengan PAN kendati sebagian besar warga Muhammadiyah memberikan sokongan kepada PAN, terutama di awal-awal pendiriannya karena alasan kultural dan moral kepada Amien Rais.

Afiliasi warga Muhammadiyah sebenarnya mencair, tidak hanya kepada PAN, tetapi juga kepada partai-partai lain, bahkan yang tidak tergolong sebagai partai Islam, suatu model afiliasi kosmopolit yang mengingatkan pada Ahmad Dahlan. Dengan begitu, menjadi jelas gambaran khitah Muhammadiyah terhadap politik.

William Shepard, seperti dikutip Haidar Nashir pada pengantar dalam buku Manhaj Gerakan Muhammadiyah: Ideologi, Khittah, dan Langkah, menegaskan karakter Muhammadiyah sebagai gerakan Islamic-Modernism yang lebih menaruh perhatian pada keterwujudan Islamic society, alih-alih Islamic state, yang fokus gerakannya pada bidang pendidikan, kesejahteraan sosial, serta tidak menjadi organisasi politik kendati para anggotanya menyebar dan tersebar di berbagai partai politik.

Dengan cara begitu, Muhammadiyah memiliki banyak kesempatan untuk memperkuat amal usaha yang telah dimilikinya. Bahkan, Muhammadiyah terlihat mulai merambah ke bidang yang dikesankan bukan inti amal usaha Muhammadiyah seperti ditunjukkan dengan diluncurkan hotel setara bintang empat dengan nama Suara Muhammadiyah (SM) Tower baru-baru ini.

Kemampuan Muhammadiyah merambah berbagai jenis amal usaha, pada gilirannya memperluas pula basis sosial Muhammadiyah, bahkan hingga pada kalangan yang disebut memiliki cara berfikir atau state of mind Muhammadiyah kendati tidak dirunjukkan dengan kepemilikan dokumen resmi sebagai anggota Muhammadiyah. Mereka bisa disebut pula sebagai simpatisan Muhammadiyah.

Semua itu, lalu menjadi ‘kekuatan politik’ bagi Muhammadiyah dalam melakoni peran signifikan kendati krusial, yakni sebagai representasi masyarakat madani atau civil society. Sebagai salah satu unsur masyarakat madani, Muhammadiyah memosisikan dirinya sebagai mitra kritis bagi pemerintah. Muhammadiyah akan menyampaikan kritik kepada pemerintah dan advokasi terhadap masyarakat bila ada kebijakan yang tidak sejalan kepentingan publik.

Muhammadiyah menyadari, peran politik secara demikian perlu dukungan secara berlapis dari warga Muhammadiyah. Karena itu, Muhammadiyah memberi ruang artikulasi dan partisipasi kepada warga Muhammadiyah terlibat dalam politik praktis dengan cara menceburkan dirinya dalam partai politik tertentu. Namun, saluran partai dipandang belum cukup. Muhammadiyah juga mendorong kepada para kadernya memanfatkan saluran mobilitas sosial agar bisa berperan di lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Ungkapan sederhananya dan mudah dipahami, bagi Muhammadiyah, kadernya dipersilakan memasuki ‘politik kekuasaan’ karena sebagaimana jamaknya manusia, di antara mereka (kader Muhammadiyah) juga memiliki naluri politik yang melekat pada setiap political animal atau homo politicus jika meminjam ungkapan Aristoteles.

Yang terpenting, ditegaskan oleh Haidar Nashir pada bagian Epilog buku yang ditulis intelektual dan akademisi muda Muhammadiyah, Ridho Al-Hamdi, bertajuk Paradigma Politik Muhammadiyah: Epistemologi Berpikir dan Bertindak Kaum Reformis (2020), aktivitas politik mereka selalu terbingkai oleh politik nilai, atau politik kelas tinggi (high politics) seperti ditulis Amien Rais pada 1987 di Panji Masyarakat. Esensi politik nilai ialah politik yang dibingkai oleh nilai-nilai utama seperti amanah, pertanggungjawaban, keadilan demi terwujudnya kebahagiaan autentik warga.

Politik nilai berlawanan dengan politik kualitas rendah (low politics) yang lebih mengajar kekuasaan (struggle for power) semata kendati diperoleh dengan menghalalkan segala cara. Pada praktiknya, tidak mudah dan pasti menghadapi kerumitan untuk mewujudkan politik nilai dalam realitas politik sehari-hari. Karena itu, tidak jarang di antara mereka yang berada di ruang kekuasaan tidak bisa menghindari praktik culas seperti oligarki dan KKN kendati pada mulanya akrab dengan berbagai simbol keagamaan.

 

Jelang 2024

Politik elektoral, politik kekuasaan, atau apa pun namanya, adalah realitas politik yang tidak bisa dihindari oleh Muhammadiyah. Muhammadiyah harus pandai dan bijak dalam memainkan peran politik di dua level sekaligus: institusional (Muhammadiyah sebagai organisasi) dan personal (Muhammadiyah sebagai entitas dari berbagai anggota Muhammadiyah). Sebagai organisasi, Muhammadiyah menegaskan khitahnya, di samping Khitah Palembang yang dirumuskan pada 1956, juga khitah berikutnya yaitu Khitah Ponorogo (1969), Khitah Ujung Pandang (1971), Khitah Surabaya (1978), dan Khitah Denpasar (2002).

Tentu ada konteks yang melatarbelakangi pada tiap-tiap khitah sehingga terdapat keunikan dan penekanan pada aspek tertentu. Namun demikian, terdapat semangat moral yang sama, yakni Muhammadiyah secara formal keorganisasian tetap netral dan menjaga jarak dengan berbagai institusi kepartaian, tetapi tetap aktif melakoni peran sebagai civil society yang kritis terhadap lebijakan pemerintah.

Sementara itu, terhadap warga atau anggotanya, Muhammadiyah memberikan keleluasaan berafiliasi kepada institusi kepartaian tertentu, serta ikut membuka jalan bagi mobilitas sosial menuju politik kekuasaan. Posisi Muhammadiyah yang demikian disebut netralitas aktif oleh Haidar Nashir. Jelang perhelatan akbar pada 2024, Muhammadiyah tidak boleh gagap atau malu-malu menjalankan peran di bidang politik.

Apa saja yang perlu dilakukan Muhammadiyah? Pertama, Muhammadiyah harus lebih aktif menyuarakan keadaban politik atau politik berkeadaban dengan memanfatkan berbagai media dan forum termasuk platform digital. Aktivitas ini, bisa disebut juga dengan ‘syiar politik berkeadaban’.

Kita perlu belajar dari perpolitikan pada lima tahun sebelumnya (2019), yang kendati pemilu berhasil dilaksanakan, tetapi baru sebatas demokrasi prosedural, bukan demokrasi substansial. Praktik politik kita masih diwarnai dengan politik uang dan instrumentasi terhadap unsur-unsur primordial yang berakibat pada terjadinya pembelahan masyarakat. Dampaknya masih terasa hingga saat ini, bahkan dikhawatirkan menguat kembali.

Muhammadiyah bisa memprioritaskan warganya sebagai sasaran syiar politik berkeadaban. Luarannya (output) adalah warga Muhammadiyah yang di samping baik atau beradab, juga cerdas sebagai warga negara (good and smart citizen). Warga Muhammadiyah tidak mudah terprovokasi dan terbelah dalam menghadap banjir bahkan tsunami informasi terkait politik, terutama di medsos yang potensial menggiring pembacanya kepada post-truth dan pembelahan. Jelang perhelatan akbar 2024, Muhammadiyah perlu mengintensifkan Dialog Ideopolitor (Ideologi, Politik, dan Organisasi) pada semua level dari atas hingga ke bawah agar warga Muhammadiyah memiliki keluasan pengetahuan dan kedewasaan perilaku politik.

Kedua, bagi warga Muhammadiyah yang berafiliasi pada institusi kepartaian tertentu, dan memasuki saluran mobilitas sosial politik kekuasaan, harus dipastikan terbingkai oleh politik nilai. Karena itu penting bagi Muhammadiyah memperkuat dan menyegarkan komitmen mereka kepada politik nilai.

Politisi dan pejabat publik yang berakar dan berasal dari Muhammadiyah harus menampilkan diri sebagai sosok yang memiliki Kepribadian Muhammadiyah. Kepribadian Muhammadiyah, dirumuskan pada 1962 sewaktu Muhammadiyah di bawah kepemimpinan HM Yunus Anis (1959-1962). Muhammadiyah memandang urgen merumuskan Kepribadian Muhammadiyah karena setelah pembubaran Masyumi pada 1960 dikhawatirkan Muhammadiyah terkontaminasi oleh wabah politik praktis, yang dibawa oleh mantan aktivis Masyumi.

Pada Kepribadian Muhammadiyah terdapat sepuluh pernyataan yang sarat nilai, yang sekaligus mempertegas karakter Muhammadiyah yang jika diwujudkan dalam politik ialah politik yang ditujukan kepada terciptanya kesejahteraan, persaudaraan, keadilan, kerja sama dengan pemerintah, tetapi tetap bersikap kritis, kepastian hukum, serta menjamin keberlanjutan NKRI yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945.

Yang ketiga, the last but not least, dalam konteks kontestasi selalu ada pihak yang pada akhirnya mendapatkan dukungan mayoritas, sebaliknya, ada pihak yang harus puas dengan dukungan minoritas. Terkadang muncul ketegangan, yang bahkan berkembang ke arah konflik yang dibumbui kekerasan.

Siapa pun dan kelompok mana pun, yang nantinya menduduki posisi mayoritas atau sebaliknya pada perhelatan politik tahun 2024 harus bisa menjamin harmoni sosial. Dalam konteks ini, syiar politik berkeadaban penting didengungkan secara terus-menerus oleh Muhammadiyah.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya