Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Menuju ke Endemi dan Keseimbangan Baru

Djoko Santoso Guru Besar Fakultas Kedokteran Unair, Kepala Badan Kesehatan MUI Jatim, penyintas covid-19
28/9/2021 05:00
Menuju ke Endemi dan Keseimbangan Baru
Ilustrasi MI(MI/Seno)

BERLALUNYA amukan varian delta menimbulkan harapan mempercepat ‘gencatan senjata’ dengan virus korona. Meski masih ada kecemasan munculnya varian baru, varian delta saat ini bisa dianggap merupakan puncak keganasan covid-19. Dengan terus konsisten untuk mencegah dan mengobati penyakit ini serta terus membangun herd immunity, diharapkan akan makin jelas arah dari pandemi menuju endemi.

Tarian maut varian delta memang sangat terasa sudah surut. Meskipun PPKM terus diperpanjang, makin sedikit level daerah yang membahayakan. Namun, para ahli epidemiologi mengingatkan meskipun situasi semakin membaik dan vaksinasi massal terus dilakukan, sebaiknya jangan sampai lengah, kebablasan, dan euforia.

Pengalaman serangan dahsyat varian delta yang menghasilkan gelombang kedua menorehkan pelajaran amat perih. Kenekatan warga dan kelemahan penegakan protokol kesehatan oleh pemerintah harus dibayar mahal. Penularan meledak, melonjaknya pasien dan kematian, serta hampir kolapsnya sistem layanan kesehatan.

Kini, dari indikator pokok, seperti kasus dan kematian baru, bed occupancy ratio (BOR) serta positivity rate sudah amat menurun. Kasus baru dari puncak 56 ribu per hari di pertengahan Juli, kini sudah turun ke level 2.000-an kasus per hari. Kasus kematian juga sudah amat turun. Dari puncak 2.000-an ke 150-an per hari. Situasi sudah seperti sebelum amukan varian delta.

Meski begitu, kewaspadaan dan disiplin menjalankan protokol kesehatan menjadi syarat mutlak untuk mempersiapkan diri memasuki kehidupan era adaptasi baru. Era baru dari pandemi ke endemi ini diiwarnai keterpaksaan berdampingan dengan virus korona dengan segala antisipasinya. Serangan covid-19 sudah semakin tertangani meskipun bukan berarti sudah benar-benar terkendali.

Pemerintah secara hati-hati sudah mulai melonggarkan aktivitas publik secara bertahap, memulai untuk menjalani hidup di era baru bersama virus yang masih tersisa. Beberapa tempat wisata dan hiburan sudah mulai diizinkan dibuka dengan kapasitas terbatas. Demikian juga dengan aktivitas ekonomi dan perdagangan lainnya.

Sekolah sudah mulai boleh membuka aktivitas pembelajaran tatap muka, juga dengan kapasitas terbatas dan tentu dengan protokol ketat. Intinya, aktivitas ekonomi dan sosial perlahan mulai dilonggarkan agar perekonomian tidak anjlok. Kebetulan, dalam beberapa bulan terakhir ini harga dua komoditas utama kita, CPO dan batu bara, harganya di pasar internasional terus meroket sehingga meningkatkan devisa hasil ekspor.

 

 

Menyiasati evolusi-mutasi

Untuk memahami adaptasi dari pandemi menuju endemi, perlu diingatkan kembali soal sifat dan perilaku virus korona. Virus, seperti halnya bakteri, ialah mikro organisme hidup yang memiliki habitat dan mekanisme alamiah untuk mempertahankan kehidupannya, berkembang biak, dan bertahan menghadapi persaingan, predator atau serangan yang membahayakan kelangsungan hidupnya.

Bapak teori evolusi, Charles Darwin, mengatakan tiap makhluk hidup akan menghadapi persaingan alami serta mengembangkan mekanisme pertahanan diri untuk terus bertahan dan hanya yang unggul yang bisa terus bertahan dan berkembang (survival of the fittest). Salah satu cara bertahan itu dengan berevolusi, yaitu mekanisme untuk berubah secara genetik demi menyesuaikan dengan lingkungan baru dan untuk menghadapi bahaya yang terus bermunculan.

Virus korona dengan nama SARS-CoV-2 yang menghasilkan penyakit covid-19 ini juga terus berevolusi hingga akhirnya menimbulkan pandemi. Maka, ini menambah daftar panjang dari patogen berbahaya yang menciptakan malapetaka dan sudah membunuh lebih banyak manusia, seperti cacar, influenza, rabies, demam berdarah, virus marburg, ebola, HIV/AIDS, SARS, flu babi dan MERS, serta covid-19 yang sekarang ini.

Dengan ‘kecerdasan’ yang hebat ini, begitu keluar dari wilayah asalnya di Wuhan, dan kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia, virus ini terus memperbarui susunan genetiknya. Maka, muncullah puluhan mutasi atau varian baru dengan berbagai karakter yang berbeda, mulai yang lemah sampai yang ganas. WHO menggolongkannya ke dalam varian of interest (VOI) untuk yang perlu dimonitor dan variant of concern (VOC) untuk yang sangat perlu diwaspadai karena berkarakter ganas, seperti varian delta. Terakhir, WHO mengingatkan untuk waspada terhadap varian baru mu dan lambda.

Virus korona ini berhadapan dengan manusia, makhluk paling pandai di bumi. Sejak awal, para ahli terus berupaya untuk menghindari dan mengatasinya. Menjaga jarak, menghindari kurumunan, cuci tangan, pakai masker ialah contoh preventif untuk menghindari penularan. Sementara itu, yang sudah tertular, ditangani mulai isolasi mandiri, digenjot multivitamin dan suplemen penambah imunitas, atau bisa jadi sampai harus masuk ICU menggunakan ventilator, ialah bentuk tindakan kuratif.

Di sisi lain, para ahli berlomba untuk riset mengembangkan vaksin dengan bermacam metode, seperti inactivated virus dan mRNA, juga riset plasma konvalesen, sel dendritik, dan lainnya. Berbagai riset ini tujuannya memunculkan kekebalan tubuh guna menangkal, menahan, dan melemahkan kemampuan virus untuk menyerang manusia.

Selama lebih dari setahun berpacu dalam perlombaan riset, terciptalah generasi pertama vaksin untuk covid-19, di antaranya Sinovac, Sinopharm, Astrazeneca, Moderna, Pfizer, Johnson-Johnson, Sputnik V, yang sudah mendapatkan izin penggunaan darurat oleh WHO. Temuan vaksin lain, sudah mulai dipakai di negara masing-masing, seperti Turkovac (Turki), Abdala (Kuba), dan Coviran Barekat (Iran),

Dengan ini, dilancarkanlah vaksinasi massal di seluruh dunia. Secara teoretis, jika 80% populasi di sebuah wilayah sudah mendapat vaksinasi dosis lengkap, akan tercipta kekebalan kelompok (herd immunity) dan secara umum populasi ini relatif lebih aman dari serangan virus.

Karena serangannya berhasil ditangkal sistem kekebalan yang dihasilkan vaksin, virus ini terus mencari cara agar tetap bertahan. Virus terus bermutasi dan berevolusi, berupaya memperbarui keampuhannya dengan mengubah susunan genetikanya. Ini ibaratnya perang berkepanjangan antara virus korona melawan umat manusia di seluruh dunia.

Jika vaksinasi bisa dilakukan serentak massal pada awal pandemi, peluang virus untuk bermutasi lebih kecil. Akan tetapi, pada awal pandemi belum ada vaksin, masih dalam tahap riset pengembangan, belum diproduksi. Akibatnya, saat vaksin sudah jadi, diproduksi dan disuntikkan secara massal, virusnya sudah telanjur menyebar, berevolusi, dan beranak pinak.

Beberapa vaksin generasi pertama ini mampu menangkal serangan masif virus korona untuk saat ini. Namun, belum tentu ampuh untuk masa mendatang. Suatu saat akan muncul varian baru virus yang resistan atau kebal terhadap vaksin generasi awal ini. Jika kemudian riset vaksin terus berlanjut, untuk menemukan vaksin baru yang lebih ampuh menangkal varian baru, virusnya juga akan berusaha merevitalisasi dirinya secara genetik agar bisa lolos dari hadangan vaksin generasi yang lebih baru ini.

 

 

Fase gencatan senjata

Demikian proses ini akan berlangsung terus dan berulang sehingga pada saatnya nanti akan tercapai kondisi baru, yakni ketika berbagai varian virus korona ini sudah pada tahap yang stabil secara genetik, tidak lagi melonjak-lonjak berubah seperti saat ini. Inilah periode keseimbangan baru, ketika perang antara umat manusia melawan virus korona bisa dikatakan sudah tercapai gencatan senjata.

Seperti halnya pada gencatan senjata antara negara-negara yang bertikai, kadang masih ada sesekali serangan roket atau tembakan insidental dari para pihak, tetapi serangannya tidak masif, dan langsung ditanggapi dengan balasan dari pihak kontranya.

Demikian juga dalam gencatan senjata antara korona dan manusia. Kadang ada mutasi varian baru yang tiba-tiba menyerang, tetapi dampak serangannya tidak begitu membahayakan. Kekebalan kelompok yang dihasilkan vaksinasi massal generasi awal dan selanjutnya oleh vaksin generasi yang lebih baru, cukup efektif untuk menangkal serangan virus. Maka, serangan virus nanti bisa jadi hanya akan mengakibatkan batuk kecil, sedikit meriang disertai demam dan flu ringan. Artinya, pada tahap ini virus korona akan berevolusi menjadi seperti flu biasa. Bisa muncul, tetapi tidak begitu membahayakan.

Mungkin akan mirip dengan transformasi pada kejadian pandemi influenza 1918 atau flu Spanyol yang menewaskan puluhan juta orang. Pandemi flu Spanyol dipicu virus yang dikenal sebagai influenza A yang berasal dari burung. Setelah pandemi itu, semua pandemi flu berikutnya disebabkan virus keturunan influenza A yang sudah berkembang biak dan beredar di seluruh penjuru dunia serta menginfeksi jutaan orang setiap tahun.

Pada akhirnya, pandemi akibat mutasi keturunan virus influenza A ini berangsur menjadi flu musiman biasa, saat sebagian besar penduduk dunia sudah memiliki kekebalan, baik oleh vaksinasi maupun karena pernah terpapar langsung. Flu musiman sampai hari ini masih berlangsung, memapar jutaan orang, dan bisa merenggut nyawa pada kasus yang berat. Tetap secara umum, flu biasa sudah jauh tidak berbahaya seperti saat awal pandemi flu Spanyol dulu. Evolusi genetika seperti inilah yang juga diprediksi para ahli akan terjadi pada pandemi covid-19.

 

 

Waspada hiperendemi

Para ahli memproyeksikan dengan kondisi tersebut maka pandemi akan berangsur menjadi endemi. Artinya, virusnya akan terus beredar di kantong populasi global selama bertahun tahun, tergantung pada sejauh mana evolusi virus dan jenis kekebalan kelompok suatu tempatnya. Maka, virusnya juga akan menjadi virus endemi dengan karakter yang lebih lokal dan tidak seganas varian delta.

Mengamuknya varian delta menjadi hari-hari tergelap selama pandemi 1,5 tahun ini. Varian ini memiliki empat keganasan jika dibandingkan dengan varian sebelumnya. Pertama, kecepatan menularnya (transmisi) luar biasa. Kedua, daya serangnya yang sangat hebat sehingga bisa membuat pasien yang terpapar varian delta meninggal hanya dalam tiga hari sehingga tenaga medis kesulitan memberikan pertolongan. Sementara itu, pada varian nondelta bisa sampai 10 hari, masih memiliki waktu untuk ditolong.

Ketiga, varian delta sanggup menurunkan efektivitas atau kemanjuran vaksin dari 95% hingga drop menjadi 50% sehingga menurunkan harapan tercapainya kekebalan kelompok dan menyebabkan perlunya vaksin dosis ketiga untuk penguat. Keempat, varian delta ini hasil mutasi yang sangat pintar sehingga bisa menurunkan kepekaan alat diagnostik dengan cara mengelabui inangnya. Ini terbukti melalui eksplorasi dari proses autopsi ketika sudah meninggal.

Hampir kolapsnya sistem layanan medis yang tidak kuat menghadapi ledakan serangan delta antara lain sudah terlihat di India dan Indonesia. Di beberapa negara maju, serangan varian delta memang membuat kasus menjadi melonjak. Akan tetapi, pada periode berikutnya setelah serangan delta berhasil ditangani, kondisinya menjadi membaik dan menuju stabil, seperti yang terjadi di Inggris Raya selama Juni-Juli 2021, di AS, dan beberapa negara lain.

Beberapa ahli mengemukakan hipotesis bahwa varian delta, selain menyerang dengan ganas, ternyata mengantarkan proses transisi dari pandemi menuju ke endemi. Ini berarti proses transisi tidak bisa segera menuju ke keadaan normal karena lonjakan kasus yang hebat ini justru membuat kekebalan kelompok lebih sulit dicapai secara umum dan bahkan sebaliknya, memaksa pihak berwenang menunda pencabutan pembatasan kegiatan masyarakat.

Apalagi, data terbaru dari Israel, Inggris, dan Amerika telah mengarah pada pertanyaan penting, tentang kemampuan vaksin dalam mencegah infeksi dari varian delta ini. Ini mengapa muncul penawaran dosis booster kepada populasi berisiko tinggi. Apalagi, dikuatkan data tentang tes serial yang menunjukkan bahwa kekebalan dapat berkurang secara relatif cepat.

Pandemi akan bertransisi menuju endemi. Endemi didefinisikan sebagai penyakit yang selalu muncul berulang menyerang suatu populasi di wilayah tertentu, seperti dulu malaria yang menyerang negara-negara tropis. Ahli epidemiologi Dicky Budiman dari Universitas Griffith Australia mengingatkan jika pemerintah Indonesia kembali kendur dalam penanganan covid-19 ini, lemah penegakan disiplin, salah memilih prioritas kebijakan, atau hanya mengandalkan vaksinasi, dikhawatirkan yang akan terjadi ialah hiperendemi.

Ahli epidemiologi mendefinisikan hiperendemi sebagai penyakit yang muncul di suatu wilayah tertentu dengan intensitas tinggi dan menerpa populasi yang banyak serta terus-menerus. Sementara itu, Institut Robert Koch di Jerman mendefinisikan hiperendemi tidak hanya dikaitkan dengan intensitas yang tinggi. Bisa saja, di suatu wilayah endemi menunjukkan angka penularan yang rendah, tetapi memiliki risiko terinfeksi yang tinggi bagi pendatang. Namun, apa pun pengertiannya, pengelolaannya masih harus tetap memperhitungkan kemungkinan masih ada risiko besar terhadap munculnya varian baru yang lebih menular (baik beratnya morbidity maupun mortality). Bahkan, lebih mampu menginfeksi orang yang telah divaksinasi dalam berbagai derajat komplikasi.

Apa pun definisinya, kita berharap agar pandemi bisa segera bertransisi, menuju ke endemi setidaknya. Pada titik ini, harapan adanya kekebalan kelompok bukannya tidak perlu, itu tetap penting. Namun, secara pararel yang diperlukan saat ini ialah bagaimana kondisi serangan covid ini dapat dikelola secara baik sebagai penyakit endemi.

Semoga tren penurunan kurva selama dua bulan terakhir ini tetap dibarengi kebijakan dan strategi yang tepat, tidak sembrono, dan tetap menerapkan penegakan disiplin yang ketat dan terukur. Itu agar pandemi secara bertahap bertransisi menjadi endemi, bukan hiperendemi. Dengan demikian, kita bisa menyiapkan diri untuk hidup berdampingan dengan generasi sisa virus korona yang sudah tidak ganas lagi. Menuju era keseimbangan baru dan hari hari tergelap pandemi benar-benar berlalu.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya