Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Berlebihankah Amerika Serikat Anggap Pedulilindungi Langgar HAM?

Eko Suprihatno, Editor Media Indonesia
22/4/2022 09:22

Bukan Amerika Serikat kalau enggak menilai semua negara di dunia. Juga bukan Amerika Serikat kalau tak melihat banyak hal harus sesuai persepektif mereka. Jangan heran kalau kemudian ukuran demokrasi, hak asasi manusia, atau lain sebagainya kemudian dinilai melanggar. Karena ya itu tadi, parameternya mereka yang menentukan.

Yang terbaru adalah negeri Uncle Sam ini menyoroti praktik hak asasi manusia di 198 negara, termasuk Indonesia. Sejumlah catatan mereka lansir, mulai penggunaan aplikasi pedulilindungi hingga sepak terjang buzzer. Laporan pelaksanaan HAM di Indonesia bertajuk Indonesia 2021 Human Rights Report itu dibeberkan di laman Kementerian Luar Negeri AS pada Jumat 15 April 2022.

Baca juga: Abaikan Saja Celoteh Amerika

Beberapa yang mereka sorot terkait gangguan sewenang-wenang atau melanggar hukum terkait dengan privasi, ada pula soal sejumlah dugaan pembunuhan di luar proses hukum yang tak diusut oleh aparat, dan adanya kelompok bayaran pasukan siber atau yang biasa disebut buzzer.

Tidak ketinggalan pula, seperti biasa, catatan pelaksanaan HAM tersebut didasarkan pada laporan dari sejumlah pihak, utamanya lembaga swadaya masyarakat, di Indonesia. Demikian halnya dengan pedulilindungi yang mereka nilai masuk gangguan sewenang-wenang atau melanggar hukum terkait privasi.

Baca juga: Puan: Pemerintah Harus Buktikan PeduliLindungi Tak Langgar Privasi

Padahal aplikasi pedulilindungi itu juga mirip dengan yang dipakai sejumlah negara. Singapura menanamakan sebagai trace together (www.tracetogether.gov.sg), Tiongkok dengan The Alipay Health Code, India dengan Aarogya Setu (www.aarogyasetu.gov.in), dan Australia bernama Covidsafe (www.covidsafe.gov.au)

Sebetulnya bukan kali ini saja AS menilai rumah tangga orang lain. Mereka seperti menjadi negara yang paling berhak memberi angka merah atau biru kepada negara yang tidak sejalan dengan parameter yang mereka ciptakan sendiri.  

Mereka masih saja merasa sebagai negara adikuasa yang boleh memberikan penilaian terhadap HAM negara lain, penilaian yang tentu saja sesuai perspektif mereka, kehendak mereka, dan demi kepentingan mereka. Amerika masih saja merasa menjadi polisi dunia. Mereka merasa punya hak mengatakan HAM di negara A baik, atau di negara B buruk. Mereka enteng saja menyebut Indonesia berpotensi melanggar HAM dalam penggunaan pedulilindungi, dan itu jelas terlalu gegabah.

Aplikasi pedulilindungi menyimpan informasi tentang status vaksinasi, bahkan dikatakan organisasi masyarakat sipil mengkhawatirkan tentang privasi data penduduk. Lsm menyatakan keprihatinan tentang informasi yang dikumpulkan aplikasi, penyimpangan data, dan digunakan oleh pemerintah.

Baca juga: Komnas HAM Tegaskan PeduliLindungi Tak Langgar HAM

Celakanya, mereka memberikan penilaian berdasarkan laporan dari segelintir warga yang bernaung di bawah NGO atau non-governmental organisation, yang populer disebut sebagai lembaga swadaya masyarakat. Enggak aneh juga kalau ada LSM yang memberikan penilaian buruk, tapi tidak berlebihan juga bila ada LSM yang memberi nilai bagus.

Tapi ketika urusan rumah tangga sendiri kemudian dinilai, dan hasil penilaian itu sengaja dilaporkan ke Amerika Serikat atau kemudian dipublikasikan melalui berbagai platform media dengan nada negatif, jelas saja orang lain lebih percaya.

Kalau mengutip accurate.id, NGO adalah suatu organisasi nirlaba yang memiliki dasar kepentingan sosial dan juga lingkungan. NGO ini bergerak secara independen tanpa adanya campur tangan pemerintah pusat ataupun daerah. Hal itu bisa diartikan bahwa pemerintah tak bisa mendikte aktivitas mereka. Jadi kalau kemudian pemerintah Amerika Serikat menjadikan laporan NGO itu untuk menilai Indonesia, ya memang begitulah faktanya.

Rasanya kita tak pernah tahu NGO apa yang rajin mengirimkan laporan ke negeri paman sam tersebut. Karena Department of State AS tak pernah menyebut sumber secara jelas, mereka cuma mengatakan berdasarkan laporan NGO.

Perlukah kita marah atau reaktif dengan laporan dari Amerika tersebut? Rasanya sih enggak perlulah. Karena pikiran positifnya adalah itu sebagai koreksi terhadap apa yang sudah dilakukan di dalam negeri. Normal-normal sajalah kita dalam menanggapinya. Sudah benar apa yang dikatakan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD bahwa aplikasi pedulilindungi untuk menangani covid-19 dengan sebaik-baiknya.

Mungkin dianggap melanggar HAM karena orang yang terpantau covid-19 melalui aplikasi ini selalu diketahui, bahwa dia dilarang mengunjungi suatu tempat, dan berdekatan dengan orang lain, mungkin itu yang dianggap pelanggaran HAM.

Pembatasan mobilisasi masyarakat melalui aplikasi pedulilindungi merupakan cara pemerintah Indonesia menangani covid-19. Cara tersebut dinilai efektif dan mendapatkan pengakuan dari dunia internasional yang menempatkan Indonesia sebagai negara terbaik di asia dalam penanganan covid-19. Mahfud terang-terangan menyebut justru Amerika Serikat yang paling berada di barisan paling bawah dalam masalah penanganan covid-19.

Hampir semua pejabat tinggi negara sepakat dengan Mahfud. Bahkan dari kalangan DPR meminta Amerika Serikat harus belajar soal ini kepada Indonesia. Terlebih aplikasi tersebut banyak manfaatnya dan lebih banyak manfaat dibanding mudaratnya.

Dengan kata lain, tuduhan Amerika Serikat tidaklah berdasar. Kita tidak perlu menggubris, tidak perlu pula bangsa ini merespons berlebihan. Dunia sudah paham seperti apa wajah Amerika Serikat dalam persoalan HAM. Mereka tak jarang bermuka dua. Contoh terkini, mereka begitu garang menyikapi invasi Rusia ke Ukraina, tetapi terlalu lembut menanggapi serbuan Israel ke Masjid Al-Aqsa, yang menyebabkan tak kurang dari 150 warga Palestina terluka.

Jadi, biarkan Amerika Serikat asyik dengan celotehnya sendiri. Pedulilindungi terbukti berkontribusi pada rendahnya penularan covid-19 di Indonesia ketimbang negara tetangga, dan bahkan negara maju.

Dan seperti pepatah, gajah di pelupuk mata tidak terlihat, sepertinya tepat. Bagaimana tidak. Aplikasi-aplikasi di gawai banyak yang tidak sekadar meminta data, melainkan membuat warga terpaksa memberikan akses seperti galeri foto, nomor kontak, dan lokasi pengguna kepada pengembang aplikasi tersebut. Kenapa terpaksa? Karena, kalau tidak memberikan akses, pengguna gawai tidak bisa menggunakan aplikasi tersebut.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya