Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
DALAM beberapa abad terakhir, mobil telah menjadi salah satu moda transportasi yang penting dalam masyarakat modern. Saking pentingnya, ia bahkan telah mengubah persepsi kita tentang lalu lintas, terutama mengenai fungsi jalan. Padahal, selama berabad-abad, jalanan digunakan sebagai tempat untuk beragam aktivitas dan tujuan. Hanya dalam satu abad terakhir, ia telah menjadi ruang bagi lalu lintas untuk dilewati secepat dan seefisien mungkin.
Gagasan ini, menurut Roland Kager, seorang analis data dan peneliti transportasi multimoda dari Belanda, begitu meresap ke alam bawah sadar sehingga telah menjajah pemikiran kita. Di berita, kita sering membaca atau mendengar lalu lintas berangsur-angsur normal setelah terjadi genangan atau sebuah peristiwa kecelakaan. Menurut Kager, yang dimaksud lalu lintas dalam hal ini ialah mobil. Namun, kedengarannya seolah-olah itu berarti kita semua.
Beberapa hari lalu, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo mengungkapkan saat ini Jakarta menduduki posisi ke-29 kota termacet di dunia. Berdasarkan data riset TomTom International yang dirilis pada Februari lalu, indeks kemacetan naik dari peringkat ke-46 pada 2021 menjadi posisi ke-29. Berdasarkan data itu, rata-rata kemacetan di Jakarta disebut mencapai 53%. Berita ini pun bikin heboh netizen. Lantas, apa masalahnya dan apa arti angka kenaikan itu bagi masyarakat keseluruhan?
Menurut Kager, cara kita berbicara tentang lalu lintas membuat mobil jauh lebih penting dalam persepsi kita. Masalah kemacetan, misalnya, dianggap suatu masalah besar, padahal yang mengalami itu ialah minoritas kecil. Betul masalah kemacetan harus segera diatasi, tetapi tujuannya bukan sekadar laju perjalanan para pengguna mobil ini lancar. Penyelesaiannya juga bukan semata dengan penerapan ganjil-genap atau sistem jalan berbayar, tapi mesti menyeluruh.
Kita pun paham dan mahfum akar masalah kemacetan ialah jumlah atau luas ruas jalan yang tidak sebanding dengan jumlah kendaraan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018-2020, rata-rata jumlah kendaraan, baik mobil pribadi, bus, angkutan barang, maupun sepeda motor, meningkat. Solusi utamanya ialah tentu saja mengerem laju produksi kendaraan dan mengubah kesadaran masyarakat untuk beralih menggunakan transportasi umum. Akan tetapi, yang terjadi selama ini pemerintah malah mempermudah kredit kepemilikan kendaraan, sementara layanan transportasi publik seperti kereta api, lambat dibenahi. Penumpukan ribuan penumpang di Stasiun Manggarai yang terjadi saban hari, misalnya, tidak kalah krusialnya untuk segera dicarikan solusi, seperti halnya kemacetan yang terjadi di seputaran Jalan Thamrin, Sudirman, dan Gatot Subroto.
Selama kita masih menjadikan mobil sebagai berhala (sementara di negara-negara produsennya kendaraan ini mulai ditinggalkan), persoalan kemacetan akan sulit diatasi. Solusinya harus seiring sejalan dengan pembenahan angkutan massal serta mengubah persepsi kita tentang jalan sebagai sarana mobilitas dan beraktivitas. Jalan bukan cuma buat laju kendaraan bermotor, melainkan juga berhak digunakan para pesepeda atau mereka yang berjalan kaki. Solusi untuk mengatasi kemacetan juga harus mempertimbangkan para pengguna jalan ini, termasuk dengan menyediakan jalur atau trotoar yang memadai. Begitu juga dengan penyediaan fasilitas transportasi publik yang aman dan nyaman. Selama semua ini tidak dibenahi, jangan pernah berharap kemacetan akan terurai.
Kita mungkin juga perlu meninjau secara fenomenologi dan menata kembali bagaimana mobilitas manusia agar pada akhirnya tidak merugikan, baik secara sosial, ekonomi, maupun ekologi, termasuk dengan meninjau kembali hubungan mesin, alam, dan manusia. Bukankah teknologi sejatinya diciptakan untuk memudahkan kerja manusia, bukan malah menyusahkan? Oleh karena itu, kitalah yang semestinya pintar mengendalikan teknologi, bukan malah sebaliknya.Wassalam.
Contoh lainnya pemimpin yang gagal mengelola urusan beras ialah Yingluck Shinawatra.
Biar bagaimanapun, perang butuh ongkos. Ada biaya untuk beli amunisi dan peralatan tempur.
WAKTU pemungutan suara untuk pemilihan presiden (pilpres) ataupun legislatif (pileg) tinggal menghitung hari
Seperti halnya virus korona, bentuk patologi sosial semacam itu kini juga masih ada dan bergentayangan. Mereka cuma bermutasi menjadi bentuk lain, dari yang kelas teri hingga kakap.
Ditambah dampak fenomena El Nino, bisa dibayangkan bagaimana ‘kerasnya’ hidup di Ibu Kota dalam beberapa hari ke depan.
Pemprov DKI perlu menjelaskan bahwa ERP bukan pajak tambahan, melainkan mekanisme pengelolaan ruang jalan secara adil
GUBERNUR DKI Jakarta Pramono Anung meminta Dinas Bina Marga untuk menertibkan seluruh pembangunan atau proyek galian yang menyebabkan kemacetan di Jakarta.
Deddy menjelaskan bahwa tarif untuk kendaraan yang melintas di jalan yang terpasang ERP seperti di beberapa negara maju, jauh lebih mahal dibandingkan lewat jalan tol.
Polda Metro Jaya mengungkap kemacetan parah yang terjadi di ruas Jalan Gatot Subroto menuju Jalan Jenderal Sudirman pada Rabu (28/5) disebabkan oleh tingginya volume kendaraan.
Integrasi jalan tol eksisting menuju ke Pelabuhan Tanjung Priok dinilai merupakan solusi strategis untuk mengurai kemacetan di kawasan pusat distribusi logistik nasional tersebut.
Kemacetan disebabkan oleh kesalahan perencanaan operasi di salah satu terminal.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved