Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

G-20 dan Urgensi Literasi Energi Bersih

Naufal Azizi Analis Kebijakan Kementerian ESDM
05/2/2022 05:05
G-20 dan Urgensi Literasi Energi Bersih
Ilustrasi MI(MI/Duta)

PEMILIHAN transisi energi sebagai satu dari tiga tema besar dalam Presidensi G-20 merupakan langkah berani bagi Indonesia. Namun, perkembangan pemanfaatan energi bersih belum cukup memberikan optimisme. Tingginya ketergantungan pada energi fosil masih mewarnai kebutuhan energi domestik. Lihat saja, isu kelangkaan pasokan batu bara belakangan ini menggambarkan bagaimana rapuhnya ketahanan energi nasional.

Tentu, hal itu bertepuk sebelah tangan dengan gaung narasi energi baru dan terbarukan (EBT). Digadang-gadang sebagai backbone sumber energi masa depan, kemampuan dan keandalan EBT masih jauh panggang dari api. Realisasi bauran EBT baru terserap 13,5% dari target 23% pada 2025. Sementara itu, nilai investasinya pada 2021 hanya mendatangkan sekitar US$1,4 miliar.

Memang, sejak ratifikasi Perjanjian Paris (Paris Agreement) pada 2016, banyak pembenahan yang dilakukan pemerintah dalam menggeser konsumsi energi berbasis fosil. Data Kementerian ESDM menunjukkan, dalam kurun waktu lima tahun (2017-2021) rata-rata kenaikan kapasitas pembangkit EBT hanya 4% per tahun.

Kendati belum memenuhi ekspektasi, setidaknya pemerintah berhasil menciptakan terobosan penting, seperti lahirnya Green RUPTL 2021-2030 (porsi EBT naik jadi 51,6%) hingga penetapan pajak karbon Rp30/kg pada PLTU berlaku mulai Apri 2022 sebagai bagian dari aksi mitigasi perubahan iklim.

Agar mempersempit kesenjangan pemenuhan pembangkit energi bersih, perluasan EBT ini bisa diakselerasi melalui pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Sejauh ini, melimpahnya potensi energi surya tak sebanding dengan porsi utilisasi. Tercatat, baru termanfaatkan sebesar 182,3 Mw dari total 400 Gw. Apalagi, proyek pembangunan PLTS dianggap lebih rasional, baik dari sisi biaya maupun waktu. Selain mudah diimplementasikan, pembangunan PLTS diproyeksikan mampu menyerap banyak ruang lapangan kerja.

Selama ini, instrumen keuangan dan pendanaan kerap jadi batu sandungan menjalankan transisi energi. Menteri Keuangan bahkan pernah mengungkapkan butuh biaya jumbo sekitar Rp3.500 triliun guna mengeksekusi tiga perempat dari 41% komitmen penurunan emisi pada 2030. Sebagai gambaran, pemerintah harus merogoh kocek US$20 miliar-US$30 miliar untuk memensiunkan (pashing out) 5,5 Gw PLTU. Untuk itu, pemerintah harus sanggup mendesain kebijakan fiskal yang mumpuni dan tepat sehingga proses peralihan ini tidak cukup bertumpu pada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Besarnya biaya transisi energi cukup beralasan. Pasalnya, sektor energi tergolong sebagai salah satu sektor penyumbang emisi terbesar. Apalagi suplai energi terbesar masih datang dari energi fosil, yaitu batu bara 67%, minyak 15%, dan gas 8%. Terlebih, batu bara menjadi salah sektor jangkar pemasukan negara. Tercatat pada 2021 telah mencapai Rp75,15 triliun, melesat jauh melebihi target, yakni Rp39,1 triliun.

Momen Presidensi G-20 bakal jadi langkah strategis Indonesia membaca situasi semacam itu mengingat forum itu merupakan platform kerja sama internasional dengan tingkat kepatuhan tinggi terhadap komitmen yang dibangun. Apalagi, isu transisi energi selaras dengan agenda pemulihan tata kelola ekonomi global secara inklusif pascapandemi covid-19.

Transisi energi mesti mengedepankan konsep berkeadilan serta memperhatikan aspek sosioekonomi seperti peralihan pekerjaan. Selain itu, terdapat tiga hal penting yang bisa menjadi ruang kolaborasi antarnegara, yaitu jaminan akses energi, peningkatan teknologi bersih, dan kepastian pembiayaan. Upaya kolektif itu diharapkan Presiden Joko Widodo mampu menjawab tema yang diusung, Recover together, recover stronger.

Apabila kesempatan peralihan energi bersih ini dioptimalkan secara jitu, bakal berdampak besar pada perbaikan neraca pembayaran serta mewujudkan tujuan utama, yaitu capaian nationally determined contributions (NDC) pada 2030. Karena itu, rancangan peta jalan net zero emission (NZE) 2060 yang sudah disusun harus menjadi patokan kebijakan pemerintah di masa mendatang, bukan sekadar hiasan kajian dan dokumen belaka.

 

 

Bangun ekosistem dan literasi

Kendati punya tantangan berat, bukan hal mustahil hal tersebut sulit tercapai. Implementasi transisi energi setidaknya harus memperhatikan empat poin penting. Pertama, ambisi mewujudkan transisi energi harus dibarengi dengan kepentingan pertumbuhan ekonomi domestik serta menjadi katalis baru pertumbuhan nasional. Kedua, adanya dukungan yang merata terutama dari negara maju untuk memastikan negara berkembang dapat mengakselerasi program yang direncanakan.

Ketiga, adanya perlindungan terhadap golongan yang rentan akibat adanya disalokasi pasar tenaga kerja, penurunan kontribusi ekonomi, dan tantangan keterjangkauan akibat reformasi subsidi energi fosil atau penerapan pajak karbon. Keempat, keterlibatan semua pihak melalui peningkatan literasi transisi energi.

Khusus literasi energi, pemerintah sendiri melalui Kementerian ESDM bahkan sudah merancang program yang dikhususkan buat generasi milenial, yaitu Patriot Energi dan Gerakan Inisiatif Listrik Tenaga Surya (Gerilya). Kedua program tersebut mampu membantu mengakomodasi tantangan-tantangan pemanfaatan EBT yang dihadapi di lapangan oleh masyarakat.

Secara spesifik, misalnya, program Gerilya yang berbasis edukasi itu telah memadukan kecakapan teori dan praktik dalam menguasai persoalan tenaga surya. Bahkan, program itu menghasilkan luaran berupa instalasi hingga perawatan PLTS. Tentu, itu jadi langkah taktis pemerintah mengisi kekosongan penyiapan SDM yang mumpuni di bidang energi bersih di masa mendatang.

Upaya transisi energi memang bukan perkara biasa. Tak bisa diwujudkan dalam waktu singkat. Momen Presidensi G-20 ialah kesempatan langka membangun ekosistem energi bersih di Indonesia. Keterlibatan semua pihak menciptakan energi bersih bakal meringankan kemajuan dan target NDC.

Bila itu tercapai, baik pemerintah maupun masyarakat juga tak perlu risau lagi menjawab wacana penghapusan premium dan pertalite untuk diganti ke jenis bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya