Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Menekan Inflasi di Daerah

Moh Ilham A Hamudy Kepala Bidang Perpustakaan Setjen Kemendagri, Kepala Bidang Ekonomi Daerah Pusat Litbang Pembangunan dan Keuangan Daerah BPP Kemendagri
01/9/2022 05:00
Menekan Inflasi di Daerah
Ilustrasi MI(MI/Seno)

INFLASI, adalah peningkatan harga secara umum yang berlangsung terus-menerus. Salah satu hal yang tidak dapat dihindarkan dari inflasi ialah nilai mata uang yang menurun dari tahun ke tahun atau dalam periode waktu tertentu. Bagi masyarakat yang penghasilannya tetap atau tidak meningkat dari tahun ke tahun, inflasi akan membuatnya rugi. Alasannya, total pendapatan yang tetap itu, jika ditukarkan dengan barang dan jasa, hasil yang didapatnya akan lebih sedikit.

Keadaan itulah yang terjadi di negeri ini pada beberapa bulan terakhir. Data Bank Indonesia menunjukkan tingkat inflasi di Indonesia per Juli 2022 mencapai 4,94%, angka itu melebihi batas atas sasaran 3% plus minus 1%. Pada beberapa daerah, inflasi bahkan melejit hingga di atas 8%, seperti Jambi dengan realisasi inflasi 8,55%, Sumatra Barat 8,01%, sedangkan Bangka Belitung 7,7%, Riau 7,04%, dan Aceh 6,97%.

Penyebabnya ialah tingginya inflasi kelompok pangan yang bergejolak mencapai 11,47%, melampaui proyeksi 5%-6%, utamanya beberapa komoditas hortikultura seperti cabai merah, bawang merah, dan cabai rawit. Ketiga komoditas itu menyumbang inflasi karena ada gangguan pasokan di sentra produksi akibat cuaca. Penyumbang kedua, ialah komponen harga yang diatur pemerintah. Penyebab utamanya ialah kenaikan tarif angkutan udara, bahan bakar rumah tangga, rokok kretek filter, dan peningkatan tarif listrik 3.500 VA. Penyumbang ketiga ialah komponen inti. Komoditas pendorongnya ialah ikan segar, mobil, dan sewa rumah.

Kendati begitu, nasib baik inflasi hampir 5% itu tidak melonjak lebih tinggi karena masih didukung alokasi subsidi dan kompensasi yang diberikan pemerintah. Pemerintah masih memilih opsi tidak menaikkan harga BBM, listrik, dan elpiji, di tengah krisis energi yang dihadapi dunia. Pemerintah masih memberikan subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp502,4 triliun untuk menahan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Akan tetapi, sampai kapan APBN bisa menahan laju inflasi itu dengan sumbangan triliunan rupiah? Terlebih, dalam beberapa waktu ke depan pemerintah berencana menaikkan harga BBM.

 

Anggaran tidak terduga

Pada konteks ini, kiranya tepat arahan Presiden Jokowi beberapa waktu lalu, yang memerintahkan para kepala daerah (gubernur, wali kota, dan bupati) untuk bekerja keras bersama Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) mengendalikan inflasi di daerah. Presiden Jokowi juga mengarahkan agar anggaran (belanja) tidak terduga bisa dimanfaatkan tiap kepala daerah, guna menutup biaya transportasi bagi komoditas pokok yang jadi konsumsi masyarakat.

Anggaran tidak terduga ini ialah anggaran yang dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), untuk keadaan darurat. Termasuk, keperluan mendesak serta pengembalian atas kelebihan pembayaran atas penerimaan daerah tahun-tahun sebelumnya. Dalam keadaan darurat, pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya. Termasuk, belanja untuk keperluan mendesak yang kriterianya ditetapkan dalam peraturan daerah tentang APBD yang bersangkutan.

Caranya, pergeseran anggaran dapat dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan perubahan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD. Selain itu, pemerintah daerah memberitahukan kepada pimpinan DPRD, untuk selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD dan/atau disampaikan dalam laporan realisasi anggaran bagi pemerintah daerah yang tidak melakukan perubahan APBD.

Merujuk Pasal 69 ayat (2) PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri Nomot 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah, sejumlah kriteria pengeluaran tersebut misalnya, untuk keadaan darurat seperti bencana alam, bencana nonalam, bencana sosial, dan/atau kejadian luar biasa.

Kriteria lainnya ialah adanya keperluan mendesak seperti pengeluaran daerah yang berada di luar kendali pemerintah daerah, seperti inflasi dan tidak dapat diprediksikan sebelumnya, serta amanat peraturan perundang-undangan. Kemudian, pengeluaran daerah lainnya, yang apabila ditunda akan menimbulkan kerugian yang lebih besar bagi pemerintah daerah dan/atau masyarakat.

Dalam konteks pengendalian inflasi, kepala daerah selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dapat mengalokasikan APBD baik untuk membiayai program, kegiatan, maupun subkegiatan pada perangkat daerah sesuai dengan tugas dan fungsi. Berkaitan dengan itu, jika dana untuk pengendalian inflasi di APBD belum ada atau tidak cukup tersedia, dapat dianggarkan, dengan melakukan mekanisme pergeseran anggaran dari belanja tidak terduga kepada program pengendalian inflasi.

 

Kerja sama antardaerah

Namun, di atas semua itu, upaya pengendalian inflasi volatile food yang utama ialah dengan meningkatkan kerja sama antardaerah, baik antarpemerintah provinsi maupun dengan pemerintah kabupaten/kota guna mengurangi disparitas pasokan dan harga antarwilayah. Memang, sejauh ini kerja sama antardaerah sebenarnya telah dilaksanakan, baik antarkabupaten/kota maupun antarprovinsi. Namun demikian, kerja sama tersebut dilakukan pihak swasta (pedagang) sehingga tidak terlalu efektif dalam menjaga stabilitas harga.

Pasalnya, pedagang lebih mementingkan kebutuhan mitra dagangnya dari pada daerahnya sendiri sehingga sering kali mendorong tingginya harga di daerah sentra produsen. Oleh karena itulah, peran serta pemerintah daerah (terutama Dinas Perindustrian dan Perdagangan) sebagai fasilitator dalam mewujudkan kerja sama ini diperlukan.

Selain itu, pemerintah daerah juga bisa membuat TPID tematik, misalnya untuk mengendalikan stok beras, bawang putih, cabai merah, dan lainnya. Yang penting, upaya pengendalian inflasi yang dilakukan TPID jangan sampai membuat para petani justru menjadi tidak sejahtera. Petani harus tetap memperoleh harga yang baik untuk komoditas pertanian yang mereka panen. Kesejahteraan petani juga wajib diperhatikan dan tidak lupa pemerintah daerah memberikan nilai tambah bagi perekonomian. Jangan sampai inflasi terjaga, tetapi petani justru tambah miskin.

Terkait dengan hal ini, ada contoh yang patut ditiru pemerintah daerah lainnya di Indonesia, seperti yang dilakukan Jawa Tengah. Meski produksi pangan di sana selalu melimpah, fluktuasi harga tetap terus dijaga agar inflasi bisa terkendali. Contoh yang bisa dipetik ialah inovasi kartu tani yang diinisiasi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Dengan kartu tani, luasan lahan petani, komoditas pertanian, hingga prediksi waktu panen dapat dipantau melalui data yang diinput pada kartu tersebut. Data itu bermanfaat untuk mendukung kerja sama perdagangan komoditas pertanian antardaerah.

Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pun menciptakan perdagangan elektronik (e-commerce) komoditas pertanian. Perdagangan elektronik itu, setidaknya bisa menghapus keberadaan middle man yang merugikan petani sehingga petani dapat menikmati harga jual komoditasnya lebih tinggi. Dengan begitu, TPID tiap-tiap daerah dan BUMD dapat bekerja sama dalam bidang perdagangan komoditas pertanian. Kerja sama itu dapat berjalan sukses apabila didasarkan data komoditas pertanian yang tepat.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya