Headline
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.
KELANJUTAN pengusutan Tragedi Kanjuruhan Malang semakin memunculkan temuan yang berkelindan dengan pembelaan dari pihak-pihak terkait. Kondisi tersebut pada satu sisi memunculkan harapan publik agar tragedi ini dapat diusut tuntas sehingga memperoleh gambaran yang komprehensif. Di sisi lain, kondisi ini juga memiliki potensi pembelokan spektrum sorotan publik terhadap tragedi yang terjadi.
Kelindan temuan-pembelaan itu misalnya, dalam hal penggunaan dan dampak penembakan gas air mata oleh aparat keamanan. Kadiv Humas Polri dalam konferensi persnya (10/10), berdasarkan penjelasan para ahli dan spesialis yang menangani korban yang meninggal dunia maupun korban-korban yang luka, menjelaskan bahwa kematian para korban Tragedi Kanjuruhan bukan karena gas air mata, melainkan karena kekurangan oksigen. Analisis para dokter menyebut, para penonton kekurangan oksigen karena berdesak-desakan saat hendak keluar stadion, kemudian terinjak-injak hingga bertumpuk.
Sementara itu, temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), bahwa massa suporter di Stadion Kanjuruhan sebenarnya sudah terkendali saat tragedi 1 Oktober 2022 terjadi. Namun, pemicu utama peristiwa yang menewaskan ratusan nyawa itu disebabkan oleh tembakan gas air mata yang dilepaskan oleh aparat kepolisian yang berjaga di stadion tersebut.
Begitu pun disampaikan salah seorang anggota Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF), bahwa banyak penonton yang terimpit dan kehilangan nyawa di Pintu 13 Stadion Kanjuruhan, lantaran berhamburan hendak keluar dari stadion akibat terkena gas air mata. Dalam keterangannya, dijelaskan, meskipun pintu 13 dalam kondisi terbuka, itu sangat kecil. Dengan keterbatasan itu, akhirnya, penonton yang panik saling berdesakan, jatuh, pingsan, bahkan hingga meninggal dunia.
Kesimpulan melompat
Dengan merujuk pada penjelasan yang disampaikan Komnas HAM dan TGIPF, kemudian membandingkannya dengan penjelasan Polri, maka secara sederhana dapat dipahami, terdapat ketidakrunutan logika dalam penjelasan Polri. Polri, berdasarkan keterangan para ahli dan spesialis, menjelaskan bahwa kematian para korban Tragedi Kanjuruhan bukan karena gas air mata, melainkan karena kekurangan oksigen. Jika keterangannya hanya sepotong demikian, tentu terlihat seakan logis. Namun, dengan persoalan yang cukup sederhana, serta banyaknya video kejadian yang telah berseliweran, konstruksi penjelasan ini seakan meremehkan logika yang juga dimiliki publik.
Dengan konstruksi logika semacam itu, akan banyak kasus yang menjadi cacat logika. Sebab, logika yang dibangun seakan meletakkan ‘asap muncul dengan sendirinya’. Padahal, terdapat api yang menyebabkan asap itu muncul, serta ada sesuatu yang terbakar. Jika kita runut pertanyaan-jawaban sederhana terkait penjelasan Polri, ruang lingkup kejadian hanya sesempit: apa yang menyebabkan kematian ratusan suporter dalam tragedi Kanjuruhan? Jawabannya karena kekurangan oksigen.
Penjelasan Komnas HAM dan TGIPF-lah, yang kemudian mengisi kepingan puzzle yang tidak terdapat dalam penjelasan Polri, yakni gas air mata yang menjadi pemicu utama banyaknya korban jiwa. Dampak gas air mata itulah, yang kemudian menegakkan konstruksi logika tragedi ini. Dengan menggunakan kelengkapan puzzle ini, akan ada pertanyaan mendasar yang menjadi pondasinya, yakni apa yang menyebabkan penonton kekurangan oksigen, panik, hingga berdesakan? Jawabannya karena tembakan dan dampak gas air mata. Sejumlah penyitas Tragedi Kanjuruhan juga telah menyampaikan pengalamannya terkait dampak gas air mata tersebut sehingga mau tidak mau suporter memang harus menyelamatkan diri dari kepungan gas air mata itu.
Dengan demikian, susunan puzzle akan terlihat dengan narasi penggunaan dan penembakan gas air mata menyebabkan suporter kekurangan oksigen sehingga mereka panik, berdesakan, jatuh, dan pingsan dalam upayanya mencari jalan ke luar. Dengan kondisi demikian, ditambah beberapa pintu stadion yang terkunci ataupun terbuka kecil, menyebabkan korban jiwa. Jika tidak terdapat penembakan gas air mata, tetapi hanya pengamanan biasa, suporter tidak akan panik dan kekurangan oksigen. Ceritanya tentu akan berbeda.
Fokus pada evaluasi
Lebih baik, kepolisian fokus pada pengusutan menyeluruh terkait tragedi ini, termasuk dalam hal penggunaan gas air mata, hingga evaluasi komprehensif mengenai prosedur pengendalian massa dan tata kelola keamanan oleh panitia penyelenggara dan aparat. Pembelaan-pembelaan sebagaimana dibahas sebelumnya, hanya akan memicu kegerahan publik yang akan mempertanyakan komitmen kepolisian dalam mengusut ini semua. Kapabilitas aparatur keamanan, dalam penanganan isu keamanan dan penanganan massa di stadion pada Tragedi Kanjuruhan benar-benar dipertanyakan.
Terlebih, terdapat larangan penggunaan gas air mata tertuang dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulations. Pada pasal 19 b) tertulis, No firearms or ‘crowd control gas’ shall be carried or used. Menurut aturan ini, senjata api atau gas untuk mengontrol kerumunan dilarang dibawa dan digunakan
SETARA Institute dalam siaran persnya (02/10) menjelaskan bahwa penembakan gas air juga memperlihatkan lemahnya pemahaman situasi dan kondisi oleh aparat. Pertimbangan kuantitas penonton, keberadaan perempuan dan anak-anak, variasi usia penonton, hingga terbatas dan/atau sulitnya akses ke luar tribun penonton/stadion diduga nihil dalam pengambilan tindakan itu. Akibatnya, banyak penonton yang berdesakan ke luar, sesak napas, pingsan, serta terinjak-injak untuk mencari jalan ke luar.
Selain itu, atas kejadian ini, pemerintah seharusnya juga berfokus untuk melakukan evaluasi holistik dan komprehensif atas prosedur pengamanan dalam penyelenggaraan sepakbola di Indonesia, bukan malah mencemaskan sanksi FIFA. Berulangnya tragedi kemanusiaan dalam sepakbola nasional, dengan puncak terkelam Tragedi Kanjuruhan, merupakan peringatan sangat keras kepada pemerintah agar peristiwa serupa tidak terulang. Tragedi ini tentu sangat tidak diharapkan. Mengingat, seharusnya sepakbola bukan hanya sebagai cabang olahraga, tetapi lebih dari itu merupakan instrumen kohesi sosial dan pemersatu bangsa.
ABSENNYA klub-klub besar seperti Liverpool, Barcelona, dan Napoli di Piala Dunia Antarklub 2025 menimbulkan tanda tanya di kalangan penggemar sepak bola.
Inter Milan berupaya menghapuskan luka di musim lalu melalui ajang Piala Dunia Antarklub 2025. Digadang-gadang bakal meraih treble, ternyata tidak ada satupun piala yang bisa direngkuh
Real Madrid berupaya menegaskan dominasi mereka di panggung Piala Dunia Antarklub. Klub asal Spanyol itu telah menjuarai dua dari lima edisi terakhir turnamen itu.
Piala Dunia Antarklub digelar pada 14 Juni hingga 13 Juli 2025 di Amerika Serikat. Kompetisi itu digelar dalam format baru yang dirancang FIFA.
Piala Dunia 2026 akan menjadi turnamen perdana yang diselenggarakan di tiga negara.
TIMNAS Indonesia menorehkan lonjakan signifikan di peringkat FIFA usai meraih kemenangan penting atas Tiongkok pada lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2026. Posisi tim Garuda naik enam tangga.
Paling penting adalah bagaimana tindak lanjut dari KPK atas laporan dugaan mark-up pengadaan gas air mata tersebut.
POLRI merespons laporan dugaan mark up pengadaan gas air mata ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
PN-SSI Jawa Timur kemudian mengajak Ultras Gresik untuk bersilaturahmi dengan Kapolres Gresik Adhitya Panji Anom. Silaturahmi itu untuk membahas langkah-langkah strategis paska insiden
Sedikitnya 324 siswa di SDN 24 Galang dan 354 siswa SMPN 22 Kota Batam di Pulau Rempang yang terkena dampak kericuhan Rempang Eco City akan mendapatkan trauma healing
Pengerahan aparat untuk mengawal pematokan tanah dilakukan secara berlebihan karena skalanya sangat besar.
gas air mata dapat saja dalam bentuk chloroacetophenone (CN), chlorobenzylidenemalononitrile (CS), chloropicrin (PS), bromobenzylcyanide (CA) dan dibenzoxazepine (CR).
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved