Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
KEBERAGAMAN ialah keniscayaan. Keberagaman menjadi sumber untuk belajar karena kita akan menemukan berbagai cara dan ide baru untuk merespons suatu keadaan. Sayangnya, keberagaman kadang juga menjadi sumber masalah ketika mereka yang berbeda tidak mampu menghargai keberagaman dan malah menggunakannya untuk mempertajam perbedaan. Menjadi lebih runyam ketika pihak yang memiliki kuasa lebih besar menggunakan kuasa mereka untuk menekan bahkan melenyapkan keberagaman karena menganggap mereka yang paling benar atau paling baik. Salah satu keberagaman yang kadang digunakan untuk mempertajam perbedaan ialah ras dan etnik.
Ras dan etnik kadang dibedakan. Ras dikaitkan dengan penanda fisik seseorang, seperti warna kulit. Etnik dikaitkan pada hal-hal yang berkaitan dengan budaya, seperti bahasa, tradisi, nilai, termasuk juga agama. Dalam studi ras dan etnik, keduanya bersinggungan dan bahkan tumpang tindih sehingga tidak mudah untuk memisahkannya (Rivas-Drake dan Umana-Taylor, 2019).
Ras dan etnik di Indonesia
Indonesia dipenuhi keberagaman, terutama keberagaman ras dan etnik. Namun, apakah masyarakat Indonesia benar-benar sudah menghormati dan merayakan keberagaman ras dan etnik atau apakah masyarakat Indonesia menganggap keberagaman ras dan etnik sekadar aksesori untuk dibanggakan dan belum menganggapnya sebagai keniscayaan? Pertanyaan itu muncul karena pada kenyataannya di Indonesia masih banyak prasangka, kebencian, dan praktik diskriminatif didasarkan pada ras dan etnik.
Tindak kekerasan yang menggunakan identitas ras dan etnik di Indonesia masih banyak terjadi. Stereotip berbasis ras dan etnik sering digunakan sebagai lelucon dan terkadang berkontribusi dalam pembentukan pandangan terhadap orang-orang yang berasal dari ras dan etnik berbeda dan pada akhirnya memengaruhi cara berinteraksi dengan mereka. Pengalaman mahasiswa Papua, misalnya, mengalami kekerasan fisik dan verbal berkaitan dengan ras dan etnik dilakukan sekelompok masyarakat non-Papua dan aparat keamanan pada 2016 di Yogyakarta dan Surabaya pada 2019.
Kekerasan berbasis ras dan etnik juga terjadi di lingkungan sekolah. Salah satu kasus terjadi pada 2017, ketika siswa sekolah dasar di Jakarta diduga mendapat perundungan dari teman sekolahnya karena alasan perbedaan ras dan etnik. Akibatnya. siswa bersangkutan tidak mau bersekolah dan memilih pindah ke sekolah lain (Media Indonesia, 2017).
Memperkuat sekolah
Berbagai tindak kekerasan berbasis ras dan etnik, seperti perundungan, merupakan hasil belajar. Konstruksi terhadap mereka yang berbeda tidak serta-merta muncul di pikiran seseorang, terutama anak-anak. Mereka melakukan perilaku rasial karena mereka melihat dan mencontoh apa yang dilakukan anggota masyarakat lain di sekeliling mereka. Odenbring dan Johansson (2021) dan Miller (2015) menyatakan, untuk memahami bagaimana anak-anak bereaksi terhadap perbedaan ras dan etnik, kita perlu memahami struktur sosial yang ada di masyarakat, terutama relasi kelompok mayoritas dan minoritas. Struktur sosial di masyarakat menjadi pembentuk identitas anak-anak yang kemudian memengaruhi bagaimana mereka memosisikan diri, melihat orang lain yang berbeda ras dan etnik, dan bagaimana cara berinteraksi dengan orang yang berbeda ras dan etnik (Odenbring dan Johansson, 2021).
Sekolah menjadi salah satu tempat yang ikut bertanggung jawab terhadap konstruksi masyarakat, terutama warga sekolah, terhadap keberagaman. Sekolah yang abai pada topik keberagaman dan hanya berfokus pada pencapaian akademik siswa amat mungkin akan gagal dalam membentuk warga sekolah yang mampu menghormati dan merayakan keberagaman. Sikap abai itu salah satunya bisa diindikasikan dari pemahaman bahwa tanggung jawab untuk mengajarkan nilai penghormatan atas keberagaman hanya dibebankan kepada guru mata pelajaran tertentu, seperti kewarganegaraan dan agama. Sekolah belum mampu melihat keterkaitan nilai penghormatan atas keberagaman dengan mata pelajaran lain, seperti fisika dan kimia.
Jika sekolah ingin secara serius menangani topik keberagaman, setidaknya ada empat hal yang bisa dilakukan sekolah untuk berperan aktif melawan kekerasan berbasis ras dan etnik. Pertama, budaya sekolah menjadi landasan utama sekolah untuk membentuk karakter warga sekolah yang menghormati dan merayakan keberagaman ras dan etnik. Dengan memperhatikan situasi masyarakat tempat sekolah berada, sekolah bisa menetapkan nilai, perilaku, dan kebiasaan apa saja yang ingin ditanamkan kepada warga sekolah sehingga mereka menghidupi penghormatan dan perayaan keberagaman ras dan etnik.
Sebagai contoh, sekolah melakukan kegiatan festival kebudayaan yang melibatkan seluruh warga sekolah dan warga luar sekolah. Di festival tersebut, warga sekolah juga diajak mendiskusikan lebih lanjut pengalaman hidup mereka yang berbeda ras dan etnik sehingga mampu memunculkan rasa empati dan solidaritas terhadap mereka.
Kedua, sekolah perlu memiliki peraturan yang melindungi warga sekolah yang rentan terhadap perilaku diskriminatif, termasuk yang disebabkan alasan ras dan etnik. Peraturan itu disosialisasikan kepada seluruh warga sekolah dan ditegakkan secara serius sehingga warga sekolah paham bahwa mereka tidak boleh menganggap remeh masalah keberagaman. Tindak kekerasan berbasis ras dan etnik berdampak pada berbagai aspek pada diri korban.
Dampak tersebut bisa terlihat pada fisik, ketika korban mendapat tindak kekerasan secara fisik, tetapi bisa juga berdampak pada kesehatan mental dan pencapaian akademik korban. Selain itu, dampak yang dirasakan korban bisa jadi tidak hanya berlangsung sebentar, tetapi berlangsung lama dan memengaruhi konstruksi diri korban. Oleh karena itu, sekolah yang peduli pada masa depan siswa mereka secara utuh perlu memastikan adanya peraturan sekolah untuk merespons topik itu.
Ketiga, eksposur terhadap nilai antidiskriminasi ras dan etnik dan menjunjung penghormatan atas perbedaan ras dan etnik dilakukan melalui integrasi dalam semua mata pelajaran. Semua guru, apa pun mata pelajaran yang mereka ampu, wajib mendapat pemahaman yang mendalam untuk topik keberagaman ras dan etnik dan wajib untuk mengintegrasikan topik tersebut dalam mata pelajaran yang mereka ampu. Sebagai contoh, guru matematika yang ingin mengajarkan materi mean, median, dan modus mengajak siswanya mengunjungi tempat ibadah agama-agama yang berbeda untuk mengumpulkan data orang yang beribadah. Kunjungan tersebut tidak hanya digunakan untuk mengumpulkan data untuk belajar matematika, tetapi juga digunakan untuk mengekspos siswa pada keberagaman dan mendiskusikannya.
Terakhir, sekolah perlu melakukan advokasi antikekerasan berbasis ras dan etnik ke luar lingkungan sekolah. Sekolah tidak bisa bergerak sendiri dan perlu berkolaborasi dengan berbagai elemen di luar sekolah untuk memastikan usaha untuk menghormati dan merayakan keberagaman ras dan etnik dilakukan di berbagai ruang di masyarakat. Pada akhirnya, eksposur terhadap nilai penghormatan atas keberagaman ras dan etnik didapatkan tiap orang, termasuk warga sekolah, di mana pun mereka berada.
Tepat di atas papan larangan berhenti dan berswafoto yang terpampang di halaman latihan United, Carrington, terdapat coretan merah bertuliskan 'Pogba Out'.
"Saya tahu ini mungkin terdengar agak murahan, tetapi satu-satunya penyakit saat ini adalah rasisme yang kami perjuangkan," kata Sterling
"Lupakan kampanye. Lupakan kata-kata. Harus tindakan. Kita perlu melakukan lompatan besar daripada langkah kecil setiap tahun," tandasnya, Senin (15/6).
Tidaklah cukup hanya merasa jijik dengan pesan-pesan yang saya terima dan melupakannya. Tidak cukup hanya dengan mengatakan #notoracism."
Napoli memecahkan rekor klub dengan menggelontorkan dana sebesar 80 juta euro untuk mendatangkan penyerang Nigeria itu dari klub Ligue 1 Lille.
Namun, kelompok Black Lives Matter di Inggris dituding antisemit dan dikritik karena mengusulkan pemangkasan anggaran kepolisian.
Raden Ajeng Kartini, seorang Pahlawan Nasional Indonesia, memperjuangkan hak pendidikan, kesetaraan gender, dan hak-hak perempuan di masa penjajahan Belanda.
Agar anak-anak lebih semangat belajar, Bunda bisa memanfaatkan konten video pembelajaran yang dikemas menarik. Dengan cara itu, proses belajar menjadi lebih menyenangkan.
Hingga saat ini, melalui penjualan pakaian yang diproduksi oleh One Fine Sky bersama para dreamers atau kolaborator, telah berhasil mendonasikan 22.557 seragam
Program kuliah online bisa menjadi alternatif cara bagi para pekerja untuk meraih gelar sarjana. Seperti apa prosesnya?
Sedang memilih sekolah untuk si kecil? Idealnya, lokasinya jangan terlalu jauh dari rumah untuk mencegah kelelahan anak maupun orang tua.
Di tengah kondisi rakyat Indonesia yang membutuhkan protein untuk mengatasi stunting, potensi kekayaan harus dimanfaatkan optimal.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved