Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Perang Diplomasi Israel-Palestina

Hasibullah Satrawi Pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam
12/1/2023 05:15
Perang Diplomasi Israel-Palestina
(Dok. Medcom.id)

PALESTINA dan Israel kembali menjadi sorotan dunia. Kali ini, bukan karena meletusnya konflik dan perang terbuka antara Israel dan faksi-faksi bersenjata di Palestina, melainkan lebih karena terjadinya ‘perang diplomasi’ yang dimainkan kedua belah pihak.

Perang diplomasi kali ini berawal dari keberhasilan Palestina mendorong Sidang Umum PBB untuk meminta pendapat kepada pengadilan internasional (ICJ) tentang konsekuensi hukum dari aksi pendudukan yang dilakukan Israel terhadap Palestina (30/12/2022). Walaupun pengadilan internasional itu tidak memiliki kekuatan untuk menegakkan putusannya, putusan dari pengadilan ini bersifat mengikat, khususnya bagi dua negara yang bersengketa. ICJ merupakan pengadilan tertinggi PBB yang berbasis di Den Haag, Belanda.

Tampaknya pemerintahan baru Israel yang kembali dipimpin Benjamin Netanyahu (29/12/2022) marah besar atas keberhasilan upaya diplomasi Palestina di tingkat PBB. Walaupun tidak dinyatakan sebagai bentuk protes atas apa yang dilakukan Palestina di PBB, empat hari setelah keputusan Sidang Umum PBB di atas, Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir melakukan kunjungan ke Masjid Al-Aqsa yang dianggap sebagai provokasi oleh banyak pihak. Tidak hanya oleh negara-negara Arab ataupun dunia Islam yang selama ini mendukung upaya kemerdekaan Palestina (termasuk Indonesia), tetapi juga oleh negara-negara yang selama ini selalu membela Israel, khususnya ‘Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Joe Biden dari Partai Demokrat’.

Penulis sengaja memberikan tanda petik untuk istilah ‘AS di bawah kepemimpinan Joe Biden dari Partai Demokrat’ mengingat adanya perbedaan sikap dukungan kepada Israel dari AS ketika dipimpin Partai Demokrat (Joe Biden) dan ketika dipimpin presiden dari Partai Republik (Presiden mutakhir Donald Trump).

Di era kepemimpinan Trump dari Partai Republik, dukungan AS kepada Israel nyaris tak bersyarat, termasuk dukungan memindahkan ibu kota Israel ke Jerusalem. Sementara itu, pada pemerintahan presiden AS dari Demokrat (saat ini dipimpin Joe Biden), dukungan AS acap banyak syarat yang membuat pemerintah Israel tidak terlalu bahagia. Itu termasuk ketika sekarang AS mengkritik keras kunjungan Ben-Gvir ke Masjid Al-Aqsa di Jerusalem.

 

Alih-alih tunduk terhadap tekanan dunia akibat kunjungan Ben-Gvir, Israel justru mengumumkan paket sanksi kepada Palestina yang dianggap memicu perang diplomasi dan hukum melawan Israel. Serangkaian sanksi yang dijatuhkan Israel kepada Palestina, di antaranya pengalihan penggunaan dana Palestina (sekitar US$39 juta) kepada warga Israel yang terdampak dari aksi-aksi serangan yang dilakukan Palestina. Israel juga menyatakan akan menghentikan layanan-layanan istimewa (seperti kemudahan dalam mobilitas maupun transportasi) kepada para tokoh Palestina yang mendukung upaya diplomasi di PBB. Masih ada beberapa sanksi lainnya yang diberlakukan Israel kepada Palestina sebagai akibat dari perang diplomasi itu (Al-jazeera.net, 6/1).

 

Kepanikan akut Israel

Pada tahap tertentu, secara politik, upaya provokasi dan pemberlakuan sanksi oleh Israel kepada Palestina (sebagaimana di atas), menunjukkan kepanikan akut yang saat ini dialami pemerintahan baru Israel. Bila benar demikian, ada beberapa hal yang bisa menjelaskan kenapa Israel sampai mengalami kepanikan seperti itu.

Pertama, keberadaan pemerintahan Israel yang tidak cukup kuat dalam beberapa waktu terakhir. Sebagaimana dimaklumi, pemerintahan Israel saat ini dipimpin Benjamin Netanyahu kembali. Disebut kembali karena sebelumnya Netanyahu sudah pernah memimpin Israel, termasuk sebelum pemerintahan Israel sempat dipimpin Bennett-Lapid secara bergiliran (13/6/2021-29/12/2022). Namun, karena koalisi yang dibentuk Netanyahu ambruk di tengah jalan, pemerintahannya pun tak bisa dilanjutkan. Hingga akhirnya pemerintahan Israel dinahkodai Bennett-Lapid.

Dalam perjalanan selanjutnya, koalisi Lapid gagal memenangi pemilu Israel yang diadakan pada November lalu. Koalisi Netanyahu justru keluar sebagai pemenang. Namun, tidak ada pihak mana pun yang bisa menjamin pemerintahan Netanyahu kali ini akan berlangsung lama, mengingat pemerintahan ini juga hasil dari koalisi partai-partai, khususnya dari kalangan kanan.

Itulah kerapuhan pemerintahan Israel dalam beberapa tahun terakhir yang sejak 2019 telah menggelar lima kali pemilihan umum. Tentu, kelemahan pemerintahan Israel seperti terjadi belakangan hanyalah akibat dari sebuah sebab yang bersifat kompleks. Kerapuhan itulah yang membuat Israel tidak cukup percaya diri seperti sebelumnya. Hingga akhirnya bereaksi cukup keras atas perjuangan diplomasi Palestina di PBB.

Kedua, kepemimpinan Netanyahu yang kali ini didukung koalisi sayap kanan mencoba memanfaatkan perang diplomasi Palestina untuk membentuk soliditas internal (bahkan nasional) yang lebih kukuh. Dikatakan demikian, karena krisis pemerintahan Israel yang berlarut-larut dalam beberapa tahun terakhir bisa berdampak terhadap kepercayaan diri nasional bangsa Israel.

Dalam menghadapi musuh-musuh dari luar Israel sejauh ini berhasil tangguh dan gagah. Namun, apalah gunanya ketangguhan menghadapi musuh dari luar bila Israel justru tidak mampu menghadapi friksi internal yang pada kedalaman tertentu akan menjelma sebagai kerawanan nasional. Oleh karenanya, apa yang dilakukan pemerintahan Israel kali ini bisa dipahami sebagai upaya pembentukan soliditas di tingkat elite dan kekompakan secara nasional di tingkat masyarakat Israel.

Ketiga, Israel mencoba untuk menahan laju citra politiknya agar tidak semakin jatuh di mata dunia. Walaupun ICJ tidak memiliki kekuatan untuk mengimplementasikan keputusannya, keputusan yang ada bisa tetap mencoreng citra Israel yang selama ini hampir identik dengan kekerasan bahkan terkesan melawan hukum. Terlebih lagi, dalam beberapa bulan terakhir Israel terlibat dalam pembunuhan jurnalis Al-Jazeera, Shireen Abu Akleh, yang coba diselesaikan secara kekuasaan daripada secara pengadilan.

 

Momentum

Apa pun alasan yang sebenarnya, sikap panik Israel sebagaimana di atas sejatinya bisa dijadikan sebagai momentum oleh semua pihak (terutama AS dan PBB), untuk menghidupkan kembali solusi dua negara yang bertetangga secara damai, dan mengakui hak-kewajiban masing-masing. Hingga Israel mendapatkan haknya untuk diakui sebagai negara-bangsa yang hidup damai bertetangga dengan Palestina ataupun negara-negara Arab lainnya. Sementara itu, Palestina mendapatkan haknya untuk menjadi sebuah negara yang merdeka.

Kenapa solusi dua negara ini penting? Tak lain karena kedamaian sejati tidak akan didapat dengan mengabaikan hak-hak damai atau membumihanguskan tanah yang justru kerap melahirkan kekerasan dan ancaman. Perdamaian sejati justru berada pada perwujudan hak damai dan hak merdeka sebagai dua negara tetangga. Itulah semangat utama dari solusi dua negara.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya