Selasa 14 Februari 2023, 05:00 WIB

WTO, Mendikte Kedaulatan atau Penyelamat Negara Berkembang?

Syamsul Bahri Siregar Dubes RI untuk WTO Periode 2018-2021 | Opini
WTO, Mendikte Kedaulatan atau Penyelamat Negara Berkembang?

MI/Tiyok
Ilustrasi MI

 

BELAKANGAN ini, banyak pendapat yang menyatakan Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO telah mendikte kebijakan hilirisasi nikel Indonesia. Pandangan ini bergulir sejak Uni Eropa mengajukan protes kepada WTO di 2019 atas kebijakan pembatasan dan larangan ekspor, persyaratan pemrosesan dan kewajiban pemasaran dalam negeri, serta perizinan ekspor nikel.

Hasilnya, pada 30 November 2022 WTO mengeluarkan laporan panel sengketa ini, yang merekomendasikan bahwa kebijakan nikel Indonesia tidak sesuai dan tidak dapat dikecualikan dari Pasal XI:1 WTO yang melarang negara anggota WTO untuk melakukan pembatasan kuantitatif terhadap produk impor atau ekspornya, kecuali dengan mengenakan tarif bea masuk, pajak, atau bea lainnya.

Kita pasti ingat, pemerintah telah meratifikasi persetujuan WTO yang dituangkan dalam UU No 7 Tahun 1994. Itu berarti aturan tersebut telah menjadi hukum positif yang harus dijalankan oleh pemerintah. Dalam lampiran penjelasan UU itu tegas dinyatakan bahwa ‘Manfaat dari keikutsertaan Indonesia dalam persetujuan (GATT/WTO) tersebut pada dasarnya bukan saja memungkinkan terbukanya peluang pasar internasional yang lebih luas, tapi juga menyediakan kerangka perlindungan multilateral yang lebih baik bagi kepentingan nasional dalam perdagangan internasional, khususnya dalam menghadapi mitra dagang’.

Prosedur penyelesaian sengketa di WTO mempunyai mekanisme paling efektif dan terukur yang dimiliki oleh organisasi dunia saat ini. Bagaimana tidak, proses sengketanya diawali dengan diberikannya waktu maksimum 60 hari untuk melakukan konsultasi dengan para pihak agar tercapai kesepakatan bersama. Namun, apabila konsultasi gagal, negara penggugat dapat mengajukan pembentukan panel ke Dewan WTO. Panel harus mengeluarkan laporan dalam 60 hari, yaitu rekomendasi apakah kebijakan yang dilakukan negara tergugat sesuai atau tidak sesuai (in-consistent) dengan ketentuan WTO.

Jumlah para panelis ini minimal terdiri dari 3 orang yang ahli di bidang isu yang dipermasalahkan, dan pembentukannya diputuskan bersama antara negara penggugat dan tergugat bersama sekretariat WTO. Dan, yang terpenting, calon panelis tidak boleh berasal dari negara penggugat atau tergugat sehingga tidak ada konflik kepentingan terhadap kasus yang dibahas, serta bila negara berkembang sebagai pihak yang bersengketa, setidaknya salah satu panelis harus berasal dari negara berkembang.

Karena mekanisme dan prosedur sengketa di WTO dilaksanakan melalui 2 jalur (track), maka apabila negara tergugat menolak rekomendasi panel, negara tersebut diberikan hak untuk mengajukan pembentukan Badan Banding (Appelatte Body). Badan Banding ini juga diberikan tenggat untuk menyelesaikan laporannya dalam waktu 60 hari dengan tugas pokok, dan dibatasi untuk merumuskan pandangan dan keputusan yang kesimpulannya dapat berupa mendukung hasil rekomendasi laporan panel atau membatalkannya. Keputusan Badan Banding ini harus disahkan oleh Badan Penyelesaian Sengketa WTO dalam jangka waktu 30 hari, dan harus diterima tanpa syarat oleh negara yang bersengketa.

 

Kasus sengketa di WTO dan RI periode 1995-2022

Sejak berdirinya WTO pada 1995 sampai Desember 2022, terdapat 615 permintaan konsultasi dalam kerangka penyelesaian sengketa di WTO. Dari jumlah tersebut, lebih dari 367 kasus sengketa dibawa ke pengadilan tingkat I serta lebih dari 183 kasus sengketa dari tingkat I diajukan dan naik banding ke tingkat II.

Indonesia sudah terbiasa menghadapi kasus sengketa dagangnya, baik sebagai negara penggugat maupun sebagai tergugat serta sebagai pihak ke-3, yaitu masing-masing 12 kasus, 15 kasus, dan 47 kasus. Kita bersyukur di forum WTO inilah Indonesia sudah beberapa kali berjaya memenangi perkara perdagangan internasional.

Negara yang diperkarakan Indonesia tidak tanggung-tangung, misalnya Amerika Serikat, Uni Eropa, atau Australia. Apakah ada catatan Indonesia memenangi perkara sengketa internasional di forum selain WTO dengan negara-negara maju dan tidak hanya sekali? Karena itu, sangat tepat apa yang ditegaskan dalam lampiran UU No 7 Tahun 1994, yaitu WTO ‘menyediakan kerangka perlindungan multilateral yang lebih baik bagi kepentingan nasional dalam perdagangan internasional, khususnya dalam menghadapi mitra dagang’.

Beberapa kasus sengketa yang dimenangi oleh Indonesia, seperti pertama kasus USA–Offset Act (Byrd Amendment), yang menggugat kebijakan antidumping yang dilakukan AS. Baik di pengadilan tingkat I dan II, Indonesia dan negara penggugat lainnya memenangi kasus ini.

Kedua, Indonesia menang di pengadilan tingkat I atas kebijakan Australia yang mengenakan bea masuk anti-dumping (BMAD) untuk copy paper A4. Dalam kasus ini, kedua negara sepakat tidak mengajukan ke tingkat Badan Banding (Appellate Body) WTO karena akhirnya Australia menerima rekomendasi panel untuk selanjutnya mencabut kebijakan tersebut.

Ketiga, Indonesia menang atas kasus sampai di tingkat banding atas kebijakan diskriminasi US – Clove Cigarettes (DS406) yang melarang impor produk rokok keretek, sementara rokok mentol tetap diizinkan diimpor di pasar AS. Keempat, Indonesia menang melawan Uni Eropa (DS480 ) dalam kasus pengenaan bea masuk anti-dumping (BMAD) produk biodiesel.

Namun, Indonesia juga beberapa kali digugat dan hasilnya diputuskan kalah, dan diminta untuk menyesuaikan kebijakannya dengan aturan main WTO. Pertama, sengketa aturan impor hortikultura dan produk hewan yang digugat Amerika Serikat dan Selandia Baru atas 18 aturan yang diterapkan dan dinilai sebagai hambatan nontarif (DS477/DS478).

Kedua, sengketa impor bea anti-dumping produk canai dari besi atau baja dengan Vietnam dan Taiwan (DS490 dan DS496). Ketiga, Indonesia sebagai penggugat kalah dalam kasus kemasan rokok berdesain polos yang diterapkan Australia (DS 467).

Banyak sengketa, bahkan yang dilakukan oleh negara maju sekalipun dinyatakan bertentangan dengan Pasal XI:1 GATT 1994 ini, seperti yang disimpulkan oleh Panel Sengketa Nikel Indonesia pada November 2022 yang lalu. Pertama, pelarangan impor produk udang oleh Amerika Serikat bagi negara pengekspor yang tidak memenuhi sertifikasi tertentu (dalam sengketa dagang US-Shrimp). Kedua, sistem harga minimum impor oleh Uni Eropa (EEC–Minimum Import Prices). Ketiga, pembatasan impor dengan melakukan monopoli impor melalui pengoperasian perdagangan negara (Japan–Agricultural Products).

Dengan demikian, ke depan menjadi penting pertanyaan bagaimana kita menyusun sebuah kebijakan nasional yang memang harus dilakukan demi kepentingan nasional, tetapi tidak bertentangan dengan aturan main WTO? Aturan main WTO yang sudah diratifikasi oleh lebih dari 165 negara telah menjadi hukum positif bagi negara anggotanya, dan sengketa di WTO tidak membedakan perlakuan apakah mereka berasal dari kelompok negara maju atau negara berkembang.

Menjadi penting diingat bahwa aturan WTO tegas melarang hambatan kuantitatif impor atau ekspor. Namun, WTO menyediakan pasal pengecualian untuk melakukan kebijakan hambatan impor dan ekspor yang justru aturan pengecualiannya jauh lebih banyak dari pelarangan yang ditentukan di Pasal XI:1 GATT 1994.

Baca Juga

Dok. Pribadi

Melirik Potensi Pendanaan Iklim Berbasis Keuangan Syariah

👤Faizi Ketua Bidang Ekonomi Syariah Indonesian Council of Youth Development (ICYD), Dosen ekonomi syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta. 🕔Sabtu 10 Juni 2023, 05:00 WIB
PENDANAAN iklim merujuk pada pembiayaan lokal, nasional, dan internasional yang dapat mendukung kegiatan mitigasi dan aksi nyata yang...
Ist

Layanan Inseminasi Lebih Hemat di RSIA Sam Marie Basra, Jakarta Timur

👤Media Indonesia 🕔Jumat 09 Juni 2023, 17:22 WIB
 Layanan Inseminasi di RSIA Sam Marie Basra, Jakarta Timur. dengan harga awal Rp 4.891.000 menjadi Rp...
Ist

Antisipasi Potensi Patologi Pemilu 2024

👤Silvany Dianita, M.Psi, Pranata Humas Ahli Muda BPSDM Kemendagri 🕔Jumat 09 Juni 2023, 13:12 WIB
Praktik money politics melibatkan penggunaan uang atau imbalan materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih atau para pengambil...

E-Paper Media Indonesia

Baca E-Paper

Berita Terkini

Selengkapnya

BenihBaik.com

Selengkapnya

MG News

Selengkapnya

Berita Populer

Selengkapnya

Berita Weekend

Selengkapnya